“The world is all that is the case. The world is the totality of facts, not of things. The world is determined by the facts, and by their being all the facts.
For the totality of facts determines what is the case, and also whatever is not
the case.”- Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus
Modernisasi adalah proses jadi modern, yang secara etimologis berasal dari kata Latin “modernus” berarti “sekarang”. Modernisme kerap dipahami sebagai sesuatu yang ada pada tataran konseptual (ideologi), sementara modernitas pada aras realitas praktis atau konkretisasinya.
Lalu, apa yang dimaksud dengan jaman modern? Secara historis modernisasi merupakan suatu proses perubahan menuju tipe sistem sosial, ekonomi dan politik yang telah berkembang pesat di Eropa Barat dan Amerika Utara sejak abad ke-17 sampai abad ke-19. Perkembangan ini menyebar pula ke negara Eropa lainnya, Asia, Amerika Latin dan Afrika. Sebetulnya titik berangkatnya adalah pola berpikir ilmiah yang dipicu oleh tokoh-tokoh abad renesans dan abad pencerahan (aufklaerung). Mereka menggeser paradigma mistis/teosentris ke arah paradigma antroposentris/kritis/fungsional.
***
Disiplin sosiologi (misalnya tulisan Prof.Soerjono Soekanto, 1970) mengajarkan bahwa syarat di mana suatu proses modernisasi bisa terjadi adalah jika – paling tidak – enam faktor ini terdeteksi:
Pertama, cara berfikir ilmiah dan terlembagakan dalam the ruling class maupun masyarakat. Hal ini mengandaikan suatu sistem pendidikan dan pengajaran yang terencana dan baik.
Kedua, sistem administrasi negara yang baik, yang sungguh mewujudkan birokrasi yang handal. Bukan rejim kleptokrasi yang seperti terjadi saat ini.
Ketiga, adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur yang terpusat pada suatu lembaga atau badan tertentu. Hal ini butuk kotninuitas penelitian agar data-datanya tidak kadaluarsa.
Keempat, penciptaan iklim yang kondusif dari masyarakat terhadap modernisasi dengan cara penggunaan alat-alat komunikasi massa. Hal ini harus dilakukan bertahap, karena banyak sangkut pautnya dengan sistem kepercayaan masyarakat (belief system).
Kelima, tingkat organisasi yang tinggi, yang di satu pihak berarti disiplin, sedangkan di lain pihak berarti pengurangan kemerdekaan.
Keenam, sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan ‘social planning’. Apabila hal itu tidak dilakukan, maka perencanaan akan terpengaruh oleh kekuatan dari kepentingan yang ingin mengubah perencanaan tersebut demi kepentingan suatu golongan.
***
Globalisasi yang merupakan proses perentangan jangkauan dan juga sekaligus pemadatan kegiatan seolah telah memaksa kita untuk seketika tercebur ke dalam proses modernisasi. Walaupun jika ditelaah satu persatu, keenam persyaratan modernisasi di atas belumlah cukup terealisasi secara memadai sebagai infrastruktur penopang proses modernisasi yang ideal.
Yang repot memang, tanpa melalui proses modernisasi yang sewajarnya, kita – saat ini – telah ramai dengan segala akitivitas dan hingar-bingar lompatan post-modernisme (pasca-modern). Masyarakat (utamanya masyarakat konsumen) jadi gagap dalam menyikapi gejala konsumerisme global. Catatan: bahkan untuk menstimulasi pertumbuhan, maka para pemimpin kita bersepakat untuk: meningkatkan konsumsi!
Pada umumnya, ditengarai kegagapan ini lantaran pola pikir dan ketidakbiasaan kita untuk berwacana secara kritis dan mendalam. Contoh soal, tatkala kita masuk dalam perdebatan yang berciri ideologis (misalnya diskursus soal Neolib baru-baru ini), dipaparkan oleh B. Herry-Priyono (Sesat Neoliberalisme, Kompas, 28 Mei 2009) bahwa bangsa kita pada umumnya gagap dalam bersikap lantaran kita tidak terbiasa berargumentasi dalam wacana yang bersifat ideologis dan filosofis (berpikir mendalam dan radikal).
Keluguan kitalah yang telah mengakibatkan pembiaran infiltrasi pola pikir fundamentalisme pasar yang mengukur segala sesuatunya berdasarkan kepraktisan untung-rugi. Olehnya kita banyak terjerumus untuk hanya peduli pada kiat-kiat praktis ekonomis (…jadi jutawan dalam semenit!). Seolah-olah ukuran sukses seorang manusia semata-mata adalah ukuran fulus.
Di sinilah fenomena corruptio-humana menjadi begitu telanjang, tapi anehnya kita tidak merasa malu (seperti kisah dongeng si raja bugil yang berlenggak-lenggok dengan bangga memamerkan ketelanjangannya). Budaya instan bagai virus yang menjalar kemana-mana. Jalan pintas (dengan menghalalkan segala cara) menjadi fakultas. Korupsi (berjamaah) menjadi tatanan nilai yang – celakanya – bisa diterima secara sosial!
***
Untuk melompat kita perlu mengambil ancang-ancang (posisi kaki kokoh, tapi lentur dan siap siaga serta fokus), artinya keenam syarat modernisasi itu perlu dikerjakan sungguh-sungguh dalam praksis keseharian. Supaya menjadi kebiasaan, dan kebiasaan itu menjadi karakter. Karena karakter inilah yang akan menentukan nasib bangsa ini. Jadilah mandiri, juga tuan di negeri sendiri. Sehingga kita tidak menjadi sekedar ‘imitatorum servum pecus’ (gerombolan pelayan yang hanya meniru-niru saja).
Jorganizer Sang Sejarawan