Apakah anda masih ingat televisi Polytron yang merajai pasar televisi Indonesia di era 90-an? Merek itu demikian kuatnya sehingga di daerah-daerah tertentu hanya terdapat dua merek yang disebut penjual TV, yang mahal atau yang murah. Yang mahal adalah Sony dan yang murah adalah Polytron.
Berasal dari negara manakah Polytron ? Sebagian konsumen, bahkan sebagian besar konsumen akan mengasosiasikan merek yang berbau western ini dengan sebuah negara di Eropa. Banyak yang tidak menyangka produk ini dibuat di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, Kudus. Kota ini adalah tempat berkumpulnya para produsen rokok. Suatu lompatan yang luar biasa ketika kota ini dapat menjadi produsen elektronik yang terkemuka. Tentu ini tak terlepas dari kelompok Djarum yang melahirkannya.
Kebutuhan televisi di Indonesia sangatlah besar. Tetapi hanya sebagian yang dapat menjangkau harganya. Kemudian kelompok ini juga masuk dengan harga yang lebih rendah dengan Digitec Ninja. Tentu merek yang satu ini berkonotasi dengan Jepang. Lagi-lagi produk ini juga mengalami kesuksesan. Sehingga Panggung Elektronik yang selama ini memproduksi barang elektronik merek JVC, ikut mengeluarkan produk baru. Maka lahirlah Akari, merek Jepang made in Sidoarjo, sebuah kota di dekat Surabaya.
Para produsen dan pemasar ‘terpaksa’ memakai nama asing sebagai bentuk pemahaman terhadap persepsi konsumen. Kita tahu bahwa kebanyakan konsumen awam tentang kualitas suatu produk, apalagi produk elektronik. Dan konsumen tidak mungkin melakukan pengetesan beberapa produk sebelum melakukan pembelian. Maka dia akan menilai berdasarkan penafsirannya. Nah, di sinilah berlaku perceived quality, kualitas menurut versi konsumen dan sangat berbeda dibandingkan dengan manufacture quality.
Dalam masalah kualitas produk, pengetahuan konsumen sangat bervariasi. Bagi konsumen yang pengetahuannya tentang kualitas peroduk tidak mendalam, dia akan mengasosiasikan dengan harga. Jika produk dengan harga tinggi berarti kualitasnya lebih bagus dari yang harganya rendah. Inilah yang terjadi dalam proses penilaian dan pengambilan keputusan kebanyakan konsumen.
Berkaitan dengan kualitas, motif sebagian besar konsumen adalah mendapatkan kualitas sebaik-baiknya dengan harga semurah-murahnya. Inilah value bagi konsumen, yang dirumuskan dengan azas pengorbanan dan manfaat. Apakah pengorbanan yang diberikan dalam bentuk uang (perceived monetary sacrifice) dirasakan sudah berimbang dengan manfaat yang diterima (perceived benefits) dan memberikan nilai yang layak bagi konsumen (perceived value).
Salah satu yang sangat mempengaruhi perceived quality adalah negara asal produk. Misalnya anggur kualitas terbaik datang dari Perancis. Mobil AS, Jerman, dan Jepang. Elektronik Belanda, Jerman dan Jepang. Nah, inilah strategi yang digunakan para produsen elektronik nasional. Jika mereka memakai merek ‘berbau’ Indonesia tentu akan dilecehkan oleh konsumen. Produk itu akan mendapatkan perceived quality yang rendah. Apa boleh buat, mereka pun menggunakan merek-merek yang diasoasikan dengan negara-negara Eropa, yang pada waktu memiliki merek-merek berkualitas dan berharga mahal seperti Philips, Metz, Telefunken. Atau Jepang, yang pada waktu itu dinggap lebih murah tapi kualitasnya juga cukup bagus.
Kualitas bukanlah satu-satunya benefit yang diharapkan konsumen. Untuk produk-produk fashion misalnya, image merupakan hal yang penting bagi konsumen, karena benefit yang terpenting bagi konsumen adalah self expresion benefit. Jika berkaitan dengan jeans, maka country of origin yang paling mendukung self expression benefit adalah AS. Maka, merek-merek seperti Levi’s, Lee, Guess merajai pasar. Walaupun kenyataannya dibuat di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Levi’s misalnya sudah dibuat di Indonesia dan Great River Garmen memegang beberapa lisensi.
Tapi produsen Indonesia pun tak kehilangan akal. Misalnya merek Lea, yang ternyata juag milik orang Indonesia, yang diasosisikan dengan AS. Beberapa pemasar malah bertindak lebih jauh. Misalnya Sanken yang ternyata juag merek Indonesia. diasosiasikan dengan ‘teknologi Jepang’ dirakit berdasarkan multisourcing. Atau komputer Zyrex, yang juga terdaftar di AS, ternyata juga milik orang Indonesia. Bahkan pada awalnya produksinya dilakukan di Taiwan, sebelum dirakit di Indonesia. Jadi yang modas utamanya adalah merek.
NATIONAL POSITIONING
Dalam hal ini, perlu perhatian khusus mengenai nama "Indonesia" sebagai country of origin yang biasanya dihubungkan dengan perceived quality dari suatu produk maupun Indonesia sebagai sebuah "merek". Dalam persepsi khalayak konsumen global tiap negara diasosiasikan dengan atribut-atribut tertentu yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Misalnya Jerman diasosiasikan dengan produk-produk berkualitas tinggi, tetapi harga produknya mahal. Korea dipersepsikan sebagai negara penghasil produk murah, tetapi kualitasnya tetap terjaga. Sedangkan jika mengharapkan produk yang benar-benar murah, produk dari Cina merupakan pilihan yang layak diprioritaskan. Nah, diantara asosiasi-asosiasi yang melekat pada masing-masing negara, dimanakah kita ingin menempatkan diri dalam benak konsumen ? Atau dalam bahasa yang lebih mudah ingin dikenal sebagai negara penghasil produk yang bagaimanakah kita? Inilah yang perlu dituangkan dalam National Strategy Positioning.
Selain atribut-atribut yang berkaitan manfaat fungsional, perlu diperhatikan juga manfaat lain seperti manfaat ekspresi diri. Konsumen, sebagai pribadi mempunyai konsep diri yang perlu diekspresikan, salah satunya dengan memiliki, menggunakan atau mempunyai pengalaman dalam mengunakan produk atau jasa tertentu. Busana Perancis dan Italia mendapat tempat yang sangat tinggi sebagai sarana ekspresi diri, yang tentu akan memberi nilai tambah dari sisi pricing. Piere Cardin, misalnya terlanjur dianggap sebagai busana buatan Perancis dan mendapatkan nilai preferensi yang tinggi, walaupun pada kenyataannya banyak yang made in Mexico dan negara berkembang lainnya yang biaya produksinya lebih murah. Dalam dunia pariwisata misalnya, unsur kebanggaan bagi seseorang yang pernah mengunjungi Paris, merupakan daya tarik yang sangat diandalkan Paris, ketimbang manfaat fungsionalnya.
Paris merupakan contoh yang baik bagaimana sebuah ‘merek’ yang kuat dapat membantu proses pemasaran. Atribut yang ditonjolkan adalah romantisme dan keindahan. Dalam memasuki persaingan global, identitas merek sebagai ujung tombak yang bersentuhan dengan khalayak konsumen, perlu mendapat perhatian khusus. Identitas merek inilah yang menjadi wakil organisasi kita di dalam benak konsumen. Perusahaan kita mempunyai sebuah "file" yang tersimpan di dalam otak konsumen, yang terdiri dari konfigurasi kata, citra, ide dan segala asosiasinya di benak konsumen.
Aaker menekankan unsur keunikan yang dijaga dengan sebuah strategi yang berkelanjutan. Keunikan dalam "file" (merek) yang berisi asosiasi-asosiasi ini mencerminkan bagaimana merek berada dalam jajaran "file-file" (merek) tersebut lainnya di benak konsumen. Dalam file tersebut tertulis suatu "janji" terhadap komsumen untuk mendapatkan yang sesuai dengan kebutuhannya sehingga mempengaruhi harga, segmentasi dan strategi komunikasi. Dalam strategi komunikasi dituangkan dalam sebuah pesan singkat dalam sepotong kalimat.
Jika Turki dalam iklan-iklannya di media cetak Indonesia menonjolkan atribut "craddle of civilization", sudah jelas bahwa keunikan yang ditonjolkan adalah keagungan peradaban masa lalu dan wisatanya berkaitan dengan peninggalan arkelogis hasil pertemuan peradaban Barat dan Timur.
Jika Thailand dalam positioning pariwisatanya menekankan pada 3 S (sex, sun,sand) kita harus mengambil posisi yang berbeda, apakah itu menonjolkan parawisata budaya atau ecoturism. Yang jelas jangan sampai positioning Indonesia adalah daerah tujuan wisata tempat kerusuhan biasa terjadi!
Rangkaian huruf ‘Made in Indonesia’ merupakan rangkaian yang penuh makna, dan di dalamnya tersimpan masa depan bisnis Indonesia. Di belakangnya tersimpan jutaan tenaga kerja. Jika kiat mampu memberi makna yang positif, maka kita telah membantu tercipatanya lapangan kerja.