Tuesday, September 15, 2009

Doktor Taksi

Tanpa bermaksud merendahkan profesi seseorang, namun jika seorang Doktor (lulusan S-3) akhirnya harus menjadi sopir taksi, maka kesempatan apa yang dimiliki
orang-orang biasa seperti kami ini ?.


Jika pada tulisannya Boy Rachmadyang berjudul ‘Tak
Disangka Supir Taksi Itu Punya Gelar DR. IR…’ yang pernah dipostingkan di sinimenceritakan tentang supir taksi yang bergelar DR. IR, dalam arti kata DR
(Diatas Roda) dan IR (Injak Rem) maka dalam cerita kali ini, sopir taksinya
benar-benar bergelar DR (Doktor)
dalam arti kata lulusan S-3 alias PhD.

Dalam
cerita yang saya kutip dari sebuah artikel berjudul ‘Lulusan PhD
Stanford Itu, Kini Jadi Sopir’ yang dipostingkan di sinidiceritakan
bahwa gelar PhD-nya itu tak
tanggung-tanggung bergengsinya, didapatkannya dari Stanford University di
bidang Biokimia, pada tahun 1990. Sang sopir taksi itu bahkan berpengalaman
kerja yang cukup panjang, pernah meniti karier di IMCB (Institute of Molecular and Cell Biology) Singapura selama 16
tahun, sampai terakhirnya mencapai posisi sebagai Kepala Peneliti bidang Genetika
Sel.

Saat ini,
mungkin dialah satu-satunya sopir taksi yang PhD dengan pengalaman kerja yang
cukup panjang di bidang sains. Saat ditanya apa alasannya menjadi sopir taksi
itu, pria bergelar PhD itu menjawab bahwa “Dikarenakan
pada masa seperti sekarang ini mungkin hanya bisnis taksi yang masih aktif
menerima pegawai”.

Kisahnya
itu kemudian ditulis dan disebarkan serta di-share-kan melalui internet itu,
kemudian menimbulkan kehebohan di kalangan komunitas peselancar dunia maya.

Beragam
reaksi yang ditimbulkannya. Ada yang bersimpati atas cerita kisah hidupnya,
namun ada pula yang skeptis dengan kisahnya itu.

Dan, tak
ketinggalan pula menimbulkan rasa kekhawatiran tersendiri bagi segelintir para
pekerja kerah putih. Salah seorang diantara mereka ada yang berkomentar, “Saya pernah bertemu dengan sejumlah sopir
taksi yang memiliki kualifikasi tinggi dalam beberapa tahun terakhir ini,
termasuk mereka yang dulunya adalah manajer dan insinyur. Jika ia akhirnya
harus menjadi sopir taksi, maka kesempatan apa yang dimiliki orang-orang biasa
seperti kami ini?”.

Apakah
kita perlu ikut khawatir ?. Tenang saja, kita tak perlu ikut khawatir, karena
itu terjadinya di tempat seberang lautan sana, di negara Singapura, bukan di
Indonesia.

Mungkin
memang kisah cerita sopir taksi yang bernama DR. Cai Mingjie ini merupakan
pertanda bahwa Singapura telah memasuki babak baru.

Babak
baru dimana seiring berubahnya pasar dunia kerja yang tersedia dan semakin
banyaknya pemilik usaha yang menginginkan beberapa pekerjaan bisa dilakukan
oleh satu orang dengan kontrak kerja yang singkat, maka sebagian orang mulai
menghindari gelar pasca sarjana atau bidang-bidang ilmu khusus.

Di masa
lampau orang pusing memikirkan bidang studi apa yang harus ditempuhnya,
akuntansi atau hukum atau teknik, atau bidang-bidang mana saja yang menjanjikan
kesuksesan di masa depan. Dan kemudian mereka akan menentukan satu bidang, dan
terus mengejar dan menggelutinya hingga menjadi profesinya. Seorang dokter akan
bekerja menjadi dokter, seorang ahli biologi akan bekerja di laboratorium, dan
pengacara akan sibuk berdebat di pengadilan.

Namun kini
di Singapura, seperti lazimnya yang terjadi di dunia maju, bisnis-bisnis lama
bisa hilang sekejap dalam satu malam, kemudian muncul bisnis yang baru. Ini
akan menjadi masalah bagi mereka yang tidak bisa menyesuaikan diri.
Sehingga mungkin di masa datang, yang dibutuhkan dunia kerja adalah para
lulusan dengan keterampilan yang beragam dan karir yang fleksibel, orang-orang
yang bisa menyesuaikan diri dengan berbagai pekerjaan yang berbeda

Bisa jadi,
cerita kisah perjalanan hidupnya DR. Cai Mingjie yang di-share-kan di dunia
maya itu akan semakin menginspirasi banyak orang Singapura untuk mulai berfikir
berbeda. Mulai lebih condong memilih bidang keilmuan yang bersifat umum, atau bahkan
mungkin dengan mengejar gelar yang bersifat lintas sektoral dengan bidang
keilmuwan yang berbeda, misalnya akuntansi dengan hukum atau komputer dengan
bisnis.

Jika itu
yang terjadi di Singapura, maka bagaimana dengan kondisi di Indonesia ?.


No comments:

Post a Comment

Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.

Followers