Setahu saya, seorang mahasiswa sejarah harus menguasai filsafat sejarah. Karena itu, dalam salah satu semester, ia harus mengambil mata kuliah filsafat sejarah. Mata kuliah ini bukan sembarang mata-kuliah.
Dilihat dari bobot, filsafat sejarah memiliki nilai tiga sks. Dan dirasakan bersama, filsafat sejarah mampu membekali seorang calon sejarawan agar dapat kritis dan rasional. Bagaimana mungkin, ada sejarawan yang dungu dan percaya akan segala hal yang berbau klenik.
Biasanya, buku pengantar mata kuliah filsafat sejarah adalah Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-Pendapat Modern tentang Sejarah. Buku ini ditulis F.R. Ankersmit. Diterbitkan oleh Gramedia pada 1987 dan diterjemahkan oleh Dick Hartoko, buku tersebut dipakai bertahun-tahun oleh mahasiswa-mahasiswa sejarah di almamater saya. Karena lama sekali dipakai dan tidak dicetak ulang, saya sendiri hanya bisa mengopi buku itu.
Mungkin buku itu sudah ketinggalan zaman beberapa tahun ke belakang ini. Sudah banyak penerbit, kiranya, yang juga ikut menerbitkan buku-buku pegangan untuk mata kuliah filsafat sejarah. Saya merasa, banyak mahasiswa sejarah sekarang yang sudah lebih mudah mendapatkan buku-buku pengantar tersebut.
Syukurlah, Gramedia juga tidak tertinggal dalam hal itu. Pada 2007 lalu, Gramedia ikut menerbitkan buku pengantar yang baik untuk mata kuliah filsafat sejarah. Dan, setelah saya baca, ternyata jauh lebih menarik dan sungguh mengasyikkan dari Refleksi tentang Sejarah yang juga diterbitkan Gramedia pada 1987.
Buku yang saya maksud berjudul The Historian. Ditulis oleh Elizabeth Kostova. Dengan bahasa yang mudah, para pembaca, terutama seorang calon sejarawan, dibawa untuk menjadi kritis ketika menjadi seorang sejarawan betulan kelak. Ternyata, usaha Kostova saya nilai berhasil. Saya sendiri terenyuh dan kembali merenungi karir saya sebagai seorang sejarawan yang selama ini, bisa dikatakan, kurang kritis dan logis.
TUGAS SEJARAWAN
Menjadi sejarawan, bagi saya selama ini, seperti menjadi seorang tukang jaga arsip. Dan ini tentu saja salah. Entah kenapa, membaca The Historian, saya disadarkan kembali bahwa menjadi seorang sejarawan bukanlah gampang. Ada tanggung jawab moral yang besar. Jauh lebih besar dari sekedar mencari jutaan rupiah lewat proyek-proyek penelitian bersponsor.
Kostova membawakan contoh mudah dalam sebuah uraian perjalanan hidup seorang sejarawan. Ia seolah-olah ingin kita menyadari bahwa sejarawan harus seperti orang itu.
Lahir sebagai seorang laki-laki, Rossi, sang sejarawan itu, menyadari bahwa ia memiliki ketertarikan yang sangat pada sejarah. Hidupnya adalah sejarah. Lulus dari almamaternya, ia menekuni satu subjek ke satu subjek yang lain. Setiap ketertarikan yang muncul ia jelmakan menjadi sebuah penelitian pribadi dan tuntas dan sudah pasti tanpa sponsor penelitian. Vitalitas hidupnya tersalurkan lewat berbagai penelitian dan penulisan.
Dari hasil penelitian itu, ia bukukan dan meraih sukses besar di pasar para pembaca. Pada akhirnya, orang-orang mengenalnya sebagai seorang penulis yang cergas. Bahasanya enak dibaca dan, tentu saja, bahasan-nya perlu untuk diketahui. Ia dan buku-bukunya pun pada akhirnya mendunia.
Tidak berbeda dengan Rossi, Vlad adalah laki-laki yang mencintai sejarah. Bedanya, dengan vitalitas hidup yang tak padam-padam, ia terus lari dari kematian-kematian yang direncanakan oleh musuh besarnya, penguasa Turki. Ia pun tak sempat meneliti dan menulis.
Akan tetapi, dalam semua pelarian itu, ia sadar, ia harus hidup dan perlawanan pun harus dilakukan. Lebih dari itu, ia pun sadar, pengkhianatan, musuh dalam selimut dan jati diri sebagai manusia adalah sesuatu yang nyata. Ia belajar dari sejarah untuk menghindari itu semua.
Orang-orang yang mengenal dan mengaguminya berpendapat, Vlad adalah manusia yang tak menyerah pada kematian. Ia hidup dan menemani setiap napas yang mengiriringi seseorang ketika menyebut namanya. Ia sering dikagumi, sebagaimana banyak orang yang sering bergidik mendengar biografinya.
SEJARAH YANG TAK USAI
Agak sedikit aneh, ketika menyadari bahwa ada pribadi menarik lainnya yang dibawakan Kostova dalam buku ini. Helen adalah wanita yang memberikan hidupnya untuk mempelajari sejarah Vlad. Ia tentu saja tahu bahwa Vlad adalah sejarah yang tak pernah usai. Helen terdorong akan hal ini dari ibunya. Dalam kesederhanaan cara berpikir ibunya, Helen mesti tahu Vlad dan kalau bisa bertemu dengannya langsung.
Tanpa disadari semua, Rossi, sang sejarawan, mulai berubah ketika berkenalan dengan Vlad. Perkenalan itu dimulai dari hadiah yang diberikan Vlad, sebuah buku kuno. Buku itu menarik perhatian Rossi. Kualitas sampul, kertas, penjilidan, dan material buku memaksanya untuk terus memikirkannya. Dan satu yang pasti: buku itu tidak dibuat pada zamannya.
Sebagaimana kita tahu, pada dasarnya, seorang sejarawan adalah seorang pembaca buku yang baik. Kalau anda bertemu seseorang yang mengaku sejarawan, tapi ternyata seorang pembaca buku yang payah, ketahuilah, dia bukan sejarawan. Barangkali, ia adalah laki-laki yang menumpang di geladak sejarah. Atau, bisa jadi, ia seorang antikuariat yang konyol.
Perkenalan dengan Vlad membuat Rossi agak sedikit berantakan. Ia yang dulu tuntas dalam melakukan penelitian-penelitian, sekarang, payah dan menelantarkan penelitiannya hanya karena alasan-alasan yang tak masuk akal. Dan pertama kali dalam hidupnya, ia gagal menerbitkan sebuah buku. Memang, di luar penelitian dan penulisan, ia juga mengajar. Kebesaran namanya ternyata bisa dipertahankan lewat kuliah-kuliahnya yang menarik dan menantang rasa ingin tahu setiap mahasiswa.
Salah seorang mahasiswanya adalah Paul. Ia adalah laki-laki Amerika yang tertarik pada sejarah. Ia pun mengagumi Rossi. Baginya, tidak ada dosen yang seluar biasa Rossi. Kepercayaan, kedekatan pribadi, dan juga tanggung jawab sebagai seorang sejarawan memaksa Rossi untuk membagi alasan-alasan di balik perubahan yang terjadi pada dirinya. Dan Paul sejak saat itu sadar: menjadi sejarawan tidak seperti menjadi seorang tukang becak…
SEBUAH REFLEKSI
Terus terang, membaca The Historian memaksa kita mengunyah nada-nada murung yang ada dalam sejarah. Sejarah itu sendiri menarik. Bahkan, jauh lebih menarik dari mempelajari politik. Sejarah suatu bangsa mungkin saja melulu berupa sejarah politik. Tapi sesungguhnya jauh lebih luas daripada itu.
Dalam sejarah, kita bisa mengenal perjalanan sebuah pembalut wanita dan tentu ini masuk ke dalam sejarah fashion. Dalam sejarah kita pun dapat belajar dari seorang pembuat teh, sehingga kita tahu alasan Nugie di balik penggubahan lagu “Pembuat Teh.” Sejarah pun membuat kita bisa paham, apa arti menjadi seorang pelacur.
Saya yakin, anda akan bilang, saya terlalu mengada-ada. Tapi, terus terang, buat apa saya berbohong. Sejarah hari ini adalah sejarah tentang hal-hal yang remeh-temeh. Tentang beras, celana dalam, gaya rambut, sepeda tua, gudang pelabuhan, semua sekarang dikaji oleh sejarawan. Semua itu, bagi mereka, harus masuk ke dalam buku-buku sejarah.
Dalam semua itu, seseorang yang ingin menjadi sejarawan diajarkan untuk selalu berproses. Mencatat lalu mencatat dan terus mencatat, ia dituntut untuk tidak menyepelekan arti sebuah fakta kecil di depannya. Ia seolah diminta untuk selalu berkomentar secara tertulis atas sebuah penemuan fakta baru dan, ya, tanpa meninggalkan sikap kritis. Dari komentar-komentar tersebut, ia bisa mudah menganalisis. Kostova menekankan semua itu dalam bukunya.
Dan kesimpulannya, sejarah adalah lembaran-lembaran yang membutuhkan totalitas kita. Tanpa itu, rasanya, tak usahlah repot-repot menjadi seorang sejarawan. Sejarah luas dan kaya, sehingga tak bisa dibatasi oleh kategori-kategori tertentu. Apakah dengan demikian sejarah akan bukan lagi ilmiah? Saya katakan, ya. Tapi bisa juga, tidak. Semua kita yang mengusahakan dan barangkali juga dengan doa.