Ilmu sejarah terbagi dua, yakni fakta sejarah dan tafsir sejarah. Selama ini dalam pemahaman sejarah Indonesia, hal kedua begitu dominan. Sehingga tafsir sejarah dipandang sebagai sejarah itu sendiri.
Contoh kasus ialah bagaimana secara fakta sejarah yang namanya sumpah pemuda itu tidak ada, melainkan kongres pemuda. Kalimat “sumpah pemuda” itu baru ada tahun 1958, ketika Soekarno mencetuskannya. Namun, kalimat itu kemudian, justru menghiasi berbagai buku ajar sejarah.
Akibat terjadinya sentralistis sejarah yang dilakukan Jakarta , banyak fakta sejarah di daerah yang kemudian tak tergali dan terlupakan. Padahal, sejarah kebangkitan nasional tidak hanya terjadi di Jawa, tapi merata di seluruh tanah air. Contohnya di Sumut, banyak tokoh kebangkitan nasional yang berjuang, seperti MH Manulang (Tanah Batak), Tengku Hasyim (Langkat) Sutan Cahyangan (Tapanuli) atau Williem Iskandar dan Putri Lopian. Tapi sejarah nasional kemudian tidak mencantumkannya.
Contoh kasus lainnya ialah, Penjajahan Belanda terhadap Indonesia selama 350 tahun. Itulah satu dari sedikit warisan pemikiran pra-Orba yang masih bertahan sampai sekarang. Dalam upacara-upacara resmi, para pejabat yang merasa perlu memobilisasi semangat orang, selalu mengucapkannya. Sejak 1930-an, gerakan nasionalis menjadikan pernyataan ini sebagai bahan agitasi dan propagandanya.
Dan Faktanya adalah Belanda benar tidak menjajah "Indonesia" selama 350 tahun, terus berapa lama??..menurut saya bukan berapa lama yang menjadi permasalahan, tapi lebih pada definisi penjajahan itu sendiri. Sukarno mengatakan bahwa yang kita capai lewat Proklamasi Tahun 1945 adalah Kemerdekaan dalam pengertian politik, sedangkan ekonomi kita belum..oleh karena itu Sukarno menyatakan bahwa Revolusi Belum Selesai..
Kemudian, jika kita mempelajari sejarah kita dengan lebih teliti, maka kita akan kita temui fakta bahwa sebenarnya yang terjadi selama 350 tahun tersebut adalah kondisi dimana Belanda menguasai sumber-sumber ekonomi kita..untuk menguasai sumber-sumber ekonomi itu belanda mengguna berbagai cara sesuai dengan kebutuhan (misalnya dengan cara perang, dengan cara membeli Hak atas tanah-kasus Bengkulu misalnya, menerapkan Tanam Paksa dan lainnya)..Intinya adalah Belanda menjadikan Kita sebagai Sapi Perah untuk kemakmuran mereka di Eropa.
Pertanyaannya adalah apakah saat ini kita bukan lagi Sapi Perah bagi negara-negara maju?..pernahkah kita mengkaji lebih teliti tentang misalnya prosentase Kepemilikan Saham Perusahaan yang mengolah Hasil Alam Kita?..Pernahkah kita mau tahu seberapa banyak barang-barang yang kita pakai dan kita gunakan yang berasal/produk dari Perusahaan Luar Negeri ?..Jika saja kita dapat mengetahui kedua pertanyaan tersebut maka kita akan bisa mendapatkan gambaran lebih jernih tentang Posisi kemandirian bangsa ini..