Tuesday, September 26, 2017

Sejarah Kuliner Kota Lama, "Kecap Kakap"

Jiwa marketing saya tertantang saat seorang informan dari dotSemarang mengatakan bahwa orang nomor satu di kota ini hanya mengusulkan tiga kategori sektor unggulan ke Bekraf. Dalam hal ini pemerintah tentu lebih mengerti faktor apa yang mempengaruhi kemajuan diwilayahnya dan bukan waktunya orang awam seperti saya mempertanyakan dasar pertimbangan dalam mengajukan usul tersebut. Apalagi kini semua sudah telah diverifikasi dan ditetapkan, yang artinya sudah akan dieksplorasi dan dioptimalkan pengembangannya kedepan.

Padahal sebagai warga kota Semarang masih ada hal potensial lainnya yang bisa dioptimalkan dari kota ini. Satu diantaranya ialah bidang kuliner yang selain punya citarasa namun juga sejarah dengan tradisinya yang populer. Mulai dari makanan hingga jajanan pasar dan sub sektor seperti cemilan diangkringan, ambil contoh tahu gimbal, nasi ayam, garang asem, soto bangkong, mie kopyok, bandeng presto, tahu petis, lunpia, winko babat, kue ganjel rel, wedang ronde, wedang uwuh, sekoteng, congyang, hingga jamu pun sudah jadi bagian dari kuliner disini.

Kecap itu selalu nomor satu, Semarang pun punya resep kecap dengan tradisinya sendiri. Dalam kasus ini riwayat kecap dengan resepnya yang unik dapat menjadi contoh inspirasi sejarah kuliner. Terutama karena kecap sudah jadi bagian dari kuliner nusantara dan sering kali diproduksi oleh perusahaan keluarga secara turun temurun lintas generasi sehingga menarik untuk diteliti dan diamati lebih lanjut.

History of Soy Sauce yang dikutip oleh Tirto.Id menyebutkan bahwa dokumentasi tertua soal kecap tercatat pada tahun 1633 dan kecap mulai resmi masuk ke nusantara pada 1737 untuk dikemas dan dikirim ke Belanda. Sejak saat itu mulai banyak dikenal perusahaan kecap seperti kecap Istana (1882), cap Orang Jual Sate (1889), Siong Hin (1920), Mirama (1928), Bango (1928), Zebra (1945), Piring Lombok dan Suka Sari (1951), dan Kakap (1958).

Beberapa merek kecap cukup beruntung diakuisisi oleh perusahaan multinasional. Berarti ada modal masuk dari investor dan mampu berkompetisi lewat R&D, promosi dan produksi. Sebaliknya bila tidak cukup kuat, maka perusahaan kecil bisa bernasib sebaliknya, sulit untuk berekspansi dan mempertahankan eksistensi rasa yang konsisten terutama saat harga pokok kedelai berinflasi cukup banyak.

Inovasi bisnis memang bisa menjawab semua kendala dan hambatan para pengusaha kuliner yang melegenda ini, tetapi sejauh mana mereka mampu bertahan, terutama saat pemerintah seolah tidak peduli dan tidak mendukung langkah mereka mempertahankan tradisi dan resep rahasia keluarga yang melewati masa sejarah puluhan hingga ratusan tahun dari generasi ke generasi dengan kreatifitas tanpa henti.



Sumber:
https://tirto.id/jejak-kecap-tradisional-membelah-nusantara-bqG
http://dotsemarang.blogspot.co.id/2017/09/4-sektor-Unggulan-Semarang-Tahun-2017.html
https://www.facebook.com/Probolinggoetempoedoeloe1800/posts/316128215165615
http://semarangkota.go.id/berita/read/7/berita-kota/1863/kota-lama-jadi-tempat-parade-fashion

No comments:

Post a Comment

Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.

Followers