Showing posts with label Sejarah. Show all posts
Showing posts with label Sejarah. Show all posts

Wednesday, April 15, 2009

Fakta VS Interpretasi

Ilmu sejarah terbagi dua, yakni fakta sejarah dan tafsir sejarah. Selama ini dalam pemahaman sejarah Indonesia, hal kedua begitu dominan. Sehingga tafsir sejarah dipandang sebagai sejarah itu sendiri.


Contoh kasus ialah bagaimana secara fakta sejarah yang namanya sumpah pemuda itu tidak ada, melainkan kongres pemuda. Kalimat “sumpah pemuda” itu baru ada tahun 1958, ketika Soekarno mencetuskannya. Namun, kalimat itu kemudian, justru menghiasi berbagai buku ajar sejarah.

Akibat terjadinya sentralistis sejarah yang dilakukan Jakarta , banyak fakta sejarah di daerah yang kemudian tak tergali dan terlupakan. Padahal, sejarah kebangkitan nasional tidak hanya terjadi di Jawa, tapi merata di seluruh tanah air. Contohnya di Sumut, banyak tokoh kebangkitan nasional yang berjuang, seperti MH Manulang (Tanah Batak), Tengku Hasyim (Langkat) Sutan Cahyangan (Tapanuli) atau Williem Iskandar dan Putri Lopian. Tapi sejarah nasional kemudian tidak mencantumkannya.

Contoh kasus lainnya ialah, Penjajahan Belanda terhadap Indonesia selama 350 tahun. Itulah satu dari sedikit warisan pemikiran pra-Orba yang masih bertahan sampai sekarang. Dalam upacara-upacara resmi, para pejabat yang merasa perlu memobilisasi semangat orang, selalu mengucapkannya. Sejak 1930-an, gerakan nasionalis menjadikan pernyataan ini sebagai bahan agitasi dan propagandanya.

Dan Faktanya adalah Belanda benar tidak menjajah "Indonesia" selama 350 tahun, terus berapa lama??..menurut saya bukan berapa lama yang menjadi permasalahan, tapi lebih pada definisi penjajahan itu sendiri. Sukarno mengatakan bahwa yang kita capai lewat Proklamasi Tahun 1945 adalah Kemerdekaan dalam pengertian politik, sedangkan ekonomi kita belum..oleh karena itu Sukarno menyatakan bahwa Revolusi Belum Selesai..

Kemudian, jika kita mempelajari sejarah kita dengan lebih teliti, maka kita akan kita temui fakta bahwa sebenarnya yang terjadi selama 350 tahun tersebut adalah kondisi dimana Belanda menguasai sumber-sumber ekonomi kita..untuk menguasai sumber-sumber ekonomi itu belanda mengguna berbagai cara sesuai dengan kebutuhan (misalnya dengan cara perang, dengan cara membeli Hak atas tanah-kasus Bengkulu misalnya, menerapkan Tanam Paksa dan lainnya)..Intinya adalah Belanda menjadikan Kita sebagai Sapi Perah untuk kemakmuran mereka di Eropa.

Pertanyaannya adalah apakah saat ini kita bukan lagi Sapi Perah bagi negara-negara maju?..pernahkah kita mengkaji lebih teliti tentang misalnya prosentase Kepemilikan Saham Perusahaan yang mengolah Hasil Alam Kita?..Pernahkah kita mau tahu seberapa banyak barang-barang yang kita pakai dan kita gunakan yang berasal/produk dari Perusahaan Luar Negeri ?..Jika saja kita dapat mengetahui kedua pertanyaan tersebut maka kita akan bisa mendapatkan gambaran lebih jernih tentang Posisi kemandirian bangsa ini..

If u want to be a Sejarawan.

Semua orang bisa menjadi sejarawan, apabila telah mengetahui hakikat dari ilmu sejarah dengan baik dan benar serta mampu mengaplikasikan ilmu tersebut secara bermanfaat.



TUNTUTAN untuk mereinterpretasi sejarah nasional merupakan imbas yang tidak terelakkan. Tesis Ralph Waldo Emerson, There is Properly No History; Only Biography agaknya lebih cocok dengan rentang perjalanan sejarah nasional Indonesia. Sejak dimulainya penulisan sejarah istana-centris pada masa kerajaan-kerajaan, sejarawan selalu dekat dengan kekuasaan. Demikian juga dengan historici kolonial. Mereka akan menulis orang-orang di seputar kekuasaan dan reputasi baiknya tanpa kritik. Belum ada sejarawan amatir yang diakui sebagai bagian besar optimalisasi yang mandiri dari penulisan sejarah dan menulis keadaan masyarakat secara umum yang diakui setara.

The main objective of this presentation is to explore the ways this blog can help you develop a love of history like a 'sejarawan'. "Perhaps with the increased personalization and individualization of learning, we can return to a Socratic dialogue between novices and experts in a mass education system rather than in one where education was for the privileged minority (...). One of the significant features of dialogue is that it emphasizes collective, as opposed to solitary, activity." (Michelle Selinger, Connected Schools, Cisco Systems)

If we accept the perspective that the teacher's main task is to facilitate "learning" we will set in our aims tha need of providing "elements" to learn (call it contents that develop objectives and are assessed according to pre-set criteria) and "reasons" for learning. It is an accepted standard view that more "teaching" time does not lead to more "learning". I believe this blog, on humanistic grounds (i.e., as a tool to foster guided and/or independent work; as a strategy to help students "face" the multi-faceted aspects of a given topic; as a lead to "unveil" knowledge, but considering that the use of blog is part of a whole where classroom interaction, collaboration and respect for others in their capacities) can help and foster autonomy and can produce a good deal of collaborative work. Our role might be "leading" to the use or in the use of those programs allowing room for creativity, for collaboration and for extra-classroom extension.

Tragisnya, sampai hari ini sejarawan akademis tidak pernah merasa bersalah apalagi menangisi kematian kebebasan menafsirkan sejarah obyektif bangsanya, lingkungannya, masyarakatnya, dan setiap personal. Sejarawan senior, Kuntowijoyo, dalam pembuka buku Metodologi Sejarah menandaskan, sejarawan adalah penulis sejarah! Tidak peduli dia bekerja sebagai apa. Kenyataan ini sering diingkari karena setiap penulisan sejarah selalu didominasi sejarawan akademis yang terpayungi otoritas keilmiahan sampai kenegaraan.

Sejak seminar nasional sejarah pertama dekade 1960-an, yang kedua (1970), sampai ketiga (1981), isu besar yang dibahas adalah pencarian bentuk kesepahaman penulisan sejarah nasional yang bisa mencakup semua titik-titik puncak sejarah lokal yang berdimensi nasional. Pada saat yang sama juga dirumuskan berbagai macam urusan metodologi dan aneka pendekatan yang lebih mutakhir dalam penulisan ilmu sejarah. Hasilnya adalah buku sejarah nasional 7 jilid yang kini dikritik habis-habisan, bahkan oleh pihak-pihak yang dulu mendukungnya.

Bagaimana pun sejarah merupakan hal penting. Di dalamnya ada landasan eksistensi, harga diri, kebanggaan, kritik, dan alasan untuk introspeksi. Pekerjaan penulis sejarah, jika diartikan sebagai profesi independen yang disandangkan pada sejarawan akademis, dapat diubah pada pengertian yang lebih sederhana. Kerangka penguatan sipil sebagai landasan otoritas tertinggi dalam negara demokrasi tetap mengharuskan dihormatinya institusi independen yang lahir dari rahim masyarakat sipil yang mempunyai dinamika tersendiri. Sehingga berapa pun rezim berganti, masyarakat akan selalu berminat untuk menuliskan sejarahnya dengan mandiri.

Akhirnya, sejarah nasional bisa diartikan sebagai rangkuman sejarah masyarakat dalam tingkatan lokal yang tertulis dengan lebih beragam. Sejarawan akademis tidak lagi memegang proses tunggal normalisasi sejarah nasional dan interpretasinya yang bersifat menghakimi. Sejarawan akan kembali menjadi milik masyarakat, bukan negara, dan setiap penulisan sejarah dalam semua level akan saling memanfaatkan satu sama lain untuk tujuan universal penulisan sejarah.

Wednesday, April 1, 2009

Apa itu Sejarah?

Mengenai apa yang dinamakan sejarah itu, apakah penulisan sejarah itu bisa obyektif, apakah bisa bebas dari subyektifitas penulisnya, hal itu sudah sejak lama menjadi tema diskusi bahkan perdebatan yang menarik dan memang perlu dipelajari terus. Bukan saja di kalangan cendekiawan, tetapi juga di kalangan yang lebih luas, seperti pers dan para politisi.


Lebih seabad yang lalu (Oktober 1896), seorang pakar sejarawan Inggris, Lord Acton namanya, menulis laporan kepada Syndics dari Cambridge University Press. Di situ ditulisnya a.l bahwa. pada suatu ketika adalah mungkin untuk menghasilkan 'ultimate history'. Karena, demikian ditulisnya, meskipun 'ultimate history' tidak dapat dimiliki dalam generasi ini, -- tapi kita bisa menghasilkan suatu 'sejarah konvensionil'. Di saat semua informasi bisa kita raih, dan setiap problim sudah bisa dipecahkan.

Namun, kira-kira enampuluh tahun kemudian, yaitu sesudah laporan Lord Acton yang menyatakan kemungkinan menghasilkan suatu 'ultimate history', sejarawan Prof Sir George Clark, mengomentari bahwa sejarawan-sejarawan generasi kemudian tidak mengharapkan prospektif demikian itu. Mereka itu menganggap bahwa, hasil karya mereka akan dilampaui oleh sejarawan yang menyusul kemudian. Demikianlah akan berlangsung tak henti-hentinya.

Sejarawan yang mucul kemudian menganggap bahwa pengetahuan mengenai masa lampau dilahirkan oleh lebih dari satu pemikiran-manusia; hal itu telah 'diproses' oleh mereka itu. Dan oleh karena itu, tidak mungkin ia terdiri dari elmen dan atom-atom yang tanpa kepribadian, yang tak bisa diubah oleh siapapun . . . .

Maka tanya salah seorang sejarawan terkenal lainnya EH Carr: Bila kita berusaha menjawab pertanyaan 'APA SEJARAH ITU', maka jawab kita adalah:

Disadari atau tidak, jawabannya mencerminkan posisi kita sendiri pada waktu itu, dan merupakan jawaban terhadap masalah yang lebih luas.
Yaitu pandangan tentang masyarakat yang yang bagaimana yang diambil dimana kita hidup. Macmillan, 1961.

Followers