Dewasa ini banyak pihak membicarakan tentang perdagangan atau transaksi derivatif. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan perdagangan derivatif itu sendiri sebenarnya?
Perkembangan perdagangan derivatif di Indonesia mulai dikenal semenjak tahun 1989, namun hingga saat ini pengertian tentang derivatif sendiri masih membingungkan masyarakat atau secara umum. Masyarakat hanya mengetahui bahwa derivatif itu adalah perdagangan turunan. Namun bagaimana hal tersebut dapat terjadi dan apakah ada hubungan langsung dengan produk induknya atau tidak tidak pernah dimengerti oleh kebanyakan masyarakat.
Perdagangan atau transaksi derivatif pada awalnya merupakan salah satu instrumen keuangan yang digunakan untuk mengurangi resiko. Dewasa ini perdagangan derivatif dimengerti sebagai salah satu bentuk perdagangan yang merupakan suatu kegiatan yang melibatkan atau memperdagangkan suatu turunan (derivatif) dari suatu produk induk yang menjadi rujukan atas perdagangan derivatif tersebut. Sampai sebatas inilah yang diketahui oleh masyarakat.
Tulisan ini ditujukan untuk memberikan informasi secara konseptual apa itu derivatif dan tidak akan menjelaskan secara lebih terperinci dari masing-masing produk derivatif yang marak diperdagangkan dewasa ini.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa perdagangan derivatif dimengerti sebagai salah satu bentuk perdagangan yang merupakan suatu kegiatan yang melibatkan atau memperdagangkan suatu turunan (derivatif) dari suatu produk (perdagangan) induk. Produk (perdagangan) induk yang dimaksudkan adalah komoditas(-komoditas) pada pasar uang (finance), pasar modal dan pasar komoditas. Sebagaimana telah disinggung di atas, perdagangan derivatif hanya ”merujuk” pada produk pasar uang (finance), pasar modal dan pasar komoditas sebagai benchmark atau tolok ukur perdagangan derivatif yang mereka jalankan.
Untuk memudahkan pengertian mengenai perdagangan atau transaksi derivatif ini, penulis akan menganalogikannya dengan hal-hal sederhana yang biasa dijumpai dalam kehidupan sehari-hari seperti ”pertaruhan bola”. Tanpa bermaksud untuk menganjurkan atau memprovokasi pembaca untuk melakukan ”pertaruhan bola”, dalam tulisan ini ”pertaruhan bola” hanya dijadikan sebagai sebuah analogi belaka dan bukan untuk tujuan lain.
Misalnya pada saat tulisan ini dibuat, Menchester United (”MU”) akan melangsungkan pertandingan dengan Westham United (”WU”). Dari pertandingan yang diadakan di belahan negara lain tersebut 2 (dua) penggemar bola di Indonesia melakukan pertaruhan bola atas pertandingan tersebut, dimana salah satu penggemar mempertaruhkan bahwa MU akan menang dan yang lain mempertaruhkan WU akan menang.
Dalam hal ini pertandingan ”asli” antara MU dan WU adalah sama dengan komoditas(-komoditas) pada pasar uang (finance), pasar modal dan pasar komoditas. Sedangkan pertaruhan antara 2 (dua) penggemar bola di Indonesia tersebut adalah derivatifnya. Sehingga dapat dilihat bahwa pertaruhan bola di Indonesia atas MU dan WU tidak mempunyai pengaruh apapun terhadap pertandingan ”asli” MU dan WU di belahan negara lain tersebut. Hasil dari pertandingan ”asli” mempunyai peranan sebagai rujukan atau pertaruhan yang dilakukan di Indonesia. Pertaruhan di Indonesia atas pertandingan MU dan WU tersebutlah yang merupakan derivatif atau turunan dari pertandingan ”asli” MU dan WU.
Konsep serupa dengan di atas tersebutlah yang sebenarnya terjadi pada perdagangan atau transaksi derivatif dimana transaksi derivatif tersebut di”rujukkan” pada komoditas(-komoditas) pada pasar uang (finance), pasar modal dan pasar komoditas. Bahkan dewasa ini telah timbul adanya perdagangan derivatif dari perdagangan derivatif yang pada dasarnya menggunakan konsep yang sama seperti pertaruhan bola antara MU dan WU di atas.
Seorang pecatur amatir menyatakan kepada grandmaster Tartakower, bahwa dirinya sudah secara patuh memainkan pembukaan yang belum lama direkomendasikan grandmaster lainnya, Loewenstein, dalam sebuah majalah dengan hasil malapetaka. Tartakower menjawab “Jangan kau memainkan yang ditulis Loewenstein. Yang mesti kau mainkan adalah yang ia mainkan”
Ucapan Tartakower ini seolah menyindir pemerintah Indonesia dan negara-negara lemah lainnya dalam hal takluknya kita pada ekonomi neo-liberal yang dibawa oleh Amerika Serikat. Ekonomi yang nyatanya juga menyeret (hampir) semua Negara dalam krisis ekonomi yang disebut-sebut lebih parah dari Great Depression tahun 1929 yang lalu.
Sejarah mencatat, Great Depression membutuhkan waktu kurang lebih lima puluh tahun untuk kembali dalam keadaan stabil. Kejatuhan pasar saat itu, telah menyebabkan pengangguran yang meningkat pesat akibat merosotnya lapangan pekerjaan. Krisis tersebut merambat hingga Eropa, yang menyebabkan (salah satunya) Presiden FC Barcelona pun bunuh diri. Ada sebuah kesalahan langkah yang menyebabkan lamanya pemulihan. Pemerintah pada saat itu justru menaikkan nilai suku bunga, dengan tujuan utama menurunkan tingkat inflasi yang sangat tinggi. Masyarakat dipancing untuk saving sehingga mata uang yang beredar turun. Akan tetapi, satu hal yang di luar perhitungan, perusahaan-perusahaan tidak dapat bertahan dan satu per satu berguguran. Dan bagaimana mungkin masyarakat yang kehilangan pekerjaan, tidak mempunyai penghasilan, dapat menyimpan uang? Tepatnya, uang darimana?
Presiden USA yang baru dilantik, Barrack Obama, belajar dari pengalaman pahit tersebut. Seperti berita yang kini santer terdengar, Obama meminta bailout untuk menyuntik dana pada perusahaan-perusahaan nasional, salah satunya perusahaan otomotif. Dan seperti janji kampanyenya, Obama juga menjanjikan dana segar bagi perusahaan-perusahaan yang bisa menciptakan tiga ribu lapangan pekerjaan baru.
Krisis dan Celah Ekonomi Liberal
Anomali. Ingat dengan fluktuasi harga minyak yang tidak masuk akal, menembus kisaran USD 140? Dan lalu mengalami gerak jatuh bebas sampai USD 24?
Kita mengenal adanya hukum permintaan dan penawaran yang melahirkan harga di ekuilibrium. Lalu apakah harga minyak mengikuti hukum ini?
Kita tarik garis ke tahun 1637. Tidak dapat disangkal bahwa tulip bulb mania merupakan cikal bakal dari bubble ekonomi di dunia modern. Tulip bulb mania mengacu pada periode keemasan Belanda di mana pada saat itu tulip mencapai harga yang luar biasa tinggi dan kemudian jatuh dalam dalam waktu singkat. Sebagai gambaran, pada puncak dari bubble ini di bulan Februari 1637, harga satu kontrak tulip setara dengan 20 kali gaji tahunan seorang pengrajin berpengalaman. Sampai dengan saat ini, tulip bulb mania merupakan simbol dari bubble dan crash ekonomi.
Tulip berasal dari bahasa Turki yang artinya sorban. Tulip diperkenalkan ke Belanda oleh Conrad Guestner yang mengimpornya dari Konstantinopel pada tahun 1593. Tulip diimpor dari Vienna dan dibudidayakan di Inggris pertama kali pada awal tahun 1600. Dengan cepat, tulip menjadi simbol status dan kebanggaan bagi orang-orang kaya dan terkenal. Orang yang tidak memiliki tulip dianggap berselera rendah. Dengan cepat harga tulip bulb semakin meroket. Pada fase selanjutnya, keinginan untuk memiliki tulip mulai merambah ke golongan menengah, pedagang bahkan penjaga toko. Pada tahun 1634, tulip mania telah menjalar ke seluruh pelosok negeri di mana setiap orang mengorbankan tanah, ternak, kebun, dan tabungannya untuk memperoleh sejumlah tulip bulb. Yang menjadikan mania ini semakin buruk adalah adanya opsi yang membuat orang yang sebenarnya tidak mampu membeli, ikut berspekulasi. Dengan adanya leverage dari opsi ini, pembeli dapat mengontrol jumlah bulb yang lebih besar dari yang seharusnya dapat dimilikinya.
Tulip tumbuh dari bonggolnya (bulb). Pengembangbiakan tulip sendiri dapat melalui bulb-nya maupun bibitnya. Setelah beberapa waktu, muncul suatu virus tidak mematikan yang disebut dengan mosaic. Virus ini mengakibatkan tulip menjadi indah berwarna-warni. Efek dari virus ini mengakibatkan tulip menjadi eksklusif sehingga meningkatkan nilai jualnya. Tulip sendiri diklasifikasikan berdasarkan warnanya. Tulip dengan satu warna yaitu merah, kuning, atau putih dikenal dengan nama Couleren. Namun varian tulip yang lebih populer tulip multi-warna seperti Rosen (merah atau putih dengan background putih), Violetten (ungu atau nila dengan background putih), dan Bizarden (merah, coklat atau ungu dengan background kuning). Warna-warna spektakuler tulip tersebut merupakan efek dari virus mosaic disebut di atas.
Seperti bubble pada umumnya, pada saat itu orang-orang percaya bahwa harga tulip bulb kebal dari crash dan yakin bahwa harga akan terus naik. Naiknya kepopuleran tulip bulb, para pembudidaya profesional membayar harga yang semakin lama semakin tinggi untuk tulip bulb yang mengandung virus. Pada tahun 1934, adanya permintaan tulip bulb yang tinggi dari Perancis mengundang para spekulan memasuki pasar. Pada tahun 1935, tercatat penjualan 40 bulb dengan nilai 100,000 florins. Sebagai gambaran, 1 florin setara dengan 10.28 Euro pada tahun 2002 (data dari International Institute of Social History). Artinya, harga satu tulip bulb adalah 2,570 Euro atau sekitar 3.6 juta rupiah.
Seiring dengan pesatnya perkembangan pasar tulip bulb, pada tahun 1936 pemerintah Belanda membuat futures market di mana kontrak pembelian tulip bulb pada akhir musim, mulai diperjualbelikan. Para trader membayar fee transaksi 2.5% dari nilai transaksi sampai dengan maksimal 3 florin. Setiap pihak yang melakukan perdagangan tidak harus memiliki initial margin (seperti perdagangan futures saat ini) dan kontrak merupakan perjanjian antar individu, bukan melalui bursa. Mungkin lebih tepatnya kita sebut kontrak ini adalah kontrak forward karena tidak melalui bursa. Kenyataannya, tidak ada tulip bulb yang secara fisik dikirimkan dalam perdagangan ini. Transaksi yang dilakukan adalah murni spekulasi. Oleh karena itulah orang-orang menyebut perdagangan kontrak tulip ini sebagai “windhandle” atau “wind trade”.
Begitu pun dengan minyak dunia, efek bubble terjadi. Meroketnya harga minyak hanya didasarkan pada kerakusan/greedy sejumlah pialang dalam mencari keuntungan. Dan layaknya permen karet, pada saat masyarakat menyadari bahwa harga sudah tidak logis, kekuatan kerakusan itu terkalahkan dan harga jatuh.
Inilah salah satu kelemahan ekonomi liberal yang tidak mendasarkan dirinya pada keseimbangan ekonomi pasar. Dan dengan cara ini ekonomi berkembang pesat (dan juga bisa jatuh pesat).
Mortgage Hingga Krisis Dunia
Inilah yang dianggap biang keladi krisis kali ini: mortgage di bidang KPR (Kredit Perumahan Rakyat). Tahun 1925, AS memiliki UU Mortgage Tentang KPR, yaitu setiap orang yang memenuhi syarat berhak mengajukan dan mendapatkan kredit rumah. Jika penghasilan setahun 100 juta maka ia berhak mengambil kredit mortgage 250 juta. Karena cicilan jangka panjang maka terasa ringan. Tahun 1980, Keluar kebijakan untuk menaikan bunga. bisnis perumahan ada peluang, bank bisa mendapatkan bunga tambahan dan broker dan bisnis terkait bisa berusaha kembali.
Namun karena semua sudah punya rumah, maka Tahun 1986 pemerintah AS menetapkan reformasi pajak. Salah satu isinya, pembeli rumah diberi keringanan pajak. Bagi warga di negara maju, keringanan pajak akan mendapat sambutan luar biasa karena nilai pajak yang tinggi.
Tahun 1990, dengan fasilitas pajak bisnis rumah meningkat hingga 12 tahun ke depannya. Dari mortgage 150milyar USD dalam setahun menjadi 2 kali lipat di tahun-tahun berikutnya. Tahun 2004, mortgage mencapai 700 milyar USD per tahun. Gairah bisnis rumah yang terus meningkat ini membuat para pelaku bisnis menghalalkan segala cara. Mulai dari iklan yang jor-joran, keluarnya lembaga investment bank, hingga melunaknya persyaratan KPR. Dalam pikiran pengembang, jika orang tidak bisa membayar kredit atau kredit macet, toh rumah masih bisa dijual karena perhitungannya tiap tahun harga rumah meningkat. Jadi mereka masih untung ketika terjadi kredit macet.
Namun ternyata dalam jangka kurang dari 10 tahun, banyak kredit Macet. Banyak orang menjual rumah, harga menjadi turun sehingga nilai jaminan rumah tidak cocok lagi dengan nilai pinjaman. Satu per satu lembaga investment banking bergururan seperti efek domino.
Lalu apa pengaruhnya ke Indonesia?
Indonesia memang tidak terkena efek langsung dari Si Mortgage ini. Hingga Agustus 2008, kondisi perbankan masih terbilang solid. Posisi rasio kecukupan modal (CAR) perbankan berada di kisaran 16% atau jauh di atas ketentuan minimal, yakni 8%. Begitu pula halnya dengan rasio kredit bermasalah (NPL) yang bisa dibendung di posisi 3,59%. Tapi ekportir lah yang merasakan dampaknya. Ekspor Indonesia ke Amerika dan Eropa dikurangi kapasitasnya disebabkan krisis yang melanda mereka. Hal ini mengakibatkan adanya surplus ekspor, dimana stok barang di Indonesia tidak dapat dijual. Kemudian, harga-harga barang bumi mengalami penurunan hingga 80% (karet yang sempat mencapai level Rp3500/kg dari sebelumnya Rp15000/kg, atau sawit yang tadinya di level 2000-an lalu jatuh sampai hilang satu digit menjadi 200-an). Efek ini juga dialami Bakrie sebagai pemilik PT Bumi yang sahamnya turun drastis di level 1600-an.
Hal ini berbanding terbalik dengan krisis 1998, dimana saat itu kegiatan ekspor berjalan dengan subur, memperkaya pengusaha-pengusaha/eksportir Indonesia.
APA YANG HARUS INDONESIA LAKUKAN?
Pasal 33 UUD 1945 sebenarnya membawa amanat dasar yang harus dilakukan bangsa ini. Adalah ekonomi kerakyatan yang menjadi jawabannya. Dimana sektor riil yang dihidupkan oleh rakyat dan untuk rakyat lah yang menjadi pondasi dasar. Dan koperasi menjadi penyangga. Sementara pemerintah berfungsi sebagai atap dengan menerapkan kebijakan proteksionis.
Masih ingat dengan slogan “CINTAILAH PRODUK DALAM NEGERI”? Slogan ini sungguh benar adanya. Masyarakat Indonesia harus lebih memilih produk buatan anak bangsa ketimbang produk asing. Tapi fakta membuktikan kapasitas impor Indonesia sangat tinggi. Pribadi Indonesia cenderung konsumtif dan menganggap luar lebih baik daripada dalam. Contohnya saja (tanpa bermaksud promosi), berapa perbandingan pembelian Zyrex dengan Acer? Atau ayam potong local dengan ayam potong olahan yang sudah dikemas semacam KFC?
Pemerintah, dalam hal ini, sangat berperan dengan menentukan taxation bagi investor luar negeri. Misal, Carrefour dikenakan pajak yang lebih tinggi sehingga harga yang mereka tetapkan mau tidak mau tidak lebih rendah dengan yang ada di pasar tradisional. Sehinga pasar tradisional terjaga eksistensisnya.
Dan dalam ekonomi jangka panjang, factor teknologi sangat berpengaruh. Pemerintah harus menjadi backup bagi pengusaha Indonesia untuk melakukan riset pengembangan produk yang memiliki kualitas lebih baik dan dengan prize yang lebih rendah dibanding produk asing. Dalam pertanian misalnya, pemerintah wajib memberikan bantuan agar petani menemukan alat yang memiliki efisiensi tinggi, sehingga cost dapat ditekan. Atau dalam plasma nutfah, meneliti bibit-bibit unggul yang nantinya dapat menghasilkan lebih.
Hal-hal di atas memang seperti mengeksklusifkan bangsa kita. Tapi sebenarnya tidak. Amerika pun sekarang melakukan hal yang serupa. Mengapa kita tidak? Mengapa kita takut untuk hidup dari tangan kita sendiri?
Sebuah simpulan solusi, dengan menambahkan semangat ekonomi syariah yang penulis kira cocok dengan semangat ekonomi kerakyatan (atau malah sama). Pertama, menghapuskan sistem bunga dari segala transaksi keuangan yang ada dalam suatu sistem, karena menurut beberapa analisis salah satu penyebab krisis keuangan global diamerika adalah adanya kebijakan tingkat suku bunga yang rendah. Rendah atau tinggi, hal ini merupakan hal yang mustahil bahwa segala aktivitas cenderung mendapatkan return yang tetap (fix) dan tidak berisiko. Inilah yang menjadi kritik bagi sistem ekonomi islam, sebagai alternatifnya adalah menerapkan sistem profit sharing (bagi hasil). Dalam hal ini, transaksi syariah baik dalam perbankan maupun keuangan lainnya harus berdasarkan sistem bagi hasil.
Kedua, dalam kebijakan fiskal aktifitas yang dilakukan harus mendukung aktifitas riil domestik; dan penentuan jenis serta tingkat pajak yang merangsang sekaligus melindungi aktifitas riil domestik & Kebijakan yang mendorong UMKM, karena kontribusinya pada penyerapan tenaga kerja dan output ekonomi. Upaya pada program-program sosial dan pembiayaan/kredit mikro akan sangat dibutuhkan. Ini merupakan basis activity dari sistem ekonomi Islam, terutama menggerakkan sektor riil. Kita bisa lihat sekarang negara cina dan india memiliki PDB yang tinggi cina sebesar 9,7 dan India 7,9 dibandingkan dengan negara lain (Sumber: IMF, WEO October 2008), karena negara tersebut lebih fokus pada pengembangan sektor riil untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian. Kalau kita tinjau dalam negeri Indonesia memiliki potensi yang sangat besar jika UMKM tersebut dikembangkan. Hal ini dapat dilakukan dengan adanya sinergi antara lembaga keuangan yang berbasis syariah dengan umkm yang ada. Dimana jumlah UMKM Indonesia sekitar 43 juta UMKM dan yang paling besar sebanyak 90% adalah usaha kecil dan mikro artinya usaha tersebut dapat dijangkau baik lembaga keuangan mikro syariah maupun perbankan syariah, sehingga lembaga keuangan syariah dapat berperan dalam pendanaan usaha. Sehingga sektor riil bisa terus eksis dan berkembang.
Ketiga, dalam kebijakan moneter yaitu pasar keuangan baik pasar uang dan pasar modal harus dijalankan sesuai dengan sistem ekonomi Islam yakni mewujudkan teknis transaksi di secondary market, betul-betul menghindari transaksi seperti transaksi derivatif dan menghilangkan motif spekulasi seperti transaksi short selling.
Nietsche, dan Indonesia
“Kita telah meninggalkan daratan dan sudah menuju kapal! Kita sudah membakar jembatan di belakang kita – dan lagi, kita sudah menghanguskan daratan di belakang kita! Dan kini, hati-hatilah, kau kapal mungil! Samudera raya mengelilingimu…” (Nietsche)
Indonesia adalah Negara dengan kepungan samudra. Menyimak apa yang dikatakan Marwah Daud Ibrahim di sebuah acara di Metro TV bahwa Indonesia mampu menjadi poros ekonomi dunia di masa depan. Semua energi bangsa harus dikerahkan, dan satu yang menjadi fokus utama: pendidikan. Di luar konsep-konsep yang sudah penulis utarakan di atas, pemerintah harus mengiringinya dengan perkembangan kualitas pendidikan di Indonesia. Tujuannya agar SDM yang ada tidak tersia-sia dan mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri Atau agar kita perlahan membangun kapal mungil ini menjadi kapal besar dengan amunisi yang begitu disegani nantinya. SDM yang mampu menciptakan keseimbangan antara liberte, egalite, fraternite untuk dunia baru, bukan binatang dengan hukum rimba persaingan bebasnya. Bahwa ada aspek egaliter dan fraternite dalam eksistensi kemanusiaan, panggilan hidup dan fitrah manusia, bukan hanya mengumbar liberte dengan mengabaikan dua lainnya. Karena dengan mengagung2kan liberte dan monomer-sekiankan egalite dan fraternite akan sampai pada cerita tentang keserakahan dan ketamakan, yang akhirnya akan menjerumuskan pada keterpurukan.)