Dari situs resmi Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (lihat, www.bumn-ri.com/#telusurIndeks-2) tersiar kabar bahwa kementerian yang dipimpin oleh Mustafa Abubakar itu sedang mempersiapkan sebuah hukum baru untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia, menggantikan Undang Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Perubahan undang-undang BUMN amat penting didiskusikan secara luas dan benar, agar ke depan tatakelola BUMN menjadi lebih baik, dan pada khirnya mampu berperan lebih dalam memajukan perekonomian negara.
Pentingnya BUMN bisa dilihat, misalnya, dari sudut aset yang dimiliki dan dikelola BUMN. Dari data kementrian, tahun 2009 BUMN memiliki aset sekitar 2.040,26 trilyun rupiah. Aset tersebut tersebar di 141 BUMN, dimana 116 berbentuk Persero (non-listed), 11 berbadan hukum Persero Tbk (listed) dan 14 lainnya berjenis Perusahaan Umum (Perum).
Juga, data tentang BUMN yang berlaba dan merugi tahun 2009 yang dirilis oleh kementrian, dapat menjadi pembenar betapa memikirkan dengan serius nasib perusahaan pelat merah tesebut amatlah perlu. Bayangkan, tahun 2009 BUMN meraup keuntungan sebesar 70,93 trilyun rupiah, dimana sekitar 79 % dari keuntungan itu tersebar di 10 BUMN, dan lebih dari 48 % dari keuntungan 10 BUMN itu berasal dari satu perusahaan saja, yaitu PT Pertamina. Artinya, dari 141 BUMN, baru segelintirnya yang berhasil meraup laba signifikan. Data itu menceritakan kepada kita bahwa nampaknya ada sesuatu yang salah di tubuh BUMN.
Oleh karena itu, sepatutnyalah momentum penggantian undang-undang dipergunakan semaksimal mungkin demi mempersiapkan masa depan BUMN yang lebih baik. Tentu, perubahan undang-undang yang hanya menyentuh hal-hal teknis seperti jumlah, komposisi dan asal direksi, perlu diatur atau tidaknya hubungan kerja antar organ perusahaan (RUPS, komisaris, direksi), status pegawai BUMN dan hal-hal teknis lainnya tidaklah cukup. Perubahan yang hendak dilakukan seharusnya menyentuh hal-hal yang strategis dan substantif.
Relasi keagenan
Satu teori yang tidak dapat ditinggalkan dalam membahas seluk-beluk perusahaan (baik dari sudut ekonomi maupun hukum) adalah agency theory atau teori keagenan. Adam Smith yang menulis the Wealth of Nations tahun 1776 dianggap sebagai ilmuan pertama yang memperkenalkan teori keagenan. Smith pada intinya mengatakan bahwa orang sewaan (direktur) yang dipercayakan mengelola uang atauproperty yang bukan miliknya tidak akan seserius dia mengelola miliknya sendiri. Kelalaian ataupun penyimpangan sangat mungkin terjadi. Teori ini kemudiandikembangkan, diantaranya, oleh Jensen dan Meckling(1976) yang merumuskan bahwa hubungan kontraktual antara pemilik (principal) dengan pengelola perusahaan (agent) berpotensi menimbulkan agency problems, yakni manakala principal dan agent berbeda tujuan dalam pengelolaan perusahaan, dan pada saat principal kesulitan memastikan apa yang sebenarnya dilakukan oleh agentdalam menjalankan perusahaan. Peran agency theoryadalah menyelesaikan persoalan-persoalan itu (Eisenhardt, 1989).
Undang Undang No. 19 Tahun 2003 merumuskan tiga jenis hubungan keagenan, yakni hubungan antara pemegang saham aktual (pemerintah) dengan dewan komisaris (‘actual principal-board’), pemerintah dengan dewan direksi (‘actual principal-management’), dan hubungan dewan komisaris dengan dewan direksi (‘board-management’). Hubungan ‘actual principal-board’ terjadi karena komisaris selaku pengawas dan pemberi masukan diangkat dan diberhentikan oleh pemegang saham melalui RUPS. Relasi‘actual principal-management’ eksis karena sebagai nakoda harian BUMN, anggota dewan direksi diangkat dan diberhentikan langsung oleh pemerintah. Hubungan langsung antara pemerintah dan direksi adalah konsekuensi dari aturan yang mengatakan bahwa hak mengangkat dan memberhentikan anggota dewan direksi tidak diberikan kepada dewan komisaris. Di negara lain yang menganut sistim serupa dengan Indonesia, misalnya Jerman, supervisory boarddiberikan kewenangan untuk memilih dan memecat anggota dewan direksi. Koneksi‘board-management’ terjadi karena beban tugas pengawasan dan pemberian masukan kepada direksi diletakkan di pundak komisaris, meskipun secara hukum pertanggungjawaban akhir direksi tidak kepada komisaris.
Dari hubungan keagenan yang terumus di dalam UU itu, satu hal yang tidak tersentuh oleh pembuat undang-undang adalah relasi antara rakyat sebagai ultimate owners dengan pemerintah sebagai actual owner BUMN. Padahal, hubungan keagenan yang fundamental di BUMN adalah hubunganultimate owners-actual owner (Sokol, 2009).
Kekosongan aturan ini berdampak terhadap tatakelola BUMN secara keseluruhan. Pemerintah sebagai pemegang mandat dalam mengelola aset masyarakat yang berbentuk BUMN bagaikan ketiban durian runtuh. Dengan kewenangan penuh dalam genggaman, pemerintah berhak menyeleksi, mengangkat, menerima pertanggung jawaban dewan direksi dan dewan komisaris serta mencopot mereka di tengah jalan –kalau perlu, tanpa pengawasan hukum memadai.
Bercampurbaur politik dan bisnis
Melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2005 (kemudian direvisi dengan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2005) tentang Pengangkatan Anggota Direksi dan/atau Komisaris/Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara, pemerintah menetapkan bahwa pengangkatan direksi dan komisaris BUMN mesti melalui proses politik lewat tangan Tim Penilai Akhir (TPA) yang diketuai oleh Presiden, wakilnya Wakil Presiden, sekretarisnya Sekretaris Kabinet dengan dua anggota, yaitu Menteri Negara BUMN dan Menteri Keuangan. Dalam pandangan hukum, Kehadiran TPA telah mencampurbaurkan politik dan bisnis (intermingling politic and business) dalam pengelolaan BUMN. Pencampurbauran politik dan bisnis merupakan pintu masuk terjadinya intervensi politik ke tubuh BUMN.
Relasi keagenan dan pencampurbauran politik dan bisnis hanyalah dua diantara isu-isu penting yang harus diselesaikan oleh pembuat undang-undang baru. Isu-isu lainnya seperti posisi komisaris yang tidak kuat –karena hanya memiliki hak memberhentikan sementara anggota direksi, atau isu co-determination (memberikan tempat bagi wakil karyawan di dewan komisaris) adalah beberapa contoh lainnya yang mesti dipertimbangkan untuk diakomodir dalam undang-undang baru.
Pendek kata, yang dibutuhkan BUMN sekarang sesungguhnya bukan sekedar undang-undang yang mampu menambal lobang-lobang teknis yang menganga di dalam UU No. 19 Tahun 2003. Lebih dari itu, yang dibutuhkan adalah sebuah disain besar tatakelola BUMN demi melihat BUMN ke depan lebih baik, berlaba banyak dan pada akhirnya lebih berperan memakmurkan rakyat sebagaiultimate owners.
Artikel disadur kembali oleh:
Koko Jorganizer 024-7060.9694