TUNISIA adalah sebuah cerita lama. Dahulu kala, di zaman sebelum Masehi, negeri ini sudah menjadi bahan omongan. Catatan-catatan sejarah dunia mengungkapkan, orang-orang Phoenisia pada abad ke-8 SM masuk ke wilayah itu. Mereka mendirikan kota Kartago (Carthage) dan permukiman-permukiman lain di Afrika Utara.
Kartago tumbuh dan berkembang menjadi kota besar yang menguasai wilayah Laut Tengah, sampai akhirnya dikalahkan oleh orang-orang Romawi pada tahun 146 SM. Kekaisaran Romawi menguasai Kartago dan juga Afrika Utara sampai abad ke-5 hingga akhirnya suku-suku Eropa mengalahkan Romawi.
Pada abad ke-7 pasukan Muslim masuk Tunisia, disusul gelombang imigrasi dari Arab, orang-orang Moor Spanyol, dan Yahudi. Gelombang imigrasi itu terus berlangsung hingga abad ke-15. Di zaman Kekalifahan Utsmaniyah (Ottaman) Turki, Tunisia menjadi pusat belajar dan budaya Arab.
Tunisia juga pernah menjadi protektorat Perancis, yakni mulai tahun 1881 hingga merdeka tahun 1956 dan menjadi Republik Tunisia (1957), dengan presiden pertama Habib Bourguiba—pemimpin gerakan kemerdekaan.
Bourguiba sangat menekankan pada pembangunan ekonomi dan sosial, terutama pendidikan, status perempuan, dan penciptaan lapangan pekerjaan. Program itu berhasil menciptakan stabilitas politik dan sosial. Tetapi, pertumbuhan demokrasi sangat lamban. Bourguiba pun menjadi tokoh yang tak tertandingi. Ia beberapa kali dipilih sebagai presiden dan pada tahun 1975 dinyatakan sebagai ”presiden seumur hidup”.
Pada titik inilah apa yang pernah dikemukakan Machiavelli dalam Sang Penguasa dipraktikkan Bourguiba. Menurut Machiavelli, tujuan politik adalah memperoleh dan memperbesar kekuasaan politik. Ukuran berhasil yang dipakai adalah semakin kuat dan semakin besarnya kekuasaan. Kebijakan yang sewenang-wenang menurut ukuran moral, mengingkari janji atau kepercayaan, dan perbuatan yang tak berlandaskan hukum dianggap sesuatu yang tak perlu diperhatikan (St Sularto, Niccolo Machiavelli, Penguasa Arsitek Masyarakat).
Ketika kekuasaan tidak lagi memberikan kesejahteraan rakyat, tetapi demi kekuasaan itu sendiri, saat itulah bencana dimulai. Pada tahun 1983, ketika Bourguiba merayakan 25 tahun kekuasaannya, pecah pemogokan sipil dan kaum religius karena memburuknya perekonomian dan naiknya harga bahan-bahan kebutuhan pokok. Tahun berikutnya pecah kerusuhan di jalanan yang menelan 80 korban jiwa. Bourguiba malah memperkuat kekuasaan dengan menunjuk orang-orangnya untuk duduk di Komite Sentral dan Politbiro yang seharusnya dipilih. Salah satu anggotanya adalah Zine al-Abidine Ben Ali, yang pada tahun 1987 justru menyingkirkannya karena menganggap Bourguiba sakit dan tak mampu memerintah lagi.
Tetapi, hal yang sama dilakukan juga oleh Ben Ali setelah berkuasa selama 20 tahun. Ben Ali, yang jenderal tentara, menumpuk kekuasaan dan kekayaan, terutama dilakukan istrinya yang kemaruk kekuasaan dan harta. Meski di zaman Ben Ali untuk pertama kali dilakukan pemilu legislatif yang pluralistik dan pemilu presiden multipartai, rakyat tidak bisa dibohongi oleh hal-hal yang bersifat lipstik, sementara banyak orang menganggur dan harga pangan melambung.
Akhirnya, rakyat memilih menyingkirkan penguasa yang hanya memikirkan dirinya sendiri, keluarga, dan orang-orang dekatnya. Hari Jumat malam, Presiden kabur. Sami Moubayed di Asia Times menulis penggulingan Ben Ali merupakan salah satu peristiwa yang sangat dramatik dalam sejarah Arab. Ia disingkirkan orang-orang muda dan tua, kaum terpelajar dan rakyat biasa, serta kaum ulama. Di belakang mereka ada tentara yang mau mendengarkan teriakan dan penderitaan rakyat.