Showing posts with label Country. Show all posts
Showing posts with label Country. Show all posts

Monday, November 9, 2009

Indonesia Future

“Hari depan Indonesia adalah duaratus juta mulut yang menganga; Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang bernyala bergantian; Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa; Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta penduduknya; Kembalikan Indonesia padaku.” – Taufik Ismail, cuplikan sajak “Kembalikan Indonesia Padaku”, 1975.

Fenomena bisnis berspektrum internasional di Korea dan China baru-baru ini : Hyundai Motor produsen otomotif terbesar Korsel, membukukan laba bersih 972,2 juta Won (US$827,3 juta) di kuartal ketiga 2009, naik 3 kali lipat dibanding periode yang sama di tahun lalu. Strategi pemasaran global Hyundai berhasil memperbesar porsi pasar dunianya dari 5,2% di kuartal kedua menjadi 5,3% di kuartal ketiga. Gerak globalisasi negeri ginseng ini juga ditandai dengan agresivitas Korea National Oil Corporation yang mengakuisisi Harvest Energy Trust, sebuah perusahaan migas berbasis di Kanada. Transaksi ini bernilai US$3,9 miliar. Menurut Kim Hyung Chan, fund-manager di KTB Asset Management Co., Korea National Oil Corporation haruslah mengembangkan bisnisnya sampai ke luar negeri lantaran kepentingan Korea demi mengamankan sumber daya energi domestik Korea sendiri. Selain Korea, kita tahu bahwa China di tahun ini juga telah menghabiskan dana sampai sebesar US$12,6 miliar untuk program belanja aset migas di kancah internasional.

Fenomena bisnis beraroma internasional di Indonesia: gonjang-ganjing soal pencekalan Miyabi, sang ikon internasional di bidangnya, beriringan dengan gempa bumi di Tasikmalaya, Padang dan Jambi telah menarik perhatian dunia. Walau tadinya cuma berencana membintangi sebuah sinetron yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kerja profesional beliau di Jepang sana, namun Miyabi-san tetap “dicekal”. Mudah-mudahan program “pencekalan” ini secara konsisten juga berlaku terhadap para koruptor, penguasa dan wakil rakyat yang praktek sosialnya kerap malah lebih porno.

Kabinet SBY jilid dua sedang giat mengejar target 100 hari pertama. Selamat bekerja kepada segenap pejabat terpenting di jajaran eksekutif ini. Jangan lupa, target ekonomi seyogianya merefleksikan tingkat kesejahteraan rakyat. Semua target kesejahteraan rakyat itu diolah dan diupayakan keberhasilannya lewat kecakapan politik yang bisa menggulirkan kebijakan yang pro rakyat. Semua kebijakan yang pro rakyat hanya bisa terjadi jika segenap proses manajemen-negara bisa berjalan efektif, efisien dan menghasilkan efek sinergis. Dan, kita sadar betul bahwa proses manajemen negara sedemikian hanya bisa terjadi jika state-apparatus, yakni segenap para pelaku pengelola negara terdiri dari insan profesional (kompeten) dan terpanggil sebagai negarawan yang visinya tembus jaman sampai puluhan bahkan ratusan tahun ke depan. Bukan sekedar visi politisi oportunis yang perspektifnya cuma sependek lima tahunan saja.

(cuplikan artikel di Majalah MARKETING, edisi November 2009)

Disadur kembali oleh:
Jorganizer Hamdina
024-7060.9694

Wednesday, March 25, 2009

Indonesia History

History has emerged as an increasingly prominent field of study in Indonesia at least since 1980’s, after being neglected for several decades. New theoretical, philosophical, and empirical analyses of Indonesian history were tought widely at university and appear in professional journals and books.

At the same time, a new generation of students and young scholars in a variety of fields was being made aware of the interrelationship between their fields with history. Above all however, there are growing doubts about the truth of Indonesian history at any level of society following current political changes after the resignation of Soeharto in May 1998. Indonesian history is considered primarily as a product of social and political engineering of the New Order rather than an appropriate scholarly apparatus. Consequently, Indonesian historiography is no longer appreciated and people are simply asking for a new history, a deconstructed history.

The most vocal and trenchant criticism of existing historiography, however, has come not from within historian community. This is an irony. The need to deconstruct contemporary Indonesian history is not an important issue in academic or professional historian community. The polemic took place mostly in daily newspapers, popular weekly magazines, or tabloids rather than in highly recognised historian forum. Most prominent historians at the university obviously had chosen a different path from the one which was being led by recent popular viewpoint. Instead, politicians, journalists, and other social-humanities scholars took over the place of historians in discussing the truth of the past.

Many students have changed, though. They are empowered by the internet, searching out their own answers and bringing these into class discussions, according to both media reports and history experts. Alternative explanations for the 30th of September Movement proliferate on the web in both English and Indonesian, for example. The government no longer has a monopoly on information. Little wonder, then, that in response to the teachers’ questions about the right way to teach history now, just want give some advice, you have to ‘be creative’.


Followers