Dalam catatan sejarah, dalam tiga pekan ini, paling tidak lima nyawa melayang setelah terjun dari ketinggian gedung bertingkat di Jakarta. Diduga mereka meloncat karena sengaja bunuh diri (Kompas, 16/12/2009). Sebelumnya di Surabaya juga terjadi hal yang sama. Kerap kejadian seperti ini terjadi secara beruntun. Kebetulan atau memang menjalar?
Sekitar akhir abad kedelapan belas, Goethe, seorang penulis kesohor, bertutur dalam novelnya, The Sorrows of Young Werther. Dikisahkan, sang tokoh protagonis, Werther, sengaja mengakhiri hidup karena cintanya kepada tokoh utama perempuan gagal. Dalam waktu singkat setelah novel tersebut beredar, tindakan Werther ditiru oleh banyak pembacanya dengan memakai pakaian dan cara mati yamg serupa dengan yang dilakukan Werther, sementara buku novel tersebut berada di sampingnya. Dramatis!
Banyak bukti memperjelas bahwa mereka terinspirasi oleh kisah sang tokoh dalam novel tersebut. Kejadian yang sempat menggemparkan bumi Eropa saat itu sehingga novel tersebut lantas dilarang beredar. Dari situlah muncul istilah The Werther effect, atau bunuh diri yang menjalar cepat bak penyakit menular (contagious) . Mereka mengimitasi apa yang dibaca, dilihat, atau didengar, terutama bagi individu yang rentan.
Media dan perilaku meniru
Kendati peniruan bunuh diri (copycat suicide) lebih tepat dipakai untuk mengistilahkan bunuh diri yang menjalar di antara kelompok teman, namun tak terlalu berbeda dengan perilaku bunuh diri yang ditularkan lewat berbagai bentuk media. Umumnya lantaran paparan yang begitu menonjol, kejadiannya dramatis, sensasional, dan disiarkan terus-menerus oleh media.
Begitu banyak bukti bahwa media mempunyai andil besar terhadap perilaku bunuh diri (Fu & Yip, 2007). Umumnya remaja dan dewasa muda yang mempunyai faktor risikolah yang banyak mengimitasi perilaku bunuh diri dengan memungut metode yang sama. Kebetulan cara melompat dari gedung tinggi menjadi semacam tren akhir-akhir ini, baik di pusat perbelanjaan, gedung apartemen jangkung yang mulai menjamur, menara tinggi, maupun sejenisnya.
Masuk akal, apalagi di kota besar, terutama Jakarta, yang tengah berlomba membangun gedung-gedung tinggi, cara mengakhiri hidup semacam itu akan menjadi masalah, sebagaimana Hongkong yang saat ini sudah mulai berpikir untuk mengembangkan sistem pengamanan lewat arsitektur bangunan yang tak mengundang orang untuk mengakhiri penderitaan mereka di tempat tersebut. Hal itu termasuk bagaimana mengamankan jembatan-jembatan yang menjadi ikon kota.
Mungkinkah pengelola gedung (termasuk yang memberikan izin mendirikan gedung) di Indonesia mulai berpikir dan bertindak seperti itu? Hal ini tak boleh dianggap sepele bila tak ingin melihat korban berjatuhan kembali. Semua komponen masyarakat ikut bertanggung jawab. termasuk media massa, terutama dalam pemberitaan yang berpotensi ditiru masyarakat. Misalnya mengenai peristiwa bunuh diri, seyogianya media memberitakan secara lebih bertanggung jawab, akurat, dan lebih sensitif memegang etika reportase. Diharapkan, media menghindari cara pemberitaan yang sensasional, terlalu didramatisasi, menghindari pelaporan secara detail, apalagi lokasi tempat dan cara kematian secara eksplisit.
Hal penting lain, tidak melakukan penyederhanaan penyebab masalah karena bisa menafikan kausa kompleks bunuh diri yang sebenarnya lebih penting. Kerap berbagai reportase menyebutkan penyebab bunuh diri karena faktor tunggal, misalnya karena impitan ekonomi atau masalah dengan pasangan. Akibatnya, kelompok orang yang sedang mengalami "nasib" buruk serupa dan sudah terlintas ide untuk mati, seakan diberikan justifikasi untuk melakukan hal sama. Lebih-lebih bila ada "model" yang bisa ditiru, atau celebrity suicide, seperti yang terjadi di berbagai penjuru dunia.
Saat ini di beberapa negara sedang gencar terjalin kerja sama antara media massa dan institusi terkait untuk membuat semacam media guidelines dalam pemberitaan bunuh diri. Ini membawa hasil yang menggembirakan, terutama menghindari terjadinya copycat.
Kesehatan mental
Tindakan bunuh diri bukanlah sesederhana yang sering dibicarakan selama ini. Begitu berliku lorong suram yang memberi gurat cerita nestapa tersebut. Sebuah interaksi rumit yang terjalin antara faktor biologik, genetik, psikologik, sosiobudaya, ekonomi, masalah interpersonal, kepribadian, dan masalah psikiatrik. Bukan karena faktor tunggal. Perilaku bunuh diri ini menunjukkan salah satu indikator tingkat kesehatan mental yang buruk di masyarakat.
Sembilan puluh persen perilaku bunuh diri memang berkaitan erat dengan masalah kesehatan mental dan kedaruratan medik. Ketika faktor mendasar tak diatasi, tak ayal jumlah kasus bunuh diri akan terus melambung karena faktor pemicunya kian menyeruak, membuat kehidupan seakan tersedak.
Media diharapkan lebih terlibat dan memberikan informasi akan tersedianya sarana bantuan bagi orang-orang yang sedang kalah ini. Sudah saatnya pula masyarakat mulai bergerak menyediakan sarana bantuan bagi sekelompok orang yang seakan terperangkap dalam labirin suram. Jangan biarkan mereka merasa tak ada harapan. Kita bisa mengulurkan tangan untuk sekadar menampung kegundahan mereka, bukan menyalahkan, tetapi memberikan dukungan.
Sebagian besar dari mereka terbukti mengurungkan niat bunuh dirinya ketika ada akses seseorang yang empatik, mau memahami, mendengarkan, dan memberikan dukungan yang bisa mengenyahkan noktah keputusasaan. Bahwa penderitaan tak layak diselesaikan lewat jalan pintas.
Patut diingat, yang meninggal hanyalah sebagian kecil dari perilaku bunuh diri yang diberitakan. Yang baru berniat atau tidak fatal tentu jauh berlipat kali jumlahnya. Inilah fenomena gunung es taraf kesehatan mental yang memburuk. Seakan menjadi silent killer yang tak terendus sehingga kita alpa mengantisipasi.
Lembaga nirlaba semacam Samaritans atau Papyrus yang sudah berdiri di berbagai belahan dunia mungkin bisa dipungut sebagai bahan inspirasi dengan beberapa modifikasi lokal. Lembaga yang bisa menjadi sumber informasi lengkap dan memberikan udara segar bagi orang-orang yang membutuhkan tempat bersandar. Memberikan secercah lentera bagi orang-orang yang sedang melihat penderitaan tanpa harapan. Bahwa ada hikmah di balik musibah, seperti digambarkan Pincus (1972) dengan indahnya:
There is no growth without pain and conflict/ There is no loss which cannot lead to gain....
Artikel telah disadur kembali oleh:
Joko Hamdani as Sejarawan Hamdina
024-7060.9694
D'professional historian with excellent entrepreneur skill.
No comments:
Post a Comment
Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.