Sebagai orang yang familier dengan ajaran agama dan spiritualitas, kita tentu sudah mahfum bahwa untuk dapat menerima kenyataan pahit dari tekanan-tekanan hidup yang tidak bersahabat atau pun pengalaman yang menyengsarakan, seyogyanyalah kita menerima semua itu dengan ikhlas seraya mensyukuri pencapaian yang telah diperoleh selama ini.
Sikap ikhlas, bersyukur dan berpasrah diri memang telah menjadi sikap sebagian besar manusia bijak atas penderitaan yang dialaminya. Namun, jarang yang sempat mempertanyakan, sebenarnya adakah jalan lain yang lebih baik daripada sekadar bersyukur dan berpasrah diri?
Padahal, jalan itu ada!
Di beberapa sudut dunia, terdapat orang-orang istimewa yang telah menemukan kesadaran, bahwa alih-alih dari sekadar ikhlas dan berpasrah diri, akan lebih baik bila mereka justru menikmati (enjoy) setiap kesulitan dan penderitaan hidup yang terjadi. Mereka tidak saja “kuat bertahan”, tapi mereka bahkan berani meninggalkan kenyamanan yang sudah ada untuk mencari, mengakrabi serta menikmati penderitaan! Sudah tak waraskah mereka?
No way! Sama sekali tidak. Coba lihat.
Sementara rakyat banyak begitu tergiur dengan kemewahan dan kemegahan di kerajaan Kapilawastu, India, Pangeran Sidharta Gautama justru meninggalkan istana untuk masuk ke hutan dan bermeditasi di bawah kerindangan pohon Bodhi. Keresahan karena melihat penderitaan masyarakat yang bergelimang dengan kemiskinan, kelaparan serta penyakit, telah membuat Sang Pangeran berkesimpulan bahwa tidak cukup ia bersyukur atas kesenangannya sendiri, sementara banyak orang di luar sana menderita. Ia harus ikut mengalami bagaimana rasanya penderitaan dan mencari makna di balik itu semua. Untuk itulah ia rela masuk ke dalam rimba, bersemedi, mengajar, berbagi dengan banyak orang sebelum mencapai “moksha” (kesempurnaan) , dan wafat dalam kebahagiaan hakiki.
Ketika tidak terhitung banyaknya orang berlomba-lomba memburu uang dan harta benda dengan berbagai cara, Michael Rockefeller, putra Gubernur New York City yang kaya raya justru pergi mengembara ke pedalaman Papua (Irian Barat). Kekayaan diri dan keluarganya, tidak hanya disyukuri dengan berleha-leha di kenyamanan kota metropolitan di Amerika. Sebaliknya, ia ingin berbuat sesuatu untuk orang banyak, teristimewa untuk mereka yang berdiam di daerah-daerah miskin dan terkebelakang. Maka ia pun pergi keluar masuk hutan pedalaman guna berpartisipasi mengenalkan budaya suku Asmat ke dunia luar. Ia bahkan sampai kehilangan nyawa di tanah Papua demi perburuannya akan sesuatu yang lebih membahagiakan daripada sekadar merasakan manisnya uang dan materi semata.
Itu hanya 2 contoh dari ratusan kejadian lain yang bernuansa sama. Bukankah ini seharusnya menimbulkan tanda tanya, mengapa mereka yang sudah begitu kaya raya justru meninggalkan kekayaannya demi menjalani kehidupan yang lebih sulit, sederhana, serta menderita?
Padahal, ada berjuta-juta orang lain yang berjuang mati-matian untuk mendapatkan sejumlah uang?
Inilah apa yang oleh kaum sufi diklaim sebagai “Kesadaran Kosmik” yang mengacu pada falsafah dualisme. Bahwa segala sesuatu ditentukan oleh dua keadaan yang berlawanan. Untuk mengerti adanya siang, orang harus mengerti adanya malam. Untuk mengetahui sesuatu yang tinggi, orang harus mengetahui sesuatu yang rendah. Untuk mengetahui seberapa jauh kita berjalan, kita harus mengetahui di mana kita memulai titik start. Untuk mengerti yang namanya “kenikmatan”, orang harus mengerti apa itu “penderitaan”.
Sidharta Gautama dan Michael Rockefeller telah melakukannya. Mereka terlanjur kaya raya, tapi karena belum benar-benar menjiwai makna kekayaan, mereka rela mengulang perjalanan hidup dari taraf mengalami penderitaan terlebih dahulu. Mereka berdedikasi, menikmati serta menjiwai penderitaan, dan bahkan menjadi martir demi mewujudkan aspirasinya.
Bagaimana dengan kita?
Kalau sekarang kita sudah terlanjur kaya, mungkin tidak semua dari kita mampu meninggalkan kekayaan itu guna mengulang perjalanan hidup dari tingkat yang penuh derita. Tapi kalau belum, dan sedang dalam masa perjuangan mencapai kesuksesan, inilah saatnya untuk introspeksi. Sudahkah kita mau dan mampu menikmati serta menjiwai penderitaan? Seberapa besar totalitas yang kita dedikasikan untuk aspirasi kita? Siapkah kita untuk menjadi martir, demi sebuah aspirasi?
Semoga dengan cerminan seperi ini, ke depan kita tidak lagi terlalu “cengeng” memaknai perjuangan sebagai penderitaan yang teramat berat. Berpasrah diri dan rasa bersyukur adalah sikap bijaksana, tapi akan lebih sempurna kalau kita mampu menikmati serta menjiwai penderitaan. Karena tanpa merasakan penderitaan, kita pun tidak akan merasakan makna yang paling dalam dari sebuah kesuksesan dan kekayaan.
koko sejarawan
024-7060.9694
maspank@yahoo.com