Tak perlu dipungkiri bahwa ilmu sejarah dalam kurikulum pelajaran sekolah tingkat SD dan SMP dianggap pelajaran “kelas dua.” Artinya, tidak seperti pelajaran IPA, Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris yang dianggap khalayak lebih menentukan kelulusan. Anggapan ini semakin menguat sejak dinas pendidikan mengeluarkan kebijakan Ujian Nasional (UN) beberapa tahun lalu sebagai penentu utama kelulusan siswa. Namun benarkah pelajaran sejarah sudah tidak penting lagi? Kalau tidak penting dan tidak memberi andil dalam pembentukan generasi bangsa, kenapa masih sibuk-sibuk diajarkan di kelas? Kenapa para guru harus memaksakan muridnya menghafal materi tentang para pahlawan bangsa, merayakan hari besar nasional? Bila tidak penting, bukankah tidak perlu diajarkan saja?
Sebenarnya, tulisan pendek ini tidak ingin mengulas tentang kecenderungan sejarah sebagai pelajaran “kelas dua” sebagai akibat kebijakan negara dalam mengatur institusi pendidikan dan kelulusan siswa. Wilayah ini sangatlah kental berbau politis dan perdebatan secara tuntas haruslah mencapai tataran mempertanyakan kebijakan negara tersebut (perundang-undangan). Dan ini tentunya tak lepas dari ranah hukum. Tulisan ini hanya ingin mengungkapkan sedikit gagasan tentang sumbangan yang bisa diberikan ilmu sejarah bagi generasi bangsa. Anggap saja memang pelajaran sejarah dianggap pelajaran kelas dua. Walaupun pelajaran ini dinomorduakan oleh sistem pendidikan, sebenarnya tetaplah masih mampu menyumbang pembentukan pribadi anak-anak. Dalam jam-jam pelajaran sejarah yang jumlahnya sangat terbatas (dua jam pelajaran dalam seminggu @ 40 menit), tetaplah dapat dimanfaatkan sebaik mungkin. Hanya saja, peluang yang sedikit ini seringkali tidak digunakan secara optimal.
Di kebanyakan sekolah, pelajaran sejarah diajarkan oleh para guru dari disiplin ilmu lain. Mereka menganggap bahwa sejarah bisa diajarkan siapa saja karena tinggal menghafal materi saja. Dari sinilah sebenarnya kesalahan fatal terjadi. Materi kurikulum pelajaran sejarah nasional Indonesia yang telah dikemas dalam modul pembelajaran Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) disodorkan mentah-mentah dan dengan paksaan (harus dihafal) dari mulai terjadinya alam semesta menurut ilmu geologi, awal manusia purba, kehidupan Hindu, Budha, Islam, kolonial, hingga kemerdekaan dan reformasi. Sepanjang tiga tahun belajar baik di tingkat SMP maupun SMA, anak-anak dijejali paksa dengan materi tersebut. Nyaris mereka dibuat tidak bernafas. Padahal alur materi tersebut sejak di SD, SMP bahkan hingga SMA masih sama dan diulang-ulang. Setelah paling tidak selama 6 tahun dijejali materi tersebut, ternyata banyak lulusan tetap tidak melek sejarah bangsanya sendiri alias ahistoris.
Kecenderungan metode penghafalan dalam pembelajaran sejarah terbukti menyebabkan siswa apatis dan tidak tertarik terhadap ilmu sejarah. Pelajaran tersebut menjadi sangat membosankan. Bila ini terus terjadi, waktu yang sangat terbatas tersebut hanyalah terbuang sia-sia. Maka, ada baiknya para guru sejarah mengevaluasi cara pembelajaran tersebut.
Penulis saat ini bekerja sebagai pengajar sejarah di sebuah SMP Swasta di Jakarta. Selama beberapa tahun terakhir ini mencoba menyampaikan pembelajaran sejarah sedikit berbeda dengan kecenderungan umum. Pada prinsipnya, materi sejarah tidaklah perlu diajarkan dengan memaksakan materi kurikulum yang ditentukan dan ditargetkan pemerintah. Lebih baik siswa diajak tahu bagaimana memaknai peristiwa masa lalu, menengok ulang peristiwa tersebut, kemudian menilai dan mengambil hikmahnya. Bila pendekatan ini yang diutamakan, maka materi sejarah haruslah mampu mereka kenali dari posisi mereka berada. Materi sejarah tersebut harusnya menyentuh hidup mereka secara langsung. Dan bila ini tercapai, barulah menarik mundur secara lebih jauh.
Dalam mempraktekkan metode tersebut, penulis pertama-tama mengajak siswa untuk menjalani kegiatan rutin membuat catatan harian tentang peristiwa yang telah mereka alami. Catatan harian tersebut bukan untuk arena berkeluh-kesah, mengumbar perasaan, tetapi menekankan pada kemampuan mendiskripsikan peristiwa. Peristiwa atau pengalaman yang lalu dan telah mereka rasakan (dilihat, dibau, diraba, didengar, dikecap) wajib ditulis dalam catatan harian tersebut. Siswa tidak perlu memberi penilaian apa pun terhadap peristiwa yang telah mereka alami tersebut. Biarkan dijabarkan/digambarkan sedetil mungkin.
Rata-rata setelah melalui penulisan selama enam bulan, para siswa mulai terbiasa dengan metode tersebut. Mereka mulai mampu secara lancar memberi kesaksian atas peristiwa yang telah dialami. Selama proses ini berlangsung, guru dapat membantu dan mengomentari kesaksian mereka baik dari segi teknis penulisan, bahasa, isi, maupun pemaknaan atas pengalaman mereka. Selain melakukan praktek menulis, guru juga sekaligus melakukan fungsi konseling.
Setelah siswa mampu menulis catatan harian secara lancar, diberikanlah materi berikutnya yaitu pembuatan sejarah hidup keluarga. Materi ini berlangsung selama enam bulan dimana siswa diajak untuk mencoba mengumpulkan bahan terkait sejarah hidupnya dan sejarah keluarga. Mereka mulai mengumpulkan foto-toto kecil mereka, foto-foto orang tua, kakek, nenek, hingga cerita-cerita kehidupan leluhur mereka di masa lalu. Selama proses ini berlangsung, banyak kejadian unik. Ada seorang anak yang mendapatkan informasi bahwa konon buyutnya adalah seorang Portugis yang menikah dengan orang Tionghoa hingga turun-temurun sampai dia menjadi ada. Artinya ia baru tahu bahwa dirinya mempunyai darah Portugis. Ada yang menjadi tahu kalau kakeknya adalah salah satu pejuang yang gugur dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Konon dari cerita neneknya, warga Surabaya benar-benar tiada takut mati melawan Sekutu yang perlengkapan senjatanya jauh lebih canggih dibanding rakyat Surabaya. Ribuan korban bergelimpangan akibat bombardir Sekutu dari laut, darat, maupun udara. Namun, arek Surabaya pantang menyerah. Ada cerita lain pula dimana anak menjadi tahu ternyata ia mempunyai darah keturunan Belanda, dan lain-lain. Dengan demikian, siswa diajak untuk mengetahui dan mengenal masa lalu.
Dalam cerita-cerita masa lalu yang mereka kenali, tak jarang ada kejadian-kejadian yang mengenakkan dan tidak. Misalnya siswa menjadi tahu bahwa ibunya telah cerai dengan bapaknya, neneknya ternyata seorang gundik Belanda, keluarganya sering ribut melulu, kakeknya adalah pengemis dan lain sebagainya. Di saat inilah anak-anak kemudian diajak untuk memberikan penilaian, pemaknaan dan secara perlahan menarik hikmah. Anak diajak memetik mana masa lalu yang perlu dicontoh dan mana yang tidak. Dengan demikian, sejarah dapat dilihat dan dipelajari dari berbagai sisi. Hal ini menandakan, secara perlahan nilai perspektif sejarah juga dikuasai para siswa. Perspektif tersebut menjadi pondasi mereka saat mempelajari ilmu sejarah secara ilmiah di tingkat perguruan tinggi. Di samping itu, dengan pendekatan ini, siswa dikenalkan dengan pendekatan sejarah yang demokratis (kebenaran peristiwa masa lampau dilihat dari berbagai sisi) dan muncul dari bawah. Sejarah bukan hanya miliknya para tokoh saja, tetapi kalangan bawah, guru, pedagang sayur, penjual tahu, supir, tukang becak, dan lain-lain, juga berhak mempunyai sejarah.
Materi sejarah tidak hanya sampai disini. Di tahap selanjutnya, siswa bisa diajak menarik mundur lebih jauh tentang keberadaan orang-orang Indonesia yang di masa lalu ada hubungannya sebagai bangsa. Ambil contoh mengenai siswa yang mengenali neneknya adalah gundik Belanda. Maka, sang guru bisa mulai membahas era Kolonial di mana Belanda mempraktekkan per-nyai-an, kebijakan diskriminasi rasial, perbudakan, dan seterusnya. Siswa yang mengetahui dirinya adalah keturunan bangsawan/raja, bisa diajak untuk mengetahui bahwa dulu di Nusantara pernah terjadi suatu masa dimana kehidupan diatur mutlak oleh raja (era Feodal Hindu-Budha dan Islam) karena raja dianggap sebagai wakil dewa/Tuhan, dan seterusnya sampai awal penciptaan.
Walaupun jam pelajaran sejarah yang pendek, gambaran materi pembelajaran sejarah di atas tetaplah memungkinkan untuk disampaikan ke anak-anak. Walaupun keluar dari aturan dan ketentuan kurikulum, siswa paling tidak telah mempunyai bekal dalam memandang ilmu sejarah dimana ilmu dapat menjembatani hidup siswa dengan masa lalunya. Hal ini justru sangat memungkinkan dilakukan jika pelajaran sejarah tidak masuk dalam pelajaran yang diujikan di Ujian Nasional (UN). Sebab, bila masuk dalam UN, guru justru akan cenderung terjebak kembali dalam penghafalan demi mengejar target materi yang telah ditentukan.
Disadur kembali oleh:
Sejarawan Hamdina
024-7060.9694
Sosialisasi Sejarah Historimedia Sejarawan Kontemporer Modern (whatsapp: 0823.2223.2268)
Showing posts with label Indonesia.. Show all posts
Showing posts with label Indonesia.. Show all posts
Tuesday, November 10, 2009
Wednesday, April 15, 2009
If u want to be a Sejarawan.
Semua orang bisa menjadi sejarawan, apabila telah mengetahui hakikat dari ilmu sejarah dengan baik dan benar serta mampu mengaplikasikan ilmu tersebut secara bermanfaat.
TUNTUTAN untuk mereinterpretasi sejarah nasional merupakan imbas yang tidak terelakkan. Tesis Ralph Waldo Emerson, There is Properly No History; Only Biography agaknya lebih cocok dengan rentang perjalanan sejarah nasional Indonesia. Sejak dimulainya penulisan sejarah istana-centris pada masa kerajaan-kerajaan, sejarawan selalu dekat dengan kekuasaan. Demikian juga dengan historici kolonial. Mereka akan menulis orang-orang di seputar kekuasaan dan reputasi baiknya tanpa kritik. Belum ada sejarawan amatir yang diakui sebagai bagian besar optimalisasi yang mandiri dari penulisan sejarah dan menulis keadaan masyarakat secara umum yang diakui setara.
The main objective of this presentation is to explore the ways this blog can help you develop a love of history like a 'sejarawan'. "Perhaps with the increased personalization and individualization of learning, we can return to a Socratic dialogue between novices and experts in a mass education system rather than in one where education was for the privileged minority (...). One of the significant features of dialogue is that it emphasizes collective, as opposed to solitary, activity." (Michelle Selinger, Connected Schools, Cisco Systems)
If we accept the perspective that the teacher's main task is to facilitate "learning" we will set in our aims tha need of providing "elements" to learn (call it contents that develop objectives and are assessed according to pre-set criteria) and "reasons" for learning. It is an accepted standard view that more "teaching" time does not lead to more "learning". I believe this blog, on humanistic grounds (i.e., as a tool to foster guided and/or independent work; as a strategy to help students "face" the multi-faceted aspects of a given topic; as a lead to "unveil" knowledge, but considering that the use of blog is part of a whole where classroom interaction, collaboration and respect for others in their capacities) can help and foster autonomy and can produce a good deal of collaborative work. Our role might be "leading" to the use or in the use of those programs allowing room for creativity, for collaboration and for extra-classroom extension.
Tragisnya, sampai hari ini sejarawan akademis tidak pernah merasa bersalah apalagi menangisi kematian kebebasan menafsirkan sejarah obyektif bangsanya, lingkungannya, masyarakatnya, dan setiap personal. Sejarawan senior, Kuntowijoyo, dalam pembuka buku Metodologi Sejarah menandaskan, sejarawan adalah penulis sejarah! Tidak peduli dia bekerja sebagai apa. Kenyataan ini sering diingkari karena setiap penulisan sejarah selalu didominasi sejarawan akademis yang terpayungi otoritas keilmiahan sampai kenegaraan.
Sejak seminar nasional sejarah pertama dekade 1960-an, yang kedua (1970), sampai ketiga (1981), isu besar yang dibahas adalah pencarian bentuk kesepahaman penulisan sejarah nasional yang bisa mencakup semua titik-titik puncak sejarah lokal yang berdimensi nasional. Pada saat yang sama juga dirumuskan berbagai macam urusan metodologi dan aneka pendekatan yang lebih mutakhir dalam penulisan ilmu sejarah. Hasilnya adalah buku sejarah nasional 7 jilid yang kini dikritik habis-habisan, bahkan oleh pihak-pihak yang dulu mendukungnya.
Bagaimana pun sejarah merupakan hal penting. Di dalamnya ada landasan eksistensi, harga diri, kebanggaan, kritik, dan alasan untuk introspeksi. Pekerjaan penulis sejarah, jika diartikan sebagai profesi independen yang disandangkan pada sejarawan akademis, dapat diubah pada pengertian yang lebih sederhana. Kerangka penguatan sipil sebagai landasan otoritas tertinggi dalam negara demokrasi tetap mengharuskan dihormatinya institusi independen yang lahir dari rahim masyarakat sipil yang mempunyai dinamika tersendiri. Sehingga berapa pun rezim berganti, masyarakat akan selalu berminat untuk menuliskan sejarahnya dengan mandiri.
Akhirnya, sejarah nasional bisa diartikan sebagai rangkuman sejarah masyarakat dalam tingkatan lokal yang tertulis dengan lebih beragam. Sejarawan akademis tidak lagi memegang proses tunggal normalisasi sejarah nasional dan interpretasinya yang bersifat menghakimi. Sejarawan akan kembali menjadi milik masyarakat, bukan negara, dan setiap penulisan sejarah dalam semua level akan saling memanfaatkan satu sama lain untuk tujuan universal penulisan sejarah.
TUNTUTAN untuk mereinterpretasi sejarah nasional merupakan imbas yang tidak terelakkan. Tesis Ralph Waldo Emerson, There is Properly No History; Only Biography agaknya lebih cocok dengan rentang perjalanan sejarah nasional Indonesia. Sejak dimulainya penulisan sejarah istana-centris pada masa kerajaan-kerajaan, sejarawan selalu dekat dengan kekuasaan. Demikian juga dengan historici kolonial. Mereka akan menulis orang-orang di seputar kekuasaan dan reputasi baiknya tanpa kritik. Belum ada sejarawan amatir yang diakui sebagai bagian besar optimalisasi yang mandiri dari penulisan sejarah dan menulis keadaan masyarakat secara umum yang diakui setara.
The main objective of this presentation is to explore the ways this blog can help you develop a love of history like a 'sejarawan'. "Perhaps with the increased personalization and individualization of learning, we can return to a Socratic dialogue between novices and experts in a mass education system rather than in one where education was for the privileged minority (...). One of the significant features of dialogue is that it emphasizes collective, as opposed to solitary, activity." (Michelle Selinger, Connected Schools, Cisco Systems)
If we accept the perspective that the teacher's main task is to facilitate "learning" we will set in our aims tha need of providing "elements" to learn (call it contents that develop objectives and are assessed according to pre-set criteria) and "reasons" for learning. It is an accepted standard view that more "teaching" time does not lead to more "learning". I believe this blog, on humanistic grounds (i.e., as a tool to foster guided and/or independent work; as a strategy to help students "face" the multi-faceted aspects of a given topic; as a lead to "unveil" knowledge, but considering that the use of blog is part of a whole where classroom interaction, collaboration and respect for others in their capacities) can help and foster autonomy and can produce a good deal of collaborative work. Our role might be "leading" to the use or in the use of those programs allowing room for creativity, for collaboration and for extra-classroom extension.
Tragisnya, sampai hari ini sejarawan akademis tidak pernah merasa bersalah apalagi menangisi kematian kebebasan menafsirkan sejarah obyektif bangsanya, lingkungannya, masyarakatnya, dan setiap personal. Sejarawan senior, Kuntowijoyo, dalam pembuka buku Metodologi Sejarah menandaskan, sejarawan adalah penulis sejarah! Tidak peduli dia bekerja sebagai apa. Kenyataan ini sering diingkari karena setiap penulisan sejarah selalu didominasi sejarawan akademis yang terpayungi otoritas keilmiahan sampai kenegaraan.
Sejak seminar nasional sejarah pertama dekade 1960-an, yang kedua (1970), sampai ketiga (1981), isu besar yang dibahas adalah pencarian bentuk kesepahaman penulisan sejarah nasional yang bisa mencakup semua titik-titik puncak sejarah lokal yang berdimensi nasional. Pada saat yang sama juga dirumuskan berbagai macam urusan metodologi dan aneka pendekatan yang lebih mutakhir dalam penulisan ilmu sejarah. Hasilnya adalah buku sejarah nasional 7 jilid yang kini dikritik habis-habisan, bahkan oleh pihak-pihak yang dulu mendukungnya.
Bagaimana pun sejarah merupakan hal penting. Di dalamnya ada landasan eksistensi, harga diri, kebanggaan, kritik, dan alasan untuk introspeksi. Pekerjaan penulis sejarah, jika diartikan sebagai profesi independen yang disandangkan pada sejarawan akademis, dapat diubah pada pengertian yang lebih sederhana. Kerangka penguatan sipil sebagai landasan otoritas tertinggi dalam negara demokrasi tetap mengharuskan dihormatinya institusi independen yang lahir dari rahim masyarakat sipil yang mempunyai dinamika tersendiri. Sehingga berapa pun rezim berganti, masyarakat akan selalu berminat untuk menuliskan sejarahnya dengan mandiri.
Akhirnya, sejarah nasional bisa diartikan sebagai rangkuman sejarah masyarakat dalam tingkatan lokal yang tertulis dengan lebih beragam. Sejarawan akademis tidak lagi memegang proses tunggal normalisasi sejarah nasional dan interpretasinya yang bersifat menghakimi. Sejarawan akan kembali menjadi milik masyarakat, bukan negara, dan setiap penulisan sejarah dalam semua level akan saling memanfaatkan satu sama lain untuk tujuan universal penulisan sejarah.
Wednesday, March 25, 2009
(US$) Dollar is not strong enough.
American Dollar is not strong enough and doesn't powerfull today. Memang jatuhnya nilai dolar akhir-akhir menjadi berita besar di pasar modal internasional. Fenomena ini telah mulai terasa pada pertengahan tahun 2004. Nilai mata uang sesuatu negara sering dipandang selaku mencerminkan kekuatan ekonomi negara bersangkutan. Tetapi menurut pakar tidak selamanya demikian. Perubahan dalam nilai lawan mata uang selalu menolong beberapa sektor ekonomi, tetapi juga merugikan sektor lainnya.
Ketika nilai euro mencapai level tertinggi US$ 1,52, Jean-Claude Trichet, presiden bank sentral Eropa, mengatakan kepada wartawan bahwa ia prihatin dengan cepatnya apresiasi euro sembari "menggarisbawahi" kebijakan resmi US Treasury yang mendukung upaya meningkatkan nilai dolar. Beberapa menteri keuangan Eropa kemudian menyuarakan tema serupa.
Sebenarnya AS jelas tidak memiliki kebijakan khusus mengenai dolar selain daripada membiarkan pasar menentukan nilai mata uang tersebut. Pemerintah AS tidak campur tangan dalam pasar valas untuk mendukung dolar, dan kebijakan moneter Federal Reserve (Fed) juga tidak diarahkan mencapai tujuan tersebut. Begitu juga Fed tidak secara khusus berupaya menurunkan nilai dolar. Walaupun tindakannya yang menurunkan suku bunga Dana Federal dari 5,25 persen pada musim panas 2007 menjadi 3 persen menyebabkan depresiasi dolar, hal itu dilakukannya untuk merangsang ekonomi AS yang sedang melemah.
Meskipun demikian, semua Menteri Keuangan AS, setidak-tidaknya mulai Robert Rubin pada pemerintahan Clinton, berulang kali mengatakan "dolar yang kuat baik untuk Amerika" bila ditanya mengenai nilai dolar. Tapi, walaupun ini tampaknya merupakan pernyataan yang lebih responsif daripada sekadar "no comment," ia tidak banyak mengisyaratkan tindakan apa yang akan diambil pemerintah saat itu dan di masa depan.
Sebenarnya, satu-satunya tujuan Kementerian Keuangan AS yang eksplisit pada waktu ini adalah menekan Cina agar meningkatkan nilai mata uangnya, renminbi, dan dengan demikian mengurangi indeks rata-rata tertimbang (weighted average) perdagangan global dalam mata uang dolar. Tekanan terhadap Cina ini konsisten dengan kebijakan AS yang mendorong negara-negara di dunia membiarkan pasar keuangan menentukan sendiri nilai tukar mata-uangnya masing-masing.
Sudah tentu ada benarnya pernyataan bahwa dolar yang kuat menguntungkan masyarakat Amerika, karena ia memungkinkan mereka membeli produk-produk dari luar negeri dengan harga yang lebih murah dengan dolar yang mereka miliki. Tapi walaupun turunnya nilai dolar mengurangi daya beli orang-orang Amerika, efeknya tidak besar karena impor hanya 15 persen dari produk domestik bruto AS. Maka itu, depresiasi dolar sebesar 20 persen hanya mengurangi daya beli orang-orang Amerika sebesar 3 persen.
Pada saat yang sama, turunnya nilai dolar membuat produk Amerika lebih bersaing di pasar global, sehingga akan meningkatkan ekspor dan mengurangi impor. Nilai dolar sudah menurun selama dua tahun terakhir ini bukan saja terhadap euro, tapi juga terhadap mata uang lainnya, termasuk yen Jepang dan renminbi Cina. Menurut indeks rata-rata tertimbang perdagangan global yang riil, dolar turun sebesar 13 persen terkait dengan nilainya pada Maret 2006.
Diperlukan peningkatan daya saing barang dan jasa Amerika untuk menciutkan defisit perdagangan AS yang besar itu. Bahkan dengan turunnya nilai dolar dan naiknya nilai ekspor sebesar 25 persen selama dua tahun terakhir, AS masih mengalami defisit perdagangan sekitar US$ 700 miliar (5 persen dari PDB) pada akhir triwulan keempat 2007. Karena impor US besarnya hampir dua kali lipat ekspor, maka diperlukan kenaikan ekspor sebesar 20 persen untuk mengimbangi kenaikan impor sebesar 10 persen. Artinya, dolar harus turun lebih rendah lagi untuk menciutkan defisit perdagangan ke tingkat yang berkesinambungan.
Investor di seluruh dunia juga ingin mengurangi dolar yang dimilikinya, karena tiga alasan utama. Pertama, suku bunga euro dan obligasi Inggris lebih tinggi daripada surat berharga AS serupa, sehingga investasi dalam mata uang tersebut lebih menguntungkan daripada investasi dalam mata uang dolar.
Kedua, karena AS mengalami defisit perdagangan yang besar yang hanya bisa diatasi dengan dolar yang lebih bersaing (sementara negara-negara zone euro secara kolektif mengalami surplus perdagangan), maka investor mengharapkan nilai dolar cenderung turun. Penurunan nilai dolar yang dapat diprediksi ini membuat hasil perolehan dari obligasi dalam mata uang dolar, bahkan relatif lebih rendah lagi daripada selisih suku bunga itu sendiri.
Akhirnya, setiap tahun investor menambahkan hampir satu triliun dolar berupa net dollar securities ke dalam posisinya, dan dengan demikian meningkatkan risiko berlanjutnya akumulasi dolar. Dengan turunnya total yield dan naiknya portfolio risk, maka tidak mengherankan bila investor di seluruh dunia ingin menjual dolarnya.
Walaupun investor asing masing-masing bisa menjual surat berharga dalam mata uang dolar yang mereka miliki, mereka hanya bisa menjualnya kepada investor asing lainnya. Selama AS mengalami defisit neraca pembayaran, klaim surat berharga milik investor asing terhadap ekonomi AS pasti meningkat. Tapi walaupun investor asing tidak lagi mau memegang surat berharga dalam mata uang dolar, upaya mereka untuk menjualnya akan terus menurunkan nilainya sampai berkurangnya kemungkinan dan berkurangnya kekhawatiran menurunnya nilai dolar lebih lanjut membuat mereka bersedia menahan sisa surat berharga dalam mata uang dolar yang mereka miliki.
Daripada cuma mengharapkan agar nilai dolar tidak turun lebih rendah lagi, pemerintah di negara-negara Eropa perlu mengambil langkah merangsang permintaan domestik guna menghentikan anjloknya penjualan dan hilangnya pekerjaan dengan dolar yang lebih bersaing. Bukan tugas yang mudah karena bank sentral Eropa harus tetap waspada terhadap meningkatnya inflasi, serta karena banyak negara Uni Eropa mengalami defisit fiskal yang cukup besar.
Dengan terbatasnya ruang gerak bank sentral Eropa, maka dilakukannya perubahan regulasi dan pindah persneling ke gigi netral pendapatan dalam struktur perpajakan (misalnya kredit pajak investasi sementara yang dibiayai dengan kenaikan sementara tarif pajak korporasi) bisa memberikan rangsangan yang dibutuhkan untuk mengimbangi turunnya net exports. Karena itu, penting bagi negara-negara Uni Eropa mengalihkan perhatiannya kepada tantangan baru ini.
Ketika nilai euro mencapai level tertinggi US$ 1,52, Jean-Claude Trichet, presiden bank sentral Eropa, mengatakan kepada wartawan bahwa ia prihatin dengan cepatnya apresiasi euro sembari "menggarisbawahi" kebijakan resmi US Treasury yang mendukung upaya meningkatkan nilai dolar. Beberapa menteri keuangan Eropa kemudian menyuarakan tema serupa.
Sebenarnya AS jelas tidak memiliki kebijakan khusus mengenai dolar selain daripada membiarkan pasar menentukan nilai mata uang tersebut. Pemerintah AS tidak campur tangan dalam pasar valas untuk mendukung dolar, dan kebijakan moneter Federal Reserve (Fed) juga tidak diarahkan mencapai tujuan tersebut. Begitu juga Fed tidak secara khusus berupaya menurunkan nilai dolar. Walaupun tindakannya yang menurunkan suku bunga Dana Federal dari 5,25 persen pada musim panas 2007 menjadi 3 persen menyebabkan depresiasi dolar, hal itu dilakukannya untuk merangsang ekonomi AS yang sedang melemah.
Meskipun demikian, semua Menteri Keuangan AS, setidak-tidaknya mulai Robert Rubin pada pemerintahan Clinton, berulang kali mengatakan "dolar yang kuat baik untuk Amerika" bila ditanya mengenai nilai dolar. Tapi, walaupun ini tampaknya merupakan pernyataan yang lebih responsif daripada sekadar "no comment," ia tidak banyak mengisyaratkan tindakan apa yang akan diambil pemerintah saat itu dan di masa depan.
Sebenarnya, satu-satunya tujuan Kementerian Keuangan AS yang eksplisit pada waktu ini adalah menekan Cina agar meningkatkan nilai mata uangnya, renminbi, dan dengan demikian mengurangi indeks rata-rata tertimbang (weighted average) perdagangan global dalam mata uang dolar. Tekanan terhadap Cina ini konsisten dengan kebijakan AS yang mendorong negara-negara di dunia membiarkan pasar keuangan menentukan sendiri nilai tukar mata-uangnya masing-masing.
Sudah tentu ada benarnya pernyataan bahwa dolar yang kuat menguntungkan masyarakat Amerika, karena ia memungkinkan mereka membeli produk-produk dari luar negeri dengan harga yang lebih murah dengan dolar yang mereka miliki. Tapi walaupun turunnya nilai dolar mengurangi daya beli orang-orang Amerika, efeknya tidak besar karena impor hanya 15 persen dari produk domestik bruto AS. Maka itu, depresiasi dolar sebesar 20 persen hanya mengurangi daya beli orang-orang Amerika sebesar 3 persen.
Pada saat yang sama, turunnya nilai dolar membuat produk Amerika lebih bersaing di pasar global, sehingga akan meningkatkan ekspor dan mengurangi impor. Nilai dolar sudah menurun selama dua tahun terakhir ini bukan saja terhadap euro, tapi juga terhadap mata uang lainnya, termasuk yen Jepang dan renminbi Cina. Menurut indeks rata-rata tertimbang perdagangan global yang riil, dolar turun sebesar 13 persen terkait dengan nilainya pada Maret 2006.
Diperlukan peningkatan daya saing barang dan jasa Amerika untuk menciutkan defisit perdagangan AS yang besar itu. Bahkan dengan turunnya nilai dolar dan naiknya nilai ekspor sebesar 25 persen selama dua tahun terakhir, AS masih mengalami defisit perdagangan sekitar US$ 700 miliar (5 persen dari PDB) pada akhir triwulan keempat 2007. Karena impor US besarnya hampir dua kali lipat ekspor, maka diperlukan kenaikan ekspor sebesar 20 persen untuk mengimbangi kenaikan impor sebesar 10 persen. Artinya, dolar harus turun lebih rendah lagi untuk menciutkan defisit perdagangan ke tingkat yang berkesinambungan.
Investor di seluruh dunia juga ingin mengurangi dolar yang dimilikinya, karena tiga alasan utama. Pertama, suku bunga euro dan obligasi Inggris lebih tinggi daripada surat berharga AS serupa, sehingga investasi dalam mata uang tersebut lebih menguntungkan daripada investasi dalam mata uang dolar.
Kedua, karena AS mengalami defisit perdagangan yang besar yang hanya bisa diatasi dengan dolar yang lebih bersaing (sementara negara-negara zone euro secara kolektif mengalami surplus perdagangan), maka investor mengharapkan nilai dolar cenderung turun. Penurunan nilai dolar yang dapat diprediksi ini membuat hasil perolehan dari obligasi dalam mata uang dolar, bahkan relatif lebih rendah lagi daripada selisih suku bunga itu sendiri.
Akhirnya, setiap tahun investor menambahkan hampir satu triliun dolar berupa net dollar securities ke dalam posisinya, dan dengan demikian meningkatkan risiko berlanjutnya akumulasi dolar. Dengan turunnya total yield dan naiknya portfolio risk, maka tidak mengherankan bila investor di seluruh dunia ingin menjual dolarnya.
Walaupun investor asing masing-masing bisa menjual surat berharga dalam mata uang dolar yang mereka miliki, mereka hanya bisa menjualnya kepada investor asing lainnya. Selama AS mengalami defisit neraca pembayaran, klaim surat berharga milik investor asing terhadap ekonomi AS pasti meningkat. Tapi walaupun investor asing tidak lagi mau memegang surat berharga dalam mata uang dolar, upaya mereka untuk menjualnya akan terus menurunkan nilainya sampai berkurangnya kemungkinan dan berkurangnya kekhawatiran menurunnya nilai dolar lebih lanjut membuat mereka bersedia menahan sisa surat berharga dalam mata uang dolar yang mereka miliki.
Daripada cuma mengharapkan agar nilai dolar tidak turun lebih rendah lagi, pemerintah di negara-negara Eropa perlu mengambil langkah merangsang permintaan domestik guna menghentikan anjloknya penjualan dan hilangnya pekerjaan dengan dolar yang lebih bersaing. Bukan tugas yang mudah karena bank sentral Eropa harus tetap waspada terhadap meningkatnya inflasi, serta karena banyak negara Uni Eropa mengalami defisit fiskal yang cukup besar.
Dengan terbatasnya ruang gerak bank sentral Eropa, maka dilakukannya perubahan regulasi dan pindah persneling ke gigi netral pendapatan dalam struktur perpajakan (misalnya kredit pajak investasi sementara yang dibiayai dengan kenaikan sementara tarif pajak korporasi) bisa memberikan rangsangan yang dibutuhkan untuk mengimbangi turunnya net exports. Karena itu, penting bagi negara-negara Uni Eropa mengalihkan perhatiannya kepada tantangan baru ini.
Monday, August 27, 2007
Islam Fundamentalis Versus Islam Modernis
Saya pernah baca buku tentang Islam Fundamentalis Versus Islam Modernis milik seorang teman, saya lupa entah siapa pengarang maupun penerbitnya. Yang jelas pertentangan antara kedua kubu di atas sudah terjadi sejak lama. Pertentangan ini sendiri bukan dalam artian saling baku hantam dengan kekuatan fisik atau senjata namun dalam hal perbedaaan pendapat dan ide. Saya tidak memihak salah satu diantaranya,namun saya prihatin sekaligus memahami berbagai alasan kedua kubu di atas dalam memperjuangkan ide-ide mereka. Ketika AS menginvasi Afghanistan sebagai sesama saudara muslim saya sangat marah. Bahkan ketika AS juga kembali menginvasi Irak sebagai negara berdaulat, kebencian terhadap AS terutama pemerintahan Bush Junior saya rasakan semakin meningkat. Perasaan benci ini menimbulkan sikap simpatik kepada golongan-golongan yang oleh AS sebagai "Negara-Negara Terroris" seperti Iran misalnya. Perasaan simpatik tersebut kembali menyeruak ketika Milisi Hezbollah berhasil mematahkan serangan militer Israel yang notabene adalah militer yang paling ditakuti di Timur Tengah. Jadi tidak salah apabila pengaruh Islam Fundamentalis semakin menguat di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Saya sendiri meskipun bukanlah seorang muslim yang taat tetapi tetap peduli dengan saudara-saudara kita di Irak, Afghanistan, Libanon selatan, Filipina Selatan, Thailand Selatan yang tengah berjuang mempertahankan hidup mereka. Saya takut semakin lama kebencian ini makin menumpuk dan pada akhirnya akan merugikan kita semua karena pada akhirnya kaum modernis Islam akan kehilangan pengaruh mereka.
Subscribe to:
Posts (Atom)