Tuesday, November 10, 2009

Penilaian Sejarah.

Tak perlu dipungkiri bahwa ilmu sejarah dalam kurikulum pelajaran sekolah tingkat SD dan SMP dianggap pelajaran “kelas dua.” Artinya, tidak seperti pelajaran IPA, Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris yang dianggap khalayak lebih menentukan kelulusan. Anggapan ini semakin menguat sejak dinas pendidikan mengeluarkan kebijakan Ujian Nasional (UN) beberapa tahun lalu sebagai penentu utama kelulusan siswa. Namun benarkah pelajaran sejarah sudah tidak penting lagi? Kalau tidak penting dan tidak memberi andil dalam pembentukan generasi bangsa, kenapa masih sibuk-sibuk diajarkan di kelas? Kenapa para guru harus memaksakan muridnya menghafal materi tentang para pahlawan bangsa, merayakan hari besar nasional? Bila tidak penting, bukankah tidak perlu diajarkan saja?

Sebenarnya, tulisan pendek ini tidak ingin mengulas tentang kecenderungan sejarah sebagai pelajaran “kelas dua” sebagai akibat kebijakan negara dalam mengatur institusi pendidikan dan kelulusan siswa. Wilayah ini sangatlah kental berbau politis dan perdebatan secara tuntas haruslah mencapai tataran mempertanyakan kebijakan negara tersebut (perundang-undangan). Dan ini tentunya tak lepas dari ranah hukum. Tulisan ini hanya ingin mengungkapkan sedikit gagasan tentang sumbangan yang bisa diberikan ilmu sejarah bagi generasi bangsa. Anggap saja memang pelajaran sejarah dianggap pelajaran kelas dua. Walaupun pelajaran ini dinomorduakan oleh sistem pendidikan, sebenarnya tetaplah masih mampu menyumbang pembentukan pribadi anak-anak. Dalam jam-jam pelajaran sejarah yang jumlahnya sangat terbatas (dua jam pelajaran dalam seminggu @ 40 menit), tetaplah dapat dimanfaatkan sebaik mungkin. Hanya saja, peluang yang sedikit ini seringkali tidak digunakan secara optimal.

Di kebanyakan sekolah, pelajaran sejarah diajarkan oleh para guru dari disiplin ilmu lain. Mereka menganggap bahwa sejarah bisa diajarkan siapa saja karena tinggal menghafal materi saja. Dari sinilah sebenarnya kesalahan fatal terjadi. Materi kurikulum pelajaran sejarah nasional Indonesia yang telah dikemas dalam modul pembelajaran Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) disodorkan mentah-mentah dan dengan paksaan (harus dihafal) dari mulai terjadinya alam semesta menurut ilmu geologi, awal manusia purba, kehidupan Hindu, Budha, Islam, kolonial, hingga kemerdekaan dan reformasi. Sepanjang tiga tahun belajar baik di tingkat SMP maupun SMA, anak-anak dijejali paksa dengan materi tersebut. Nyaris mereka dibuat tidak bernafas. Padahal alur materi tersebut sejak di SD, SMP bahkan hingga SMA masih sama dan diulang-ulang. Setelah paling tidak selama 6 tahun dijejali materi tersebut, ternyata banyak lulusan tetap tidak melek sejarah bangsanya sendiri alias ahistoris.

Kecenderungan metode penghafalan dalam pembelajaran sejarah terbukti menyebabkan siswa apatis dan tidak tertarik terhadap ilmu sejarah. Pelajaran tersebut menjadi sangat membosankan. Bila ini terus terjadi, waktu yang sangat terbatas tersebut hanyalah terbuang sia-sia. Maka, ada baiknya para guru sejarah mengevaluasi cara pembelajaran tersebut.

Penulis saat ini bekerja sebagai pengajar sejarah di sebuah SMP Swasta di Jakarta. Selama beberapa tahun terakhir ini mencoba menyampaikan pembelajaran sejarah sedikit berbeda dengan kecenderungan umum. Pada prinsipnya, materi sejarah tidaklah perlu diajarkan dengan memaksakan materi kurikulum yang ditentukan dan ditargetkan pemerintah. Lebih baik siswa diajak tahu bagaimana memaknai peristiwa masa lalu, menengok ulang peristiwa tersebut, kemudian menilai dan mengambil hikmahnya. Bila pendekatan ini yang diutamakan, maka materi sejarah haruslah mampu mereka kenali dari posisi mereka berada. Materi sejarah tersebut harusnya menyentuh hidup mereka secara langsung. Dan bila ini tercapai, barulah menarik mundur secara lebih jauh.

Dalam mempraktekkan metode tersebut, penulis pertama-tama mengajak siswa untuk menjalani kegiatan rutin membuat catatan harian tentang peristiwa yang telah mereka alami. Catatan harian tersebut bukan untuk arena berkeluh-kesah, mengumbar perasaan, tetapi menekankan pada kemampuan mendiskripsikan peristiwa. Peristiwa atau pengalaman yang lalu dan telah mereka rasakan (dilihat, dibau, diraba, didengar, dikecap) wajib ditulis dalam catatan harian tersebut. Siswa tidak perlu memberi penilaian apa pun terhadap peristiwa yang telah mereka alami tersebut. Biarkan dijabarkan/digambarkan sedetil mungkin.

Rata-rata setelah melalui penulisan selama enam bulan, para siswa mulai terbiasa dengan metode tersebut. Mereka mulai mampu secara lancar memberi kesaksian atas peristiwa yang telah dialami. Selama proses ini berlangsung, guru dapat membantu dan mengomentari kesaksian mereka baik dari segi teknis penulisan, bahasa, isi, maupun pemaknaan atas pengalaman mereka. Selain melakukan praktek menulis, guru juga sekaligus melakukan fungsi konseling.

Setelah siswa mampu menulis catatan harian secara lancar, diberikanlah materi berikutnya yaitu pembuatan sejarah hidup keluarga. Materi ini berlangsung selama enam bulan dimana siswa diajak untuk mencoba mengumpulkan bahan terkait sejarah hidupnya dan sejarah keluarga. Mereka mulai mengumpulkan foto-toto kecil mereka, foto-foto orang tua, kakek, nenek, hingga cerita-cerita kehidupan leluhur mereka di masa lalu. Selama proses ini berlangsung, banyak kejadian unik. Ada seorang anak yang mendapatkan informasi bahwa konon buyutnya adalah seorang Portugis yang menikah dengan orang Tionghoa hingga turun-temurun sampai dia menjadi ada. Artinya ia baru tahu bahwa dirinya mempunyai darah Portugis. Ada yang menjadi tahu kalau kakeknya adalah salah satu pejuang yang gugur dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Konon dari cerita neneknya, warga Surabaya benar-benar tiada takut mati melawan Sekutu yang perlengkapan senjatanya jauh lebih canggih dibanding rakyat Surabaya. Ribuan korban bergelimpangan akibat bombardir Sekutu dari laut, darat, maupun udara. Namun, arek Surabaya pantang menyerah. Ada cerita lain pula dimana anak menjadi tahu ternyata ia mempunyai darah keturunan Belanda, dan lain-lain. Dengan demikian, siswa diajak untuk mengetahui dan mengenal masa lalu.

Dalam cerita-cerita masa lalu yang mereka kenali, tak jarang ada kejadian-kejadian yang mengenakkan dan tidak. Misalnya siswa menjadi tahu bahwa ibunya telah cerai dengan bapaknya, neneknya ternyata seorang gundik Belanda, keluarganya sering ribut melulu, kakeknya adalah pengemis dan lain sebagainya. Di saat inilah anak-anak kemudian diajak untuk memberikan penilaian, pemaknaan dan secara perlahan menarik hikmah. Anak diajak memetik mana masa lalu yang perlu dicontoh dan mana yang tidak. Dengan demikian, sejarah dapat dilihat dan dipelajari dari berbagai sisi. Hal ini menandakan, secara perlahan nilai perspektif sejarah juga dikuasai para siswa. Perspektif tersebut menjadi pondasi mereka saat mempelajari ilmu sejarah secara ilmiah di tingkat perguruan tinggi. Di samping itu, dengan pendekatan ini, siswa dikenalkan dengan pendekatan sejarah yang demokratis (kebenaran peristiwa masa lampau dilihat dari berbagai sisi) dan muncul dari bawah. Sejarah bukan hanya miliknya para tokoh saja, tetapi kalangan bawah, guru, pedagang sayur, penjual tahu, supir, tukang becak, dan lain-lain, juga berhak mempunyai sejarah.

Materi sejarah tidak hanya sampai disini. Di tahap selanjutnya, siswa bisa diajak menarik mundur lebih jauh tentang keberadaan orang-orang Indonesia yang di masa lalu ada hubungannya sebagai bangsa. Ambil contoh mengenai siswa yang mengenali neneknya adalah gundik Belanda. Maka, sang guru bisa mulai membahas era Kolonial di mana Belanda mempraktekkan per-nyai-an, kebijakan diskriminasi rasial, perbudakan, dan seterusnya. Siswa yang mengetahui dirinya adalah keturunan bangsawan/raja, bisa diajak untuk mengetahui bahwa dulu di Nusantara pernah terjadi suatu masa dimana kehidupan diatur mutlak oleh raja (era Feodal Hindu-Budha dan Islam) karena raja dianggap sebagai wakil dewa/Tuhan, dan seterusnya sampai awal penciptaan.

Walaupun jam pelajaran sejarah yang pendek, gambaran materi pembelajaran sejarah di atas tetaplah memungkinkan untuk disampaikan ke anak-anak. Walaupun keluar dari aturan dan ketentuan kurikulum, siswa paling tidak telah mempunyai bekal dalam memandang ilmu sejarah dimana ilmu dapat menjembatani hidup siswa dengan masa lalunya. Hal ini justru sangat memungkinkan dilakukan jika pelajaran sejarah tidak masuk dalam pelajaran yang diujikan di Ujian Nasional (UN). Sebab, bila masuk dalam UN, guru justru akan cenderung terjebak kembali dalam penghafalan demi mengejar target materi yang telah ditentukan.


Disadur kembali oleh:
Sejarawan Hamdina
024-7060.9694

No comments:

Post a Comment

Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.

Followers