Gerakan sejarah memerlukan perjuangan yang akarnya berlandaskan semangat idealisme tetapi tindakan berikutnya tetap mengedepankan pelaksanaan yang realistis di semua lini. Jadi bukan lagi hanya sekedar slogan tanpa makna tanpa ada pertambahan nilai. Dari visi berkembang menjadi misi dengan suatu tujuan, kemudian dikerjakan secara sistimatis dengan urutan waktu yang kronologis. Dengan demikian tiap tahapan dapat berjalan secara terukur. Inilah kekuatan sejarah yang mampu memadukan unsur keilmuan secara akademis sekaligus memasukkan faktor seni serta unsur sastra sebagai filosofinya sehingga ia mampu menghidupkan suatu gerakan dengan gelora semangatnya.
Museum Bank Mandiri merupakan bangunan cagar budaya yang tiang pancangnya mulai dibeton sejak Juli 1929 oleh biro konstuksi NV Nedam (Nederlandse Aanneming Maatshappij) dengan gaya arsitektur Neiuw-Zakelijk dan kelar dibangun pada tahun 1932 yang peruntukan pertamanya digunakan untuk kantor Nederlandsche Handel Maatschappij NV di Batavia serta secara formal diresmikan pada tanggal 14 Januari 1933 oleh Cornelis Johannes Karel van Aalst, Presiden NHM ke-10 saat itu.
Sejalan dengan perkembangan politik-ekonomi selanjutnya, NHM yang merupakan bank asing milik Belanda dinasionalisasi oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 5 Desember 1960 yang kemudian dilebur ke dalam Bank Koperasi Tani & Nelayan (BKTN). Riwayat gedung ini pun berubah menjadi Kantor BKTN Urusan Exim.
Pada era Bank Tunggal atau dikenal dengan masa “Bank Berjuang”, gedung ini pun menjadi bagian dari Kantor Pusat Bank Negara Indonesia (BNI) Unit II bidang Exim sejak 17 Agustus 1965 sampai lahirnya Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank Exim) tanggal 31 Desember 1968. Penggunaan gedung ini sebagai Kantor Pusat Bank Exim berlangsung sampai tahun 1995 atau setelah Bank Exim pindah ke gedung Kantor Pusat yang baru di Jl. Gatot Subroto Kav. 36-38 Jakarta Selatan.
Dengan lahirnya Bank Mandiri tanggal 2 Oktober 1998 dan bergabungnya empat bank pemerintah, Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank Exim) dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) ke dalam Bank Mandiri. Maka gedung warisan sejarah ini pun beralih menjadi salah satu aset Bank Mandiri dengan berbagai koleksi perbankan diantaranya perlengkapan operasional bank, surat berharga, numismatik, buku besar, mesin hitung uang, brankas, dan lain-lain. Semua koleksi tersebut terdapat di ruang tata pamer yang didesain menarik sehingga tetap terasa nuansa perbankan tempo dulu yang meskipun kuno tetap terawat hinggakini.
Bila Jakarta dengan kawasan kota tua sudah memperoleh dukungan revitalisasi salahsatu bangunannya oleh Bank Mandiri. Semoga Semarang pun dapat berharap hal yang sama terhadap kota lama peninggalan kolonial di negeri ini. Dukungan organisasi yang besar dari entitas BUMN seperti Bank Mandiri terhadap sejarah bangsa tentu dapat disebut sebagai suatu kehadiran tersendiri bagi negeri, bukan sekedar slogan tetapi sebuah tindakan yang idealis sekaligus realistis. Suatu gebrakan dari Kepala Kantor Wilayah VII Jawa 2, Bapak Mazwar Purnama beserta jajarannya yang berkantor di sekitar kawasan kota lama Semarang dan dekat dengan ikon kota ini Lawang Sewu.