Kejahatan perbankan itu beraneka ragam tingkatan kelasnya mulai dari kelas teri sampai kakap. Modusnya pun semakin bervariasi, mulai dari cara sederhana sampai yang rumit dengan melibatkan teknologi canggih.
Pelakunya bisa individu perorangan, namun bisa pula operasinya dioperatori oleh suatu bentuk organisasi atau jaringan yang rapi.
Bahkan bisa pula dengan melibatkan karyawan yang berada di internal bank yang bersangkutan, baik itu karyawan tetap maupun karyawan outsourcing.
Tingkatan kelas teri, biasanya beroperasi dengan menyasar langsung kepada nasabah banknya, dalam arti kata kerugian yang ditimbulkan langsung dirasakan dan ditanggung oleh nasabahnya.
Salah satu contoh yang pernah terjadi baru-baru ini antara lainnya adalah kejahatan pembobolan rekening nasabah melalui ATM dan Kartu Kredit serta Internet Banking.
Walaupun disebut kelas teri, namun akibat dampaknya tak bisa dianggap ringan saja. Bisa-bisa yang kelas teri ini pun mampu menimbulkan dampak yang sistemik.
Sedangkan tingkatan yang disebut kelas kakap itu biasanya tak menyasar langsung kepada nasabah.
Tingkatan kejahatan di kelas kakap ini tentu lebih sangat sistemik dampaknya, dibandingkan sistemiknya kejahatan yang kelas teri.
Walau tak menyasar langsung kepada nasabah, namun akibat dan dampak rentetan kerugiannya secara tak langsungnya justru tak hanya dirasakan dan ditanggung oleh nasabahnya saja. Seluruh rakyat Indonesia yang tidak termasuk nasabahnya pun akan merasakan dampaknya.
Salah satu contohnya antara lain kejahatan sebagai dampak yang ditimbulkan dari kebijakan Blanket Guarantee atas kerugian yang diderita institusi bank yang bersangkutan. Kasus BLBI dan Bailout bank Century, sebagai salah satu contoh nyatanya.
Tulisan kali ini, pokok bahasannya akan difokuskan di bagian kecil dari rangkaian kejahatan perbankan yang mungkin dikategorikan sebagai kelas teri saja, yaitu di modus pencurian data nasabah bank.
Sebagaimana diketahui, kejahatan pembobolan rekening nasabah melalui ATM dan Kartu Kredit serta Internet Banking itu tak akan bisa dilakukan jika si pelaku tak mempunyai data nasabah yang rekeningnya akan disasar.
Modus pencurian data itu bisa bermacam-macam caranya.
Konon katanya, ada modus pengkloningan melalui data kartu ATM melalui bantuan peralatan semacam Skimmer. Atau, bisa juga data nasabah itu justru dipasok oleh karyawan di bank yang bersangkutan. Juga bisa melalui penyusupan langsung ke data base di bank yang bersangkutan.
Namun, bisa juga data itu oleh pelaku pembobolan berhasil dicollect dari nasabah yang bersangkutan, tanpa nasabah yang bersangkutan menyadarinya.
Nah, kali ini secara khusus akan menyoroti dipermasalahan pencurian data nasabah yang dicollect dari nasabah tanpa si nasabah yang bersangkutan menyadarinya.
Pelaku kejahatan berpura-pura berlaku sebagai petugas telemarketing dari salah satu bank, menghubungi nasabah ke nomer telepon rumah si nasabah tersebut.
Telepon rumah yang biasanya digunakan, karena tak seperti telepon seluler, biasanya telepon rumah jarang yang dilengkapi dengan fasilitas peralatan yang dapat mengidentifikasikan nomer telepon pemanggilnya.
Lalu si telemarketing gadungan itu akan menawari kepada nasabah yang bersangkutan berupa kenaikan plafond pemakaian kartu kreditnya. Atau, pemberian fasilitas Personal Loan berupa KTA (Kredit Tanpa Agunan). Atau, pemberian fasilitas asuransi tambahan. Atau, pembukaan rekening tambahan bagi anak atau isterinya atau anggota keluarganya yang lainnya.
Bisa juga itu berupa tawaran pemberian fasilitas sejenisnya yang diperkirarakan akan dibutuhkan oleh si nasabah tersebut.
Bahkan yang lebih gawatnya lagi, si telemarketing gadungan itu mengaku sebagai account officer dari bank yang bersangkutan untuk mengkonfirmasikan sebuah transaksi yang membutuhkan konfirmasi dari pemilik rekening tersebut.
Transaksi itu sebenarnya tidak ada, atau tidak terjadi. Sehingga tentu si nasabah akan mengkonfirmasikan penolakannya atas transaksi itu.
Konsekuensi dari hal-hal tersebut diatas, baik yang berupa pemberian fasilitas oleh telemarketing gadungan, ataupun konfirmasi transaksi oleh account officer gadungan itu membutuhkan konfirmasi data vital dari si nasabah yang yang bersangkutan.
Jika itu berupa pemberian fasilitas, maka untuk mengaktifkannya diperlukan konfirmasi data vitalnya nasabah. Si telemarketing gadungan itu akan mengkonfirmasikan data nasabah mulai dari tanggal lahir juga alamat penagihan sampai dengan nama ibu kandung.
Demikian juga halnya jika itu berupa konfirmasi penolakan atau pembatalan atas transaksi yang dikonfirmasikan, maka si account officer gadungan juga akan membutuhkan konfirmasi data serupa untuk mengaktifkan pembatalan atas transaksi itu.
Tanpa disadari oleh nasabahnya, si pelaku akan berhasil mendapatkan data vital dari nasabah tersebut.
Modus tersebut diatas, bahkan juga dilakukan tanpa melalui panggilan telepon, namun melalui penawaran kartu kredit di tempat-tempat umum, seperti mal atau tempat pusat perbelanjaan.
Saat seseorang menerima tawaran itu, maka yang bersangkutan tentu harus mengisi formulirnya. Sedangkan di dalam formulir itu tentu harus ditulis data vital nasabah yang dibutuhkan untuk persetujuannya.
Berkaitan dengan itu, para nasabah tentu harus ekstra berhati-hati terhadap modus yang seperti tersebut diatas.
Salah satu cara dari sekian banyak cara untuk menghindari pencurian data oleh telemarketing gadungan atau account officer gadungan itu sebenarnya relatif sederhana.
Sederhana, namun sedikit meribetkan dan merepotkan.
Jika si telemarketing gadungan atau account officer gadungan itu mulai mengkonfirmasikan data-data vital, ada baiknya minta kepada telemarketing gadungan atau account officer gadungan itu untuk menyebutkan nama beserta nomer telepon dan nomer ekstension yang bisa dipakai untuk menghubungi mereka.
Sampaikan bahwa untuk keamanan bersama maka kita yang akan menghubungi mereka di nomer telepon dan ekstension yang sudah diberikan itu.
Setelah sambungan telepon untuk sementara diputus, segera hubungi call centre dari bank yang bersangkutan. Konfirmasikan apakah nomer telepon beserta nomer ekstension itu benar merupakan nomer telepon telemarketing atau nomer telepon account officer di bank yang bersangkutan.
Setelah petugas di call centre itu mengkonfirmasikan kebenarannya, segera telepon balik ke nomer telepon dan nomer ekstension dari si telemarketing atau si account officer yang tadi.
Setelah tersambungkan, barulah mereka diminta untuk menelpon balik ke nomer telepon milik kita untuk melanjutkan konfirmasi yang tadi sempat tertunda.
Ribet dan merepotkan, namun apa boleh buat jika itu dirasakan dapat lebih menjamin keamanan kita sebagai nasabah.
Berkaitan dengan permasalahan itu, disamping para nasabah juga berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga dirinya. Seharusnya pihak perbankan juga harus mulai berfikir untuk mencarikan cara agar nasabahnya terlindungi.
Sebab, sungguh mengherankan si telemarketing gadungan itu bisa sampai mendapatkan data nomer telepon rumah nasabahnya beserta dengan keterangan bahwa si nasabah itu mempunyai rekening giro atau tabungan atau kartu kredit dari sebuah bank yang spesifik memang dipunyai oleh si nasabah tersebut.
Si nasabah tentu menjadi tidak curiga saat dihubungi si telemarketing gadungan atau account officer gadungan yang mengaku dari sebuah bank tertentu dimana si nasabah tersebut memang mempunyai kartu kredit atau rekening giro atau tabungan di bank tersebut.
Bahkan si telemarketing gadungan atau account officer gadungan itu dapat menyebutkan dengan tepat nama lengkap beserta nomer rekeningnya si nasabah tersebut.
Akhirulkalam, seharusnya pihak perbankan tidak selayaknya berlaku lepas tangan atas hal-hal tersebut diatas.
Pihak perbankan disamping terus mengembangkan sistem yang semakin memberikan kemudahan bagi nasabahnya, juga sudah seharusnya semakin meningkatkan sistem pengamanan terhadap keamanan nasabahnya termasuk keamanan data nasabah.
Di masa depan, persaingan antar bank tak hanya akan ditentukan oleh keramahan dan kenyamanan serta kemudahan yang dapat diberikan oleh sebuah bank kepada nasabahnya.
Disamping pertimbangan diseputar imbal balik keuntungan yang dapat diberikan oleh bank itu bagi uang simpanannya.
Sangat bisa jadi, nasabah juga akan mulai melihat bagaimana bank yang bersangkutan memberikan jaminan bagi keamanan uang simpanannya, dan jaminan bagi keamanan data diri nasabahnya.
Wallahualambishshaw ab.
*
Catatan Kaki :
* Artikel bertema perbankan yang membahas jaminan keamanan atas dana simpanan nasabahnya dapat dibaca dengan mengklik di ‘Bank Makin Tak Aman’ , dan yang membahas modus kejahatan melalui internet banking dapat dibaca dengan mengklik di ‘Internet Banking Masih Amankah ?’ , serta yang membahas modus pembobolan harta nasabah bank yang disimpan di Safe Deposit Box dapat dibaca dengan mengklik di ‘Masih Amankah Safe Deposit Box ?’ .
* Artikel bertema perpajakan yang membahas binatang peliharaannya Direktur Jenderal Pajak dapat dibaca dengan mengklik di ‘Kebun Binatangnya Dirjen Pajak’ , dan yang membahas kesenjangan gaji yang mencolok antara gaji pegawai pajak dengan gaji pegawai lainnya dapat dibaca dengan mengklik di ‘Mencemburui Aparat Pajak’ , serta yang membahas kebijakan renumerasi yang pilih kasih berkait dengan mereka yang pusing cari duit dan mereka yang pusing buang duit dapat dibaca dengan mengklik di ‘Insinyur pusing Cari Duit, Sri Mulyani pusing Buang Duit’.
* Artikel bertema kesehatan yang membahas sakit lupa ingatan yang diderita saksi kunci kasus suap pemilihan DGS Bank Indonesia dapat dibaca dengan mengklik di ‘Isri Pejabat PKS Sakit Ingatan’ , dan yang membahas mitos kokain sebagai obat untuk meningkatan kesehatan dapat dibaca dengan mengklik di ‘Kokain meningkatkan Kecerdasan’ , serta yang membahas alat bantu seksual berupa robot canggih berteknologi artificial intelligence dengan kulit sintetis seperti manusia dapat dibaca dengan mengklik di ‘Roxxxy si Robot Seks’ .
*
Modus Pencurian Data Nasabah Bank
http://ekonomi. kompasiana. com/2010/ 04/09/modus- pencurian- data-nasabah- bank/
*
Kasus baru pembobolan uang nasabah di bank, terungkap lagi. Kali ini tak melalui ATM, juga tak melalui Internet Banking.
Tapi modusnya melalui transaksi yang dilakukan di meja kasir (teller) bank yang bersangkutan.
Sejumlah dana yang ada di rekening milik Purnama S Simanjuntak di bank BTN cabang Harmoni Jakarta itu ditransfer ke rekening atas nama Franciscus Azali di bank BCA cabang Graha Kirana.
Kasus itu saat ini lagi ditangani oleh Bareskrim Mabes Polri. Demikian yang dikutip dari surat kabar harian Kompas, hari Kamis, tanggal 4 Februari 2010.
Selama ini, banyak kalangan menduga bahwa rentetan kasus pembobolan uang nasabah itu lantaran kawanan para pembobol uang nasabah berhasil mendapatkan data nasabah dari kartu ATM dan/atau jejak data dari pihak nasabah.
Dalam arti kata, titik lemah dari keseluruhan sistem ini ada di pihak nasabah. Disitulah para kawanan itu berhasil mendapatkan data yang dipakai untuk membobol uang nasabah.
Namun, jika menilik dari kronologi kasus tersebut diatas, segelintir kalangan justru menduga bahwa semua ini justru bermulanya dari kawanan para pembobol uang nasabah itu berhasil menembus sistem sekuriti di database nasabah di beberapa bank.
Dalam arti kata, titik lemah dari keseluruhan sistem ini ada di pihak perbankan. Dari titik itulah para kawanan itu berhasil mendapatkan data yang dipakai untuk membobol uang nasabah.
Celakanya, menurut kutipan berita itu, sampai saat ini ternyata masih ada beberapa nasabah yang uang simpanannya hilang itu belum digantikan belum diganti kerugiannya oleh pihak bank yang bersangkutan.
Terlepas dari adu argumen soal di titik lemah pihak mana yang didaikan pintu masuknya kawanan bandit itu, seharusnya penelitian dan penelusuran serta perbaikan atas keseluruhan sistem sekuriti itu fokus utamanya adalah di soal bagaimana keamanan nasabah dapat terjamin.
Sebab, tidaklah selayaknya jika ada pihak perbankan yang seakan cuci tangan dengan mengatakan bahwa konsekuensi dari layanan sistem sistem perbankan modern itu adalah resiko yang harusnya diketahui dan diterima oleh nasabah.
Mengingat layanan perbankan itu seharusnya tak hanya sebatas bagaimana memberikan kemudahan dan kenyamanan serta imbal balik berupa bunga simpanannya saja. Namun seharusnya juga memberikan jaminan keamanan atas dana simpanannya nasabah.
Jika pihak perbankkan tak bisa memberikan jaminan keamanan atas keutuhan dana simpanan nasabahnya, maka hilanglah satu satu fungsi penting dari menyimpan di bank.
Wallahualambishshaw ab.
*
Artikel terkait lainnya :
* ‘Internet Banking, Masih Amankah ?’ dapat diklik di sini .
* ‘Masih Amankah Safe Deposit Box ?’, dapat diklik di sini .
* ‘ATM Dibobol Dengan Skimmer ?’, dapat diklik di sini .
* ‘Kejahatan di Perbankan Elektronik’, dapat diklik di sini .
* ‘Roy Suryo & Roby’, dapat diklik di sini .
* ‘Cueknya Bank BCA’, dapat diklik di sini .
*
Bank Makin Tak Aman?
http://ekonomi. kompasiana. com/2010/ 02/04/bank- makin-tak- aman/
*
Kasus pembobolan uang nasabah bank melalui ATM (Anjungan Tunai Mandiri / Automatic Teller Machine) yang diduga dilakukan dengan bantuan peralatan skimmer dan kamera pengintai itu ternyata sampai dengan hari ini belum sepenuhnya bisa diungkap.
“Pengungkapan masalah petunjuk, saksi atau barang bukti yang kurang, akan sangat sulit”, kata Kapolda Bali, Irjen Polisi Sutisna, pada hari Senin, tanggal 1 Februari 2010.
Kesulitan barang bukti dan petunjuk itu antara lain dikarenakan di beberapa lokasi ATM yang dicurigai digunakan sebagai tempat membobol data nasabah itu ternyata tidak dilengkapi dengan CCTV (Close Circuit Television).
Peralatan skimmer dan kamera pengintai yang diduga telah digunakan oleh pelaku untuk melakukan pembobolan data nasabah itu ternyata juga belum diketemukan.
Ditambah lagi kesulitan ruang gerak polisi yang terbatasi oleh aturan yang ada di UU rahasia bank.
Sebagaimana diketahui, opini yang berkembang di masyarakat sekarang ini, seakan sengaja diarahkan bahwa kasus kejahatan tersebut diatas dapat terjadi lantaran adanya kecerobohan yang dilakukan oleh nasabah dalam melakukan transaksi di ATM.
Dimana nasabah tak pernah merubah PIN (Personal Identification Number) yang digunakan dalam transaksinya di ATM.
Dan, nasabah yang tak memperhatikan dengan cermat adanya alat tambahan skimmer yang dipasang penjahat di alat ATM.
Serta, nasabah yang tak berusaha menutupi gerakan jari jemarinya saat memecet PIN sehingga terintai oleh kamera tersembunyi milik penjahat yang dipasang di ruang ATM.
Juga, beraneka ragam jenis kecerobohan lainnya yang dilakukan oleh nasabah.
Singkatnya, selalu saja disampaikan bahwa andil terbesar sehingga bisa terjadi kejahatan itu adalah karena pihak nasabah yang ceroboh dan kurang berhati-hati.
Sejauh ini, di media massa hampir tak pernah disampaikan bahwa kejadian itu bisa terjadi juga karena ada andil pihak perbankan yang ceroboh, atau kurang memberikan perlindungan yang memadai terhadap keamanan nasabah.
Bahkan juga hampir tak pernah ada yang menyampaikan sekedar dugaan atau semacam indikasi bahwa dimungkinkan adanya titik lemah di sistem sekuriti internal bank tersebut sehingga memungkinkan kebocoran data nasabah.
Mengapa PIN bisa sampai terpantau oleh pihak diluar nasabah ?. Padahal jika nasabah lupa nomor PIN saja, pihak petugas bank tak dapat mengetahui berapa nomor PIN nasabah itu sehingga tak bisa memberitahukannya.
Kenapa dan bagaimana bisa pihak perbankan sebagai pemilik properti ATM baru mengetahui adanya alat skimmer dan kamera pengintai illegal milik penjahat itu setelah pembobolan uang nasabah berlangsung secara masif ?.
Apakah itu bukan berarti pihak perbankan yang ceroboh dalam menjaga properti ATM sehingga keamanan nasabahnya menjadi tak terlindungi ?.
Sebagaimana diketahui, sebelum berlangsungnya kejadian yang masif itu, sesungguhnya sudah cukup banyak nasabah yang mengeluhkan uangnya hilang secara misterius.
Tetapi rupanya kejadian yang pada awalnya tak cukup masif itu tak mampu membuat pihak perbankan menjadi perhatian terhadap kasus-kasus tersebut. Karena tak masif maka pihak perbankan juga tak tergerak untuk secara dini melakukan sesuatu penyelidikan adanya sesuatu yang salah dalam kasus-kasus itu.
Mungkin hal itu juga karena penyelesaian atas kasus-kasus raibnya secara misteriusnya uang nasabah itu selalu saja kerugiannya dibebankan kepada pihak nasabah.
Maka, kasus-kasus itu tak pernah merugikan pihak perbankan, karena pihak perbankan tidak pada posisi yang kehilangan uang.
Sehingga kasus-kasus itu tak pernah dianggap sebagai sesuatu yang layak ditelusuri, lantaran pihak perbankan tak pernah merasa terugikan.
Andai para penjahat itu tak keburu nafsu sehingga tak menimbulkan kasus kejadian yang masif, maka sampai hari ini pun bisa jadi perbuatan mereka itu tak akan mengundang perhatian dari pihak perbankan. Oleh sebab pihak perbankan tak begitu memperhatikan kasus-kasus itu, maka bisa jadi sampai sekarang pun mereka masih bisa aman dan nyaman melakukan aksinya.
Kembali ke soal tudingan kepada kecerobohan nasabah. Memang, suka tak suka, nasabah akan selalu dalam posisi yang lemah dihadapan pihak perbankan.
Selalu saja pihak nasabah yang disalahkan, dengan pihak perbankan menyampaikan bahwa berdasarkan data dan laporan sistem sekuriti transaksi menunjukkan transaksi itu legal.
Masih pula customer officer bank akan mengimbuhinya dengan pernyataan-pernyata n yang menyudutkan dan melemparkan kesalahan kepada nasabah. Pernahkah memberikan nomor PIN kepada orang lain ?. Apakah kartunya pernah dipinjamkan kepada orang lain ?.
Dan berbagai pernyataan lainnya yang intinya seakan ingin mengatakan bahwa kalaupun transaksi itu tidak dilakukan oleh nasabah itu namun potensi terjadinya kecerobohan ada di pihak nasabah.
Padahal jika mengacu kepada pernyataan kepolisian seperti yang tersebut diatas, ternyata belum diketemukan bukti peralatan yang diduga dipakai oleh para penjahatnya, seperti skimmer dan kamera pengintai.
Ini tentu menimbulkan dugaan. Jangan-jangan bukan skimmer dan kamera pengintai yang dipakai untuk membobol data nasabah ?. Jangan-jangan data nasabah itu dibobolnya langsung pada sumbernya di database bank yang bersangkutan ?.
Baru-baru ini, giliran polisi Polda Metro Jaya yang menangkap pembobol uang nasabah bank dengan modus melalui internet banking, yang tak menggunakan peralatan skimmer dan kamera pengintai.
“Pelaku mengambil uang korban dengan membobol user ID korban, dengan melakukan pengacakan password”, kata AKBP Tommy Watuliu pada hari Senin tanggal 1 Februari 2010.
Namun, AKBP Tommy Watuliu yang menjabat Kasat Cyber Crime Polda Metro Jaya itu enggan menyebutkan nama banknya.
Jika menilik aksi pelaku itu yang berhasil mengetahui data-data pribadi nasabah, maka ada kemungkinan pelaku itu berhasil menembus sistem keamanan database yang ada di internal perbankan.
Tapi, lagi-lagi pihak perbankan secara dini sudah mengeluarkan bantahan yang mengopinikan bahwa keamanan internet banking itu tak mungkin tertembus, dan kejadian pembobolan di kasus internet banking itu bisa terjadi karena kecerobohan dan kesalahan ada di pihak nasabah.
Salah seorang bankir yang berjabatan cukup tinggi di bank yang tergolong besar mengatakan bahwa “Hingga kini belum pernah ada situs internet banking yang berhasil dibobol oleh hacker. Tapi kejadian kecurian rekening itu lebih disebabkan oleh nasabah yang lalai saat melakukan transaksi perbankan secara online”.
Para pakar juga seperti koor mengamini hal itu. “Jangan sekali-kali memberikan data pribadi, nomor PIN, email, dan tanggal kadaluwarsa, ke orang lain. Harus dipastikan pengetikan alamat website tak ada yang salah dan telah masuk ke website yang benar. Jangan melakukan transaksi internet banking di tempat umum seperti wilayah hotspot, dan sebaiknya menggunakan komputer pribadi”.
Lagi-lagi seperti sebuah upaya para bankir didukung para pakar yang secara berjamaah berusaha untuk menyudutkan nasabah, bahwa semua kebobolan itu bukan karena adanya kelemahan di pihak perbankan, namun karena kesalahan ada pada pihak nasabahnya.
Semacam upaya terencana yang berusaha mengarahkan opini yang menafikan dan memustahilkan sistem keamanan perbankan yang sedemikian canggih dan berlapis-lapis itu dapat tertembus.
Tak adakah sedikitpun pemikiran bahwa bisa jadi sistem keamanan perbankan yang sedemikian canggih dan berlapis-lapis itu masih ada kemungkinan dapat ditembus dengan cara-cara yang sederhana ?.
Salah satu contoh yang mungkin tepat untuk menggambarkan bahwa terkadang sesuatu yang dipersepsikan canggih dan hebat itu ternyata menyimpan titik kelemahan yang dapat ditaklukkan oleh hal yang relatif sepele dan sederhana adalah sebuah kasus pembobolan SDB (Safe Deposit Box) yang pernah terjadi antara bulan September sampai November tahun 2008.
Sepasang bandit berhasil membobol SDB harta milik nasabah sekurang-kurangnya senilai lebih dari Rp. 6 Miliar yang disimpan di SDB Kantor Pusat BII (Bank Internasional Indonesia) yang terletak di Jalan MH Thamrin, Kavling 51, Jakarta Pusat.
Sistem keamanan SDB (Safe Deposit Box) yang hampir tak terpikirkan dapat ditembus itu ternyata takluk hanya dengan sepasang obeng.
Berkaca pada kasus itu, maka kasus pembobolan melalui ATM dan Internet Banking itu ada kemungkinan ditaklukannya juga bukan dengan melibatkan peralatan yang teramat rumit dan canggih. Bisa jadi hanya dengan sesuatu hal dan cara yang relatif relatif sepele dan sederhana saja.
Sistem jaringan ATM dengan sistem Online Internet Banking itu dua-duanya secara sistem jaringan dan penyimpanan datanya boleh dibilang tak jauh berbeda. Maka bisa jadi titik lemahnya pun juga hampir sama. Sehingga pembobolan data nasabah pun juga dimungkinkan hampir serupa cara dan modusnya.
Sejatinya, inilah PR (Pekerjaan Rumah) yang sesungguhnya bagi para ahli sistem informatika dan sistem sekuriti perbankan untuk mencari tahu dimana letak titik-titik lemah pada sistem jaringan dan penyimpanan data yang ada di pihak perbankan sendiri.
Dan, mencoba mencari tahu dengan modus dan cara apa yang mungkin dipakai oleh para pembobolnya, baik secara hal yang sangat rumit dan canggih, maupun tak boleh dinafikan kemungkinannya dibobol dengan cara yang relatif sepele dan sederhana saja.
Dan, yang tak kalah pentingnya adalah mencoba berfikir bahwa tak selamanya kesalahan itu selalu ada pada pihak nasabah bank.
Bisa jadi juga, kesalahan itu ada pada pihak perbankan, termasuk kesalahan di sistem yang dirancang oleh para pakar itu.
Memang tak ada yang salah dengan nasehat bagi para nasabah yang diberikan oleh para pakar itu. Suatu nasehat yang baik dan mulia serta bertujuan agar para nasabah bank tak ceroboh sehingga keamanannya terlindungi. Semua itu tentu dengan kandungan maksud agar dimasa depan para nasabah tak lagi harus terugikan karenanya.
Lalu, jikapun kemudian para nasabah sudah mati-matian berusaha untuk sangat berhati-hati dan menghindari hal-hal yang dikategorikan lalai dan ceroboh itu, namun dengan fakta yang sampai hari ini ternyata modus yang sebenarnya dalam cara pembobolan data nasabah itu belum terungkap dengan jelas dan pasti, maka masih amankah sistem online internet banking itu ?.
Wallahulambishshawa b.
*
Artikel terkait :
* ‘Masih Amankah Safe Deposit Box ?’, dapat diklik di sini .
* ‘ATM Dibobol Dengan Skimmer ?’, dapat diklik di sini .
* ‘Kejahatan di Perbankan Elektronik’, dapat diklik di sini .
* ‘Roy Suryo & Roby’, dapat diklik di sini .
* ‘Cueknya Bank BCA’, dapat diklik di sini .
*
Internet Banking, Masih Amankah ?
http://teknologi. kompasiana. com/2010/ 02/03/internet- banking-masih- amankah/
*
Sebuah berita di surat kabar beroplah nasional memberitakan bahwa sejumlah Safe Deposit Box (SDB) yang terletak di Kantor Pusat Bank Internasional Indonesia (BII) di Jalan MH Thamrin kavling 51 Jakarta Pusat, telah dibobol sepasang bandit berinisial Fr dan Es.
Menurut pengakuan tersangka, membobol Safe Deposit Box yang dijaga ketat selama 24 jam itu tidaklah terlampau sulit. Hanya dengan menggunakan sepasang obeng, kedua tersangka itu berhasil membobol harta benda milik nasabah lain yang di simpan di Safe Deposit Box pada bank itu.
Kedua bandit itu ternyata tidak beroperasi dalam suatu jaringan mafia pembobol bank. Salah seorang tersangka berinisial Fr yang berasal dari Tanjung Balai Sumatera Utara, sehari-harinya hanyalah seorang pekerja pemasaran di sebuah perusahaan yang tidak disebutkan namanya.
Walau begitu namun kenyataannya kedua tersangka ini begitu licin. Polisi membutuhkan waktu selama 6 (enam) bulan untuk memburu dan menangkap kedua tersangka ini. Jejak awal mereka berhasil diendus oleh polisi setelah anggota reserse melakukan penyusupan dan menelusuri informasi dari jaringan toko emas dan perhiasan di Jakarta.
Menurut pengakuan tersangka, mereka berhasil menjarah harta benda di dalam SDB yang dijarahnya itu mencapai Rp. 15 Milyar (Lima Belas Milyar Rupiah). Angka kerugian berbeda dengan pelaporan dari para korban yang senilai sekitar Rp. 6 Milyar (Enam Milyar rupiah) diduga ini disebabkan masih ada nasabah lain penyewa SDB di bank itu yang belum melaporkan jumlah kerugiannya.
Harta benda yang dijarah sebagian besar adalah perhiasan. Polisi berhasil menyita tak kurang dari 4.000 potong perhiasan, disamping arloji-arloji mewah antara lain seperti Raymond Weil, Geneve, Lanvin, Paris, Guy Laroche, Cyma, Titus, Channel, Bvlgari.
Ternyata penampilan lemari besi Safe Deposit Box yang tampaknya kokoh dan kuat, mudah dibobol hanya dengan menggunakan alat sederhana, obeng.
Bagaimana pun juga kasus ini sedikit banyaknya tentu akan menimbulkan pertanyaan bagi sebagian khalayak pemakai jasa penyewaan Safe Deposit Box. Masih amankah menyimpan harta benda di Safe Deposit Box ?. Bagaimana dengan jaminan penjagaan atas kerahasian harta benda yang disimpan oleh nasabahnya di SDB itu ?. Bagaimana dengan jaminan keamanan dari bank sebagai penyedia jasanya ?. Bagaimana jaminan atas kerugian yang diderita nasabah dari bank penyedia SDB itu andai terjadi kehilangan ?. Bagaimana perlindungan dan pemenuhan atas hak-hak konsumen dalam kasus yang seperti ini ?.
Ini pekerjaan rumah bagi pihak-pihak terkait untuk mencarikan solusinya dimasa depan.
*
sumber berita :
http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2009/06/01/ 03270275/ pembobol. kotak.deposit. bii.ditangkap
*
Masih Amankah Safe Deposit Box ?
http://umum. kompasiana. com/2009/ 06/01/masih- amankah-safe- deposit-box/
artikel diambil dari milis dan blog, disadur kembali oleh:
Koko Jorganizer, 024.7060.9694 (sms/telp)
Sosialisasi Sejarah Historimedia Sejarawan Kontemporer Modern (whatsapp: 0823.2223.2268)
Showing posts with label money. Show all posts
Showing posts with label money. Show all posts
Tuesday, April 13, 2010
Friday, April 9, 2010
Million Dollars Saves You, Billion Dollars Kills You
The more money you have, the better you understand that money cannot make you happy. Yet, you can only understand it after you make your first million dollars. For the majority of people happiness is in the quantity. How much money is required to make a person happy? How to make and save money?
According to the data provided by the Public Opinion Fund, the average monthly salary in Russia is approximately $300. The overwhelming majority of Russians consider their financial standing to be unsatisfactory. They think that this average salary should be at least doubled to make them feel OK. It would require an income of $2,000 a month to make them happy.
The biggest dream of many Russians is to win a lottery. However, big wins bring disappointment.
"People get used to things quickly. They think money will make them happy. But according to research, people who win lotteries are only happy for the first few months, a year in the best case. And then they get used to it. Many winners lose their riches very quickly. It makes them even more miserable. All our ideas about the world are shaped by our environment. People from provincial cities envy Muscovites who make much more money. Muscovites are used to their high salaries and think they are less happy than residents of New York, London and Paris. If Londoners were sent to provincial Russia to live on a minimum wage, they would either shoot themselves or start finding ways to make more money.
"Easy money does not make people happy," says Dilyra Ibragimova, research director of the National financial research fund. "People are satisfied when they work hard to make money."
"It is not important how much you make, it is important how you spend it," says Dmitry Klevtsov, a psychiatrist. "You can make little money but be very efficient with it, which will make you wealthier than rich people who make more but spend inefficiently. "
It appears that people are happier when they become wealthy gradually. They are happy to buy a motorcycle at the age of 20, a car at 25, an apartment at 30, and so on up to a cottage and a yacht at Cote d'-Azur.
Vladimir Potanin, one of the wealthiest Russians, seems to understand it. That is why he decided not to leave money to his children so they could learn to be independent. "A million will help a person, but a billion will kill because it takes away the purpose in life," Potanin explains.
Research indicates that residents of wealthy countries are happier than their poorer counterparts. Yet, wealth is not a panacea. That is why poor residents of Nigeria and Guatemala are happier than wealthier Japanese and Italians.
According to the data provided by the Public Opinion Fund, the average monthly salary in Russia is approximately $300. The overwhelming majority of Russians consider their financial standing to be unsatisfactory. They think that this average salary should be at least doubled to make them feel OK. It would require an income of $2,000 a month to make them happy.
The biggest dream of many Russians is to win a lottery. However, big wins bring disappointment.
"People get used to things quickly. They think money will make them happy. But according to research, people who win lotteries are only happy for the first few months, a year in the best case. And then they get used to it. Many winners lose their riches very quickly. It makes them even more miserable. All our ideas about the world are shaped by our environment. People from provincial cities envy Muscovites who make much more money. Muscovites are used to their high salaries and think they are less happy than residents of New York, London and Paris. If Londoners were sent to provincial Russia to live on a minimum wage, they would either shoot themselves or start finding ways to make more money.
"Easy money does not make people happy," says Dilyra Ibragimova, research director of the National financial research fund. "People are satisfied when they work hard to make money."
"It is not important how much you make, it is important how you spend it," says Dmitry Klevtsov, a psychiatrist. "You can make little money but be very efficient with it, which will make you wealthier than rich people who make more but spend inefficiently. "
It appears that people are happier when they become wealthy gradually. They are happy to buy a motorcycle at the age of 20, a car at 25, an apartment at 30, and so on up to a cottage and a yacht at Cote d'-Azur.
Vladimir Potanin, one of the wealthiest Russians, seems to understand it. That is why he decided not to leave money to his children so they could learn to be independent. "A million will help a person, but a billion will kill because it takes away the purpose in life," Potanin explains.
Research indicates that residents of wealthy countries are happier than their poorer counterparts. Yet, wealth is not a panacea. That is why poor residents of Nigeria and Guatemala are happier than wealthier Japanese and Italians.
Subscribe to:
Posts (Atom)