Sungguh saya tak habis pikir, bagaimana seorang Ibu atau pengasuh bisa begitu kreatif mencari berbagai cara untuk membujuk seorang anak untuk makan.
Dimulai dari berbagai bujukan hingga permainan, yang entah bagaimana, seketika suapan demi suapan masuk tanpa disadari. Ya, seorang Ibu bisa begitu luwes nan lentur demi memastikan sang anak makan dengan sukarela.
Dari jutaan cara, salah satu yang begitu takjub saya tonton adalah bermain drama. Tak jarang, saya pun turut ambil peran, entah sebagai orang yang sedang kelaparan, atau hewan yang juga sedang menginginkan makanan anak saya.
“Ayah mau juga lapar ya, Yah? Ini, Yah!” ujar istri saya.
Saya pun mulai tersenyum lebar dan membuka mulut saya. Yang seketika ditutup oleh anak saya, sebab tak ingin makanan kesukaannya saya santap.
“Hai Ayah harimau! Apakah kamu kelaparan?” tanya istri saya lain waktu.
Saya pun segera menyahut, “Ya! Aku sangat lapar!” sembari membuka mulut saya lebar-lebar.
Anak saya pun bersegera menghampiri sendok yang telah ia siapkan, dan menyantapnya.
“O, putri harimau rupanya lebih kelaparan. Ini, silakan,” sahut istri saya.
Begitu pun pada kesempatan lain, ketika anak saya sedang tak mau saya ajak bercengkrama, sementara saya begitu kangen. Istri saya pun menyarankan, “Mainin donk, drama Raja dan Putri.”
Aha! Saya pun segera memainkannya, yang seketika segera memicu gairah bermain anak saya. Sukses euy!
Ya, entah sudah berapa drama dimainkan oleh anak saya, yang menyelamatkannya dari kelaparan. Bagi seorang anak, hidup adalah permainan itu sendiri. Aktivitas krusial macam makan, memang masih jauh dari penting, maka ia harus dibuat menyenangkan.
Ah! Menyenangkan? Mengapa kata itu begitu menggelitik dalam pikiran saya. Seketika ingatan saya pun melayang pada sebuah ajaran yang mengatakan bahwa, “Hidup hanyalah sekedar permainan dan senda gurau belaka.”
Cukup lama sejak pertama kali saya mendengar ajaran ini. Yang ketika saya mulai memahami maknanya, begitu banyak problematika hidup tak hanya sirna, melainkan juga berubah menjadi mutiara hikmah nan indah.
Ingatan saya pun melayang pada sebuah presuposisi NLP yang begitu terkenal, bahwa peta bukanlah wilayah yang sebenarnya, namun manusia merespon terhadap peta yang ia miliki, bukan pada wilayahnya. Persepsi bukanlah realita, dan Anda juga saya, merespon berdasarkan persepsi yang kita miliki, bukan pada realita yang dihadapi.
Maka apakah sebuah kehilangan pekerjaan sebuah musibah atau anugerah, adalah urusan persepsi yang kita gunakan untuk memaknainya. Saat film kehinaan yang diputar dalam pikiran, maka rasa terhina dan rendah diri yang muncul. Sementara saat film keberuntungan yang dipasang, semangat untuk mencari penghidupan yang lebih baik lah yang meruah.
Hidup hanyalah permainan dan senda gurau belaka. Betapa kalimat bijak ini begitu agung mengajarkan bahwa kita bisa memilih persepsi yang kita gunakan. Bahwa kebenaran tidak hanya satu macam, melainkan memiliki berbagai rupa yang bebas kita pilih sendiri. Dan saat begitu banyak alternatif masih terasa sulit untuk kita terima, maka bermainlah.
Ya, bermainlah. Berpura-puralah. Dengan penuh kesungguhan.
Saya teringat masa-masa awal saya mempelajari NLP. Bahwa sebagai sebuah ilmu modeling, NLP mengajarkan kita untuk tak perlu repot-repot menciptakan hal sesuatu yang baru. Tak perlu reinvent the wheel, istilah kerennya. Sebab begitu banyak hal sudah tersedia, kita hanya perlu mengambil ekstraknya, guna diterapkan dalam konteks yang lain, sesuai dengan kebutuhan kita.
Bagaimana caranya?
Setidaknya ada 3: pengalaman masa lalu, orang lain sebagai model, atau diri sendiri di masa depan.
Maka jika saya memerlukan sebuah perasaan rileks untuk menikmati waktu bersama keluarga di rumah, saya dapat melakukan 3 hal: mengakses perasaan rileks yang pernah atau biasa saya rasakan, meniru apa yang dilakukan orang lain yang menurut saya mampu merasa rileks, atau—jika saya sulit mengakses dari keduanya—saya pun mereka-reka seperti apa jadinya jika saya sudah bisa merasakan rileks persis seperti yang ingin saya rasakan.
Dari ketiga cara tersebut, cara ketiga lah yang bagi saya begitu unik. Betapa tidak? Sebab untuk memancingnya, para NLPers biasa berkata, “Berpura-puralah semuanya sudah terjadi. Apa yang terbayang, terdengar, terasa?”
Aha! Lagi-lagi soal pura-pura. Betapa kata ini, yang dulu seolah memiliki konotasi negatif, seketika menjadi sesuatu yang amat menggoda untuk dilakukan.
Ya. Pura-pura adalah sebuah kemampuan ajaib, yang mungkin hanya dimiliki oleh manusia. Sebuah keahlian yang membuka potensi imajinasi kita yang tak terbatas, sebab ia memang tidak terikat dengan realita. Satu kondisi yang tidak dimiliki oleh 2 cara modeling yang lain. Mengakses masa lalu, maka kita pun terbingkai olah apa yang pernah kita alami. Pun memodel orang lain, yang membuat kita terkotak oleh apa yang kita ketahui tentang orang tersebut.
Maka kata pura-pura pun seketika menjadi kata favorit saya. Ingin pandai? Berpura-puralah. Ingin rajin beribadah? Berpura-puralah. Ingin kaya? Berpura-puralah.
Ah, beberapa di antara Anda barangkali berkata, “Betapa aneh? Bukankah itu sebuah kebohongan?”
Oh, maaf. Ada hal yang belum saya jelaskan. Kata pura-pura, berbingkai NLP, memiliki definisi yang berbeda dengan yang dipahami banyak orang awam pada umumnya. Saat saya ingin pandai dalam satu bidang, misalnya, maka saya harus sepenuhnya berpura-pura untuk menjadi pandai dalam hal tersebut, lalu bertanya, “Apa saja sih yang saya lakukan, sehingga bisa mencapai tingkat kepandaian ini?” Dan saya pun begitu sering dikejutkan oleh jutaan lompatan ide yang bermunculan dalam benak saya.
Bagaimana jika lompatan ide itu tak jua muncul?
Maka saya masih kurang canggih dalam berpura-pura. Saya mungkin perlu mencari referensi yang lebih detil akan keahlian tersebut, dan betul-betul berpura-pura sehingga memahami betul kondisinya. Termasuk belajar kepada ahlinya.
Maka pura-pura, pun harus dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Ingin kaya? Berpura-puralah kaya. Pikir dan rasakan diri ini sudah mencapai tingkat kekayaan yang diinginkan, lalu bertanya, “Apa saja yang sudah saya lakukan, hingga mencapai tingkat kekayaan ini?” Saya pun kemudian menyadari bahwa orang kaya, adalah orang yang paling sedikit membutuhkan, dan karenanya paling banyak memberi. Anehnya, semakin banyak memberi, semakin banyak ia menerima. Orang kaya juga adalah orang yang tidak pernah fokus pada kekayaan itu sendiri, melainkan fokus pada sumber-sumber kekayaan, yakni ide-ide brilian dan jaringan yang luas.
Ingin rajin beribadah? Berpura-puralah dengan memikir-rasakan diri begitu nikmat menjalankan ibadah, lalu gelitiklah dengan pertanyaan, “Apa saja yang sudah saya lalui hingga mencapai tingkat kenikmatan seperti ini?” Dan saya pun terkejut saat tiba-tiba menyadari bahwa mereka yang rajin beribadah selalu memulai dari ibadah-ibadah sederhana yang amat ringan, sehingga dapat dilakukan dengan konsisten. Karena ringan, ia menjadi nikmat. Karena nikmat, ia pun tergerak untuk menambahnya.
Dan seterusnya.
Menulis hingga baris ini, saya teringat sebuah kisah dari seorang begawan kepemimpinan, Stephen R. Covey. Dalam bukunya, beliau pernah menulis sebuah curhat dari seorang sahabat akan perasaan cinta yang mulai luntur antara sang sahabat dengan istrinya. Menjawab pertanyaan, “Bagaimana ya solusi atas hal ini?” Covey pun berkata, “Cintai dia.”
“Loh, maksudmu?” tanya sang sahabat. “Saya sudah katakan bahwa cinta kami telah hilang.”
“Ya, justru karena itu.Cintai lah dia,” tegas Covey kembali.
Baru belakangan saya memahami, bahwa barangkali Covey pun, disadari atau tidak, telah menerapkan sebuah prinsip yang sama dengan yang diajarkan oleh NLP. Dalam bahasan artikel ini, berpura-puralah mencintai, dengan sungguh-sungguh. Sebab dalam kepura-puraan nan sungguh-sungguh itulah, pikiran dan perasaan ini melayang ke sebuah kondisi imajinatif tanpa batas, yang akan menelurkan berbagai cara baru untuk mencintai.
Seketika sebuah ingatan pun menelusup dalam pikiran saya. Sebuah kalimat yang mengatakan, “Dalam beberapa situasi, pikiran manusia tidak bisa membedakan mana yang khayalan, dan mana yang kenyataan.” Dan sebab pikiran dan tubuh adalah satu kesatuan nan tak terpisahkan, maka apa yang terjadi dalam tubuh, pastilah menstimulus reaksi pada pikiran. Saat tubuh berpura-pura, dengan sungguh-sungguh, untuk berperilaku layaknya seorang yang amat mencintai, seketika pikiran pun merespon dengan memunculkan berbagai hal yang membuat rasa cinta semakin berkobar.
Ah, saya pun jadi paham, mengapa skenario drama menjadi begitu ampuh dalam membujuk anak saya makan dan bermain. Sebab drama menjadikan kegiatan makan selayaknya khayalan nan menyenangkan. Ia menembus batas-batas pengalaman makan yang kurang menyenangkan, dan menjadikannya sebuah kenikmatan.
Maka sebuah tanya mungkin menyelinap dalam hati Anda, “Apa saja kepura-puraan, dengan sungguh-sungguh, yang akan saya lakukan, sekarang?”