September ini kekuatan laut Asia Tenggara mencatat satu lembaran baru, yaitu hadirnya kapal selam generasi mutakhir Scorpene yang dioperasikan oleh Angkatan Laut Kerajaan Malaysia (Royal Malaysian Navy).
Negara jiran ini memesan dua kapal selam berbobot 1.550 ton ini pada tahun 2002 dari galangan kapal DCNS Perancis dan Navantia Spanyol. Kapal pertama yang diberi nama KD Tunku Abdul Rahman, nama perdana menteri pertama, tiba di Malaysia 3 September. Kapal kedua, dinamai PM Tun Razak, dijadwalkan tiba akhir tahun ini.
Hadirnya Raja dan PM Malaysia dalam upacara penyambutan KD Tunku Abdul Rahman menggarisbawahi pentingnya acara ini bagi Malaysia.
Dilihat dalam lingkup lebih luas, masuknya Malaysia dalam klub operator kapal selam membenarkan analisis militer bahwa bagian dari pembangunan kekuatan di Asia Pasifik yang bersifat amat sensitif dan secara potensial berbahaya adalah pengadaan kapal selam modern.
Diakui memiliki kemampuan serang yang ampuh, kapal selam generasi terbaru ada dalam urutan pertama modernisasi AL di kawasan ini dan mengambil porsi besar dalam anggaran militer. Pembeli kapal selam mutakhir tidak saja Malaysia di Asia, tetapi juga Jepang dan China di utara dan Australia di selatan.
Sebagai alasannya, kata Norman Friedman, pakar persenjataan laut Amerika, banyak negara menaruh hormat pada teknologi (persenjataan) yang bisa menimpakan dampak habis-habisan (unacceptable) terhadap lawan (NYT, 29/11/95).
Dalam konteks pemilikan kapal selam, di pertengahan dekade silam di Asia Timur terdapat lebih kurang 100 kapal selam meski sejumlah besar kapal di China dan Korea Utara tidak lagi operasional.
Desmond Ball, ahli masalah militer di Pusat Kajian Strategi dan Pertahanan di Australian National University di Canberra, melihat nuansa pemicu lomba senjata pada kapal selam. Ini karena kapal selam bersenjata rudal punya "kemampuan menyerang dengan konotasi ofensif", maka hal itu akan "memicu kontra-akuisisi" oleh pihak lain.
Mengubah keseimbangan
Salah satu kemampuan kapal selam yang diakui adalah ia bisa menembakkan rudal jarak jauh ke sasaran di darat maupun laut. Ini membuat kapal selam berpotensi mengubah keseimbangan kekuatan secara berarti di kawasan Asia Pasifik.
Menurut catatan Desmond Ball, pada akhir dekade lalu ada sekitar tiga lusin kapal selam yang masuk dinas operasional di kawasan ini.
Di selatan, Australia yang mengoperasikan enam kapal selam Kelas Collins, dan—seperti disebut Buku Putih Pertahanan yang diluncurkan awal Mei tahun ini—Australia akan menambah enam lagi sehingga ia akan memiliki 12 kapal selam. Collins yang dirancang di Swedia dan dibuat di Australia dengan biaya total sekitar 3,8 miliar dollar ini panjangnya 78 meter dengan bobot 3.000 ton. Ketika muncul satu dekade silam, ia dipandang sebagai salah satu kapal selam nonnuklir paling canggih di dunia.
Sekilas tentang pembangunan armada kapal selam di negara lain, Korea Selatan yang kini mengoperasikan sembilan kapal selam diesel-elektrik Kelas Chang Bogo (Tipe 209/1200-seperti yang dioperasikan TNI AL) melanjutkan tradisi yang ada. Sekarang ini Korea sedang membuat empat kapal selam Tipe 214 hibrid diesel-elektrik/ sel bahan bakar AIP di galangan Hyundai Heavy Industries bekerja sama dengan galangan Jerman HDW (Howaldtwerke- Deutsche Werft).
Alasan Korea Selatan terus mengembangkan kapal selam adalah terus adanya ancaman kapal selam Utara terhadap jalur perhubungan laut dan penyusupan perairan teritorial Selatan. Kapal selam Korsel diharapkan bisa memainkan peranan penting dalam menangkal kekuatan musuh (sea denial) dan melancarkan perang antikapal selam.
Selain masih terus adanya ketegangan dengan Korut, Korsel juga masih punya perselisihan teritorial dengan Jepang menyangkut Liancourt Rocks (Takeshima atau Tok-do). (NTI.org)
Program Indonesia
Kini setelah Malaysia menyusul Indonesia dan Singapura mengoperasikan kapal selam, muncul pertanyaan, apa selanjutnya? Satu hal yang sudah jelas adalah, selain ketiga negara ini, Vietnam dan Thailand diberitakan juga sedang mempersiapkan program pembangunan armada kapal selam. Ini artinya, negara-negara tetangga ASEAN juga sudah sama-sama mengakui kebolehan sistem alutsista ini.
Dalam konteks ASEAN, sesungguhnya adanya peningkatan kemampuan kapal selam di lingkungan ASEAN meningkatkan agregat kemampuan regional. Sayang, bahwa negara serumpun seperti Indonesia dan Malaysia sering kali diliputi ketidakselarasan hubungan. Dalam konteks ini, Malaysia kini meninggalkan kita dalam kekuatan kapal selam. Dua kapal selam yang kita miliki, KRI Cakra dan Nenggala dari Tipe 209 yang mulai berdinas di TNI AL sejak 1980-an, bukan tandingan kapal selam Malaysia yang bersenjatakan torpedo berat Black Shark. KD Tunku Abdul Rahman memiliki desain dan konstruksi yang diperoleh Perancis tatkala mendesain kapal selam nuklir yang punya tuntutan lebih canggih. Akustiknya di air, juga sistem tempurnya, lebih maju.
Dengan dua kapal selam mutakhirnya itu, AL Malaysia akan lebih leluasa mematroli perairan di Kalimantan Timur. Manakala terjadi konflik, keduanya akan leluasa mengancam kapal permukaan kita.
Dalam konteks inilah rencana pengadaan kapal selam kita mau tak mau harus disegerakan. Terakhir kita mendengar, kapal selam baru RI akan tiba pada 2011. Masih menjadi perhatian para pengamat, apakah Indonesia akan melanjutkan tradisi mengoperasikan kapal selam Jerman sebagaimana Korsel yang melangkah dengan Tipe 214. Ataukah RI akan merealisasikan kesepakatan yang pernah ditandatangani dengan Rusia tahun 2007 saat Presiden Putin singgah di Jakarta. Bila yang terakhir ini yang dipilih, maka pilihan akan jatuh pada Kelas Kilo (Proyek 877). Kapal yang dirancang untuk menyerang kapal selam dan kapal permukaan dalam rangka perlindungan pangkalan dan instalasi pantai serta jalur laut, juga punya fungsi lain, yakni untuk misi pengintaian umum dan patroli.
Dirjen Sarana Pertahanan Dephan Marsekal Muda Eris Heryanto, seperti dikutip Antara (7/9), mengatakan, Pemerintah RI hingga kini belum menentukan negara pemasok. Sementara Kepala Staf TNI AL Laksamana Tedjo Edhy Purdijatno menyatakan, kapal selam baru yang akan dibeli memiliki kesetaraan teknologi dan daya tempur sama seperti kapal yang dimiliki negara lain. Dengan itu, kapal selam baru RI diharapkan bisa memberikan efek tangkal memadai. KSAL melihat kapal selam bukan sekadar untuk bertempur, tetapi juga alat strategis yang dapat menaikkan posisi tawar Indonesia dengan negara lain.
Dengan pandangan itulah kita berharap bahwa kita bisa segera mengimbangi keunggulan yang sekarang ini ada pada negara lain dalam soal sistem penggentaran di laut.