Showing posts with label Valuta. Show all posts
Showing posts with label Valuta. Show all posts

Wednesday, March 25, 2009

(US$) Dollar is not strong enough.

American Dollar is not strong enough and doesn't powerfull today. Memang jatuhnya nilai dolar akhir-akhir menjadi berita besar di pasar modal internasional. Fenomena ini telah mulai terasa pada pertengahan tahun 2004. Nilai mata uang sesuatu negara sering dipandang selaku mencerminkan kekuatan ekonomi negara bersangkutan. Tetapi menurut pakar tidak selamanya demikian. Perubahan dalam nilai lawan mata uang selalu menolong beberapa sektor ekonomi, tetapi juga merugikan sektor lainnya.

Ketika nilai euro mencapai level tertinggi US$ 1,52, Jean-Claude Trichet, presiden bank sentral Eropa, mengatakan kepada wartawan bahwa ia prihatin dengan cepatnya apresiasi euro sembari "menggarisbawahi" kebijakan resmi US Treasury yang mendukung upaya meningkatkan nilai dolar. Beberapa menteri keuangan Eropa kemudian menyuarakan tema serupa.


Sebenarnya AS jelas tidak memiliki kebijakan khusus mengenai dolar selain daripada membiarkan pasar menentukan nilai mata uang tersebut. Pemerintah AS tidak campur tangan dalam pasar valas untuk mendukung dolar, dan kebijakan moneter Federal Reserve (Fed) juga tidak diarahkan mencapai tujuan tersebut. Begitu juga Fed tidak secara khusus berupaya menurunkan nilai dolar. Walaupun tindakannya yang menurunkan suku bunga Dana Federal dari 5,25 persen pada musim panas 2007 menjadi 3 persen menyebabkan depresiasi dolar, hal itu dilakukannya untuk merangsang ekonomi AS yang sedang melemah.


Meskipun demikian, semua Menteri Keuangan AS, setidak-tidaknya mulai Robert Rubin pada pemerintahan Clinton, berulang kali mengatakan "dolar yang kuat baik untuk Amerika" bila ditanya mengenai nilai dolar. Tapi, walaupun ini tampaknya merupakan pernyataan yang lebih responsif daripada sekadar "no comment," ia tidak banyak mengisyaratkan tindakan apa yang akan diambil pemerintah saat itu dan di masa depan.


Sebenarnya, satu-satunya tujuan Kementerian Keuangan AS yang eksplisit pada waktu ini adalah menekan Cina agar meningkatkan nilai mata uangnya, renminbi, dan dengan demikian mengurangi indeks rata-rata tertimbang (weighted average) perdagangan global dalam mata uang dolar. Tekanan terhadap Cina ini konsisten dengan kebijakan AS yang mendorong negara-negara di dunia membiarkan pasar keuangan menentukan sendiri nilai tukar mata-uangnya masing-masing.


Sudah tentu ada benarnya pernyataan bahwa dolar yang kuat menguntungkan masyarakat Amerika, karena ia memungkinkan mereka membeli produk-produk dari luar negeri dengan harga yang lebih murah dengan dolar yang mereka miliki. Tapi walaupun turunnya nilai dolar mengurangi daya beli orang-orang Amerika, efeknya tidak besar karena impor hanya 15 persen dari produk domestik bruto AS. Maka itu, depresiasi dolar sebesar 20 persen hanya mengurangi daya beli orang-orang Amerika sebesar 3 persen.


Pada saat yang sama, turunnya nilai dolar membuat produk Amerika lebih bersaing di pasar global, sehingga akan meningkatkan ekspor dan mengurangi impor. Nilai dolar sudah menurun selama dua tahun terakhir ini bukan saja terhadap euro, tapi juga terhadap mata uang lainnya, termasuk yen Jepang dan renminbi Cina. Menurut indeks rata-rata tertimbang perdagangan global yang riil, dolar turun sebesar 13 persen terkait dengan nilainya pada Maret 2006.


Diperlukan peningkatan daya saing barang dan jasa Amerika untuk menciutkan defisit perdagangan AS yang besar itu. Bahkan dengan turunnya nilai dolar dan naiknya nilai ekspor sebesar 25 persen selama dua tahun terakhir, AS masih mengalami defisit perdagangan sekitar US$ 700 miliar (5 persen dari PDB) pada akhir triwulan keempat 2007. Karena impor US besarnya hampir dua kali lipat ekspor, maka diperlukan kenaikan ekspor sebesar 20 persen untuk mengimbangi kenaikan impor sebesar 10 persen. Artinya, dolar harus turun lebih rendah lagi untuk menciutkan defisit perdagangan ke tingkat yang berkesinambungan.


Investor di seluruh dunia juga ingin mengurangi dolar yang dimilikinya, karena tiga alasan utama. Pertama, suku bunga euro dan obligasi Inggris lebih tinggi daripada surat berharga AS serupa, sehingga investasi dalam mata uang tersebut lebih menguntungkan daripada investasi dalam mata uang dolar.


Kedua, karena AS mengalami defisit perdagangan yang besar yang hanya bisa diatasi dengan dolar yang lebih bersaing (sementara negara-negara zone euro secara kolektif mengalami surplus perdagangan), maka investor mengharapkan nilai dolar cenderung turun. Penurunan nilai dolar yang dapat diprediksi ini membuat hasil perolehan dari obligasi dalam mata uang dolar, bahkan relatif lebih rendah lagi daripada selisih suku bunga itu sendiri.


Akhirnya, setiap tahun investor menambahkan hampir satu triliun dolar berupa net dollar securities ke dalam posisinya, dan dengan demikian meningkatkan risiko berlanjutnya akumulasi dolar. Dengan turunnya total yield dan naiknya portfolio risk, maka tidak mengherankan bila investor di seluruh dunia ingin menjual dolarnya.


Walaupun investor asing masing-masing bisa menjual surat berharga dalam mata uang dolar yang mereka miliki, mereka hanya bisa menjualnya kepada investor asing lainnya. Selama AS mengalami defisit neraca pembayaran, klaim surat berharga milik investor asing terhadap ekonomi AS pasti meningkat. Tapi walaupun investor asing tidak lagi mau memegang surat berharga dalam mata uang dolar, upaya mereka untuk menjualnya akan terus menurunkan nilainya sampai berkurangnya kemungkinan dan berkurangnya kekhawatiran menurunnya nilai dolar lebih lanjut membuat mereka bersedia menahan sisa surat berharga dalam mata uang dolar yang mereka miliki.


Daripada cuma mengharapkan agar nilai dolar tidak turun lebih rendah lagi, pemerintah di negara-negara Eropa perlu mengambil langkah merangsang permintaan domestik guna menghentikan anjloknya penjualan dan hilangnya pekerjaan dengan dolar yang lebih bersaing. Bukan tugas yang mudah karena bank sentral Eropa harus tetap waspada terhadap meningkatnya inflasi, serta karena banyak negara Uni Eropa mengalami defisit fiskal yang cukup besar.


Dengan terbatasnya ruang gerak bank sentral Eropa, maka dilakukannya perubahan regulasi dan pindah persneling ke gigi netral pendapatan dalam struktur perpajakan (misalnya kredit pajak investasi sementara yang dibiayai dengan kenaikan sementara tarif pajak korporasi) bisa memberikan rangsangan yang dibutuhkan untuk mengimbangi turunnya net exports. Karena itu, penting bagi negara-negara Uni Eropa mengalihkan perhatiannya kepada tantangan baru ini.


Followers