Saya senang membicarakan topik seperti judul di atas.
Entah dalam percakapan yang santai sampai yang berat benar. Mungkin karena sampai nyaris memasuki separuh abad saya masih sendiri.
Teman saya menangis di hari Minggu lalu, setelah saya telepon dan berbicara kenapa masih ada di dunia ini orang bodoh seperti dirinya. Lha wong pacarnya sudah berselingkuh dua kali, masih mau dipertahankan. Awalnya ia mengatakan karena cinta, tapi kira-kira tak lebih dari sepuluh menit, ia bilang begini, "Aku takut kesepian."
Kesepian. Sendiri. Dulu saya berpikir betapa sengsaranya sendiri. Saya mengalami sampai hari ini. Dan di masa kesepian dahulu saya bertanya kepada Tuhan, mengapa saya yang disuruh sendiri dan tak diberi kesempatan mencicipi enaknya dicintai itu. Karena kalau mencintai, saya sudah keseringan karena stoknya banyak. Cuma saja mau diberikan ke mana saya malah jadi bingung. Kan, katanya tak boleh buang sampah sembarangan. Meski dua tahun lamanya saya buang sampah sembarangan. Namanya juga sembarangan, yaa, hasilnya juga sami mawon.
Kesepian itu sudah saya alami, menjadi takut sendiri itu memiriskan nyali. Apalagi umur makin tua, sejuta pertanyaan akan menghadang bagaimana kalau saya begindang, kalau saya begindung. Tak lama lagi saya akan setengah abad. Usia yang tak pernah saya pikirkan akan saya capai dengan sendirian, tetapi apa boleh buat.
Saya sempat frustrasi dan mengatakan bahwa hidup itu tidak adil. Meski pernah saya katakan enaknya sendirian itu, tetapi saya akan menjadi pembohong besar, kalau sejujurnya sangat senang mengetahui ada manusia yang khawatir, tepatnya mengkhawatirkan diri saya, ada yang bawel menanyakan kapan pulang dan marah-marah karena tidak memberi tahu kalau terlambat pulang.
Meski yang tak saya sukai dari menjadi berdua adalah rasa cemburu yang timbul meski sejuta suara mengatakan harus memberi kepercayaan. Jeleknya, saya ini orangnya enggak percayaan dan cemburuan. Bagaimana bisa untuk tidak cemburu? La wong di luar pekarangan rumah harimaunya banyak sekali dan semakin hari semakin berani menerkam dengan taringnya yang berkilau-kilau.
Singel tertawa
Hari Senin malam, saya BBM-an dengan teman-teman yang dikelompokkan dalam satu grup. Salah satu teman kami itu sudah lama lajang. Saya tak tahu mengapa ia sendiri, tetapi hidup teman saya ini selalu penuh canda. Saya juga tak tahu apakah ia akan menangis menjerit-jerit kalau sudah di rumah.
Ini sekelumit pembicaraan di BBM itu. Teman saya seorang pria menanyakan keberadaan teman saya yang senantiasa bahagia itu. Manusia penuh canda itu menjawab, kalau ia sedang menikmati makan malam.
Teman saya bertanya lagi, makan malam di mana. Ia menjawab dan menyebut nama sebuah rumah makan dan menjelaskan kalau porsi makanannya besar dan cukup untuk dua orang. Teman pria saya iseng membalas dengan bertanya, berdua sama siapa? Ia menjawab. "Ama tote bag gue aja. My only loyal boyfriend."
Sekali waktu saya terbangun pukul setengah enam pagi dan langsung mengecek BB. Dan manusia penuh canda itu sudah mengirimkan pesannya berbunyi selamat pagi, sementara teman-teman segrupnya masih tidur. Kebetulan saya sudah terbangun dan saya tanya, kok, tumben sudah bangun. Ia membalas. "Tumben? Aku ini lagi jalan-jalan sama dua anjingku. Setiap hari, bo. Jam enam tit. Gara-gara anjing, gue jadi sehat sekarang."
Pagi itu saya yang berencana mau tidur lagi, malah malu sama anjing dan dirinya. Maka saya juga jalan pagi. Sendiri tanpa anjing, hanya kuping yang disumpal iPod, dengan mata yang setengah melek.
Akhirnya….
Adalah sebuah kekeliruan yang besar kalau saya berpikir yang lajang itu patut dibandingkan dengan yang tidak lajang. Itu tak patut dibandingkan, itu yang membuat saya frustrasi setiap saat. Karena kebahagiaan itu tidak bisa dibandingkan dan dibuat pakemnya. Begini baru bahagia, kalau tidak begini tidak bahagia.
Jadi saya mulai berpikir yang disebut bahagia itu adalah berhenti menangis, berhenti dibohongi pasangan hidup, berhenti membuat pakem, dan tidak memasang sejuta alasan yang menjadi jerat seperti jaring ikan yang ditebar nelayan untuk menangkap mangsanya. Bahagia itu berani sendiri, berani berdua, bukan berani mempertahankan penipuan. Terutama menipu diri sendiri.
Saya menulis di status Facebook saya begini. "Dicintai itu seperti vas kosong, yang ditaruh kembang ke dalamnya sehingga ia kemudian pantas disebut vas bunga".
Nah, kalau pada suatu hari si vas tak pernah ketemu si kembang dan tak pantas disebut vas bunga, keduanya toh tetap cantik dan berguna. Sendiri itu baik. Berdua lebih baik. Sendiri itu lebih baik, berdua itu baik. Sekarang tergantung lensa mata, otak, serta nurani bagaimana melihatnya.
Oleh SAMUEL MULIA
disadur kembali oleh jorganizer sang sejarawan