Showing posts with label fakta. Show all posts
Showing posts with label fakta. Show all posts

Thursday, February 14, 2019

Koran Suara Merdeka HUT ke-69


Dalam satu minggu ini banyak moment penting untuk kembali diulang, seperti perayaan hari jadi koran Suara Merdeka "Perekat Komunitas Jawa Tengah" sebagai korannya orang Jawa Tengah. Media yang sejak awal merupakan tempat bagi saya memperoleh data dan fakta terpercaya sekitar tahun 2000 saat dimana sumber online di internet masih sulit diakses baik karena keterbatasan hardware serta software yang saat itu gadget masih barang langka dan mahal.

Skripsi saya yang tentang sejarah sepakbola di Semarang hampir sebagian besar datanya berasal dari arsip koran Suara Merdeka, jadi sejauh ini secara emosional ada keterikatan yang teramat sangat erat baik secara pribadi maupun institusional. Penjelasan mungkin akan terlalu panjang, tapi intinya saya ingin mengucapkan Selamat Ulang Tahun Suara Merdeka ke-69 dan teriring doa semoga koran ini akan tetap ada minimal hingga genap di usia ke 100 tahun nanti meskipun mungkin berat langkah menuju kesana.



Masalahnya saat kita miskin, bukan orang yang populer dan belum sukses; kata-kata bijaksana sekalipun disertai rencana dan harapan idealis sekaligus realistis terkadang tak cukup hingga cuma dianggap kentut. Jadi upaya menuju usia satu abad amatlah sulit untuk dicapai bila tak ada inovasi untuk mendobrak cara media konvensional ditengah kompetisi modern dan global berbasis digital.

Sementara ini yang bisa saya lakukan adalah berharap seperti ucapan Bapak Walikota Semarang Hendrar Prihadi kepada Suara Merdeka; "Semakin Tua, kertasnya mungkin bisa musnah, tapi catatannya tetap jadi sejarah." Dengan semangat tersebut semoga Suara Merdeka tetap dapat bertahan dan terus berjuang demi eksistensinya yang dilandasi idealisme kemerdekaan saat pertama kali terbit, Aamiin YRA.


Sunday, November 22, 2009

Imajinasi Sejarah: Penyatuan Serpihan Materi Peristiwa melalui tulisan (historiografi).

Menulis sejarah merupakan suatu kegiatan intelektual dan ini suatu cara yang utama untuk memahami sejarah (Paul Veyne, 1971:71; Tosh, 1985:94).

Apakah itu imajinasi? Apakah sejarah memerlukan imajinasi dalam penulisannya? Tidak takutkah bila imajinasi tersebut dapat berkembang menjadi sebuah fiksi? Bagaimana cara membatasi sebuah imajiasi dalam penulisan sejarah? Mungkinkah imajinasi tersebut nantinya menjadi sebuah imajinasi yang cukup obyektif?
Pertanyaan-pertanyaan seperti tertulis di atas kadangkala “menggelitik” para sejarawan dalam menerapkan metode penelitian sejarahnya. Memang, imajinasi yang berlebihan dapat menjadikan obyek yang di-imajinasikan bisa jauh dari keadaan yang sebenarnya. Maka dari itu, dibutuhkan suatu pembatasan yang jelas tentang peng-interpretasi-an imajinasi tersebut.

Menurut Kuntowijoyo, seorang sejarawan, dalam pekerjaannya harus dapat membayangkan apa yang sebenarnya, apa yang sedang terjadi, dan apa yang terjadi sesudahnya (Kuntowijoyo, 2001:70). Dalam kasus seperti ini, batasan yang dipakai sangat jelas. Pembatasan yang seharusnya dilakukan adalah, membatasi imajinasi yang berkembang khusus pada keadaan yang sebenarnya terjadi. Jadi jika imajinasi yang berkembang menjadi meng-interpretasi-kan keadaan yang bukan sebenarnya terjadi, maka telah terjadi manipulasi peristiwa yang sebenarnya.

Imajinasi dalam Sejarah dan Imajiasi dalam interpretasi Fiksi

Imajinasi dalam sejarah dan imajinasi dalam interpretasi fiksi sangat beda. Oleh karena itu, di sini penting memilah antara imajinasi sejarah dan imajinasi fiksi. Imajinasi sejarah merupakan imajinasi yang dilakukan seorang sejarawan atau seorang sumber sejarah dalam mengungkap sebuah peristiwa sesuai dengan keadaan yang sebenarnya terjadi. Imajinasi fiksi (seperti sastra atau ruang lingkup fiksi lainnya) secara singkat dapat dikatakan sebagai pengungkapan imajinasi yang terus berkembang tanpa batas yang jelas.

Walau dalam novel sejarah, ada beberapa kasus sejarah yang berusaha ditampilkan atau minimal sebagai bahan “pembangkit” awal masalah atau mungkin “hanya” sebagai pendahuluan yang dikonstruksi sebagai jalan masuk ke dalam cerita (latar belakang peristiwa atau tempat atau bahkan sebagai pendahuluan), tetapi sebagian besar cerita dalam novel tersebut telah “tercemar” dengan faktor imajinasi sang penulis. Untuk itu perlu ditegaskan di sini bahwa imajinasi sejarah dan imajinasi fiksi merupakan dua hal yang beda.

Sebagai contoh, dalam imajinasi sejarah, seorang sejarawan harus mampu untuk ber-imajinasi tentang sejarah yang akan digalinya. Misalnya, dalam Perang Aceh, ia (sejarawan) harus mampu berimajinasi mengenai pantai, hutan, desa, meunasah, istana, mesjid, dan bukit-bukit. Mungkin ia akan bisa memahami Teuku Umar melalui pemahaman imajinernya tentang pantai, erlawanan Tjoet Nyak Dhien melalui hutannya, dan penyebaran cita-cita perang Sabil lewat imajinasinya tentang desa, meunasah, dan mesjid (Kuntowijoyo, 2001:70).

Tuntutan dalam Interpretasi Sejarah

Petualangan yang menguntungkan dalam penelitian sejarah hanya dapat kita memulainya bila mengidentifikasikan suatu masalah yang membingungkan dan kemudian merumuskannya dengan benar (Consuelo G. Sevilla et.al.:63). Dalam kasus ini, seorang sejarawan dituntut untuk dapat meng-interpretasi-kan sebuah masalah dengan cukup obyektif, sesuai dengan materi yang sebenarnya. Di sinilah imajinasi dalam sejarah diperlukan. Sebuah imajinasi dengan batasan keadaan yang sebenarnya. Penggunaan imajinasi dalam interpretasi dan eksplanasi menjadi mutlak disaat kasus yang sulit menjadi penghalang dalam meng-interpretasikan masalah yang dihadapi.

Selain batasan tersebut diatas, faktor continuitas dan akronisme menjadi faktor yang harus diperhatikan. Kesinambungan dan urutan waktu dalam interpretasi maupun ekplanasi menjadi hal yang wajib ditaati agar tidak terjadi fallacies (kesalahan-kesalahan dalam penulisan). Sangat lucu jika fakta yang kita rangkai tidak sinambung dan urutan waktunya berloncatan. Maka tuntutan seorang sejarawan dalam meramu fakta secara continuitas dan akronisme, sangat mutlak dilakukan. Hal ini untuk menghindari kerancuan dalam sejarah dan sebagai landasan yang kuat dalam menerima serbuan kritik.

Referensi

Consuelo G. Sevilla et.al. Pengantar Metodologi Penelitian. UIP.

Helius Sjamsudin. 1994. Metodologi Sejarah, Departeman P & K, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Jakarta: Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.
Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.

Artikel telah disadur kembali oleh:
Joko Hamdani as Sejarawan Hamdina
024-7060.9694
D'professional historian with excellent entrepreneur skill.

Followers