“Nobody can go back and start a new beginning, but anyone can start today and make a new ending.” ~Maria Robinson
Kakekku pernah mengatakan ini padaku.
“Selama kita masih diberi umur dan kesehatan oleh TUHAN, bekerjalah sekeras mungkin, menabung sebanyak mungkin dan berbuat sebaik-baiknya untuk diri sendiri dan orang lain. Karena waktu bukan sesuatu yang tidak terbatas”.
Dan kini, dalam perjalanan meeting ke rumah client kami, aku bertemu perwujudan nyata dari hal-hal tersebut.
Peristiwa pertama yang kutemui adalah seorang tua, dengan topi dan kemeja lusuh -yang sudah sangat pantas dijadikan lap kotor- bersandal jepit kumal keriting, berdiri dipersimpangan jalan. Mengatur lalu lintas dan berharap belas kasihan uang receh sebagai imbalannya. Polisi gopek.
Kemudian, seorang tua renta –kali ini jauh lebih tua dari yang pertama tadi- dengan mata kiri yang cacat, berpakaian tukang parkir berjalan mendekat kearah mobil ku. Sebenarnya, sedari tadi orang ini sudah menarik perhatianku. Betapa tidak, dalam usia seperti itu bekerja sebagai tukang parkir. Setiap hari berkeliaran dipinggir jalan aspal, dibawah terik matahari membakar, berselimut debu dan asap dari mulut knalpot seantero kendaraan di Jakarta. Mungkin karena sudah terbiasa, ia tidak terlalu peduli dengan keadaannya itu. Tetapi bagi ku pribadi ini adalah pemandangan keadaan dibawah standard kemanusiawian. Orang tua seperti dirinya seharusnya sudah beristirahat dirumah bersama anak cucu tercinta. “Ya ampun, biar Pak, nggak usah…”, kataku sambil bergegas setengah berlari kearahnya. Orang tua itu menggenggam handle pintu mobil, dan berniat membukakannya bagiku. Aku menyentuh tangan-tangan keriput berdebu dengan hiasan urat-urat kasar disekelilingnya.
“Pak, anak atau cucu bapak dimana ?”, tanyaku tak sabar lagi.
Ia tersenyum ramah lalu menunduk. Sesaat terdiam, sementara aku tetap menunggu jawabannya tak mau beranjak. Akhirnya wajah itu terangkat, kini matanya diselimuti air, sementara pundak-pundak tua itu tampak bergetar. Ia menangis. “Ada..”, jawabnya lirih. Sekarang rasa haru menyelimuti dadaku. Mungkin pertanyaan penasaran dariku membuka kembali luka dan menjadi terlalu berat untuk dicarikan jawabannya.
“Ya sudah Pak..tak perlu diceritakan”, ujarku selembut mungkin, tak ingin menyiksanya terlalu lama. Setelah membayar parkir, aku segera berlalu sambil membisikkan sebuah doa baginya, TUHAN menyertaimu.
Kini setibaku di rumah client kami, pemandangan kontraspun terhampar didepan mata.
Seorang bapak -pemilik sebuah perusahaan minyak ternama, dengan lima orang anak, dirumah mereka yang elegan, tak lupa seorang sopir, pengawal dan mobil mewah yang siap mengantar kemanapun ia akan pergi-tengah membagi-bagikan uang lima puluh ribuan kepada cucu-cucunya, berjumlah tujuh orang dan beberapa lembar seratusribuan kepada beberapa orang keponakan beliau. Ada dua cucu beliau, mungkin karena masih kecil untuk mengerti angka limapuluh ribu, tidak terlalu menggubris pemberian eyang mereka, meletakkan dengan sembarang uang itu, lalu asyik berkejar-kejaran dengan cucu yang lain.
“Biasa Mas Made, mereka belum ngerti uang, biasanya sih saya memberikan hadiah kecil buat mereka. Tapi tadi saya lupa, biar bapak ibunya aja yang beliin buat dia”, ujar beliau sambil tersenyum.
Jelas laki-laki ini begitu terhormat dan berada dalam status sosial dan kualitas hidup beratus-ratus tingkat diatas kedua lelaki yang kuceritakan sebelumnya diatas.
Apakah hidup melakukan sebuah kekeliruan ? Apakah TUHAN yang salah menempatkan sebuah kemuliaan ? Ataukah kita –para manusia ini- yang tidak tahu menghormati betapa mulianya diri kita, dan betapa berharganya hidup ini ?
Kesaksian orang-orang mulia, bijak dan kaya menunjukkan tidak adanya kesalahan dalam hal-hal tersebut. Bahwa hidup sudah diprogram sedemikian rupa untuk hanya memberikan kemuliaan hanya kepada mereka yang hidup didalamnya. Bahwa hidup hanya akan merekam lalu mengembalikan apa saja yang kita berikan kepadanya. Bahwa TUHAN dengan segala keagungan dan keadilannya selalu saja mengganjari setiap orang menurut kesucian tangan dan hidup mereka. Dan bahwa manusia itu sedari awal adalah berharga dan mulia dimata-NYA. Kita terlalu dicintai-NYA.
Hanya saja banyak diantara kita dulu merasa terlalu perlu menghormati diri dan hidup ini, mungkin karena merasa terlalu muda, terlalu tampan, terlalu sexy, terlalu exist, terlalu asyik dengan hal-hal yang tidak memuliakan diri kita, lalu kemudian tiba-tiba tersadar disuatu pagi, dan menemukan segalanya sudah terlambat. Terlalu terikat kebiasaan buruk, terlalu berpenyakit untuk menikmati hidup, terlalu miskin untuk memberi, terlalu banyak masalah untuk sekedar bernafas, terlalu tua, terlalu lemah, terlalu terlambat.
Sungguh setiap orang jika diletakkan dalam jajaran waktu adalah merugi.
Memang benar ada peribahasa : manusia berencana, TUHAN menentukan. Namun ada benarnya juga jika kita sadar, bahwa rencana-rencana mulia TUHAN tidak akan terwujud pada hidup kita, jika kita menolak menjalankan rencana-rencana- NYA. Karena TUHAN bukan lah diktator, yang kemudian merebut paksa “kebebasan bersikap” yang IA berikan pada kita.
Seandainya saja kita menuruti-NYA. Ya, seandainya saja kita menurut.
Artikel berasal dari:
disadur kembali oleh Koko Jorganizer
024-7060.9694