Presiden SBY pada tanggal 13 Nopember 2008 yang telah lalu, menerbitkan Keppres nomor 28 Tahun 2008. Keppres yang menugaskan Wakil Presiden sebagai pelaksana harian tugas-tugas Presiden.
Keppres tersebut diterbitkan, sehubungan dengan kunjungan kerja Presiden ke luar negeri, selama kurang lebih delapan hari, terhitung mulai tanggal 13 Nopember 2008 sampai dengan 26 Nopember 2008.
Wakil Presiden, saat itu dijabat oleh Jusuf Kalla, ditugaskan untuk melaksanakan tugas sehari-hari Presiden.
Penugasan dengan lingkup tugas yang sebagaimana dimaksudkan oleh Keppres nomor 8 Tahun 2000tentang penugasan Wakil Presiden melaksanakan tugas Presiden dalam hal Presiden sedang berada di luar negeri.
Di dalam Keppres tersebut, dijelaskan bahwa tugas Wakil Presiden sebagai pelaksana tugas Presiden itu antara lain meliputi memimpin sidang kabinet, memberi pengarahan pelaksanaan kebijakan kepada para menteri, melakukan koordinasi dengan pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, melantik Duta Besar berkuasa penuh Republik Indonesia, menerima tamu negara dan menerima surat kepercayaan dari Duta Besar pemerintah negara asing, dan tugas pemerintahan sehari-hari lainnya.
Lalu, pada tanggal 20 Nopember 2008, di kantor Wakil Presiden di gelar rapat kabinet terbatas yang dipimpin oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Sesuai dengan yang diamanatkan didalam Keppres tersebut, maka status dan posisi Wakil Presiden pada saat rapat itu digelar adalah sebagai pelaksana tugas Presiden.
Rapat tersebut dihadiri antara lain oleh Gubernur BI Boediono, Menkeu Sri Mulyani, Menperin Fahmi Idris, Meneg BUMN Sofyan Djalil, Kepala BKF Anggito Abimanyu, Staf Khusus Presiden urusan Timteng Alwi Shihab.
Pada rapat yang dipimpin oleh pelaksana tugas Presiden tersebut, antara lain dibahas juga mengenai situasi dan keadaan ekonomi nasional.
Selama rapat tersebut berlangsung, Boediono selaku Gubernur BI dan Sri Mulyani selaku Menteri Keuanganmerangkap Menteri Koordinator Perokonomian sekaligus sebagai Ketua KSSK, tidak menyampaikan bahwa keadaan ekonomi nasional Republik Indonesia lagi genting dan gawat serta mencekam akibat bahaya sistemik yang teramat sangat membahayakan bagi seluruh rakyat dan bangsa Indonesia. Dimana tingkat kegentingannya itu dapat membuat eksistensi negara Republik Indonesia terancam terpuruk sebagaimana pernah dialami di masa tahun 1998-an yang telah lalu.
Juga tidak disampaikan oleh Boediono maupun Sri Mulyani bahwa keadaan ekonomi negara yang luar biasagawat tersebut diakibatkan oleh sebuah bank yang bernama Bank Century.
Sebagaimana diketahui pula, pada rapat yang dipimpin oleh pelaksana tugas Presiden tersebut, baik itu Boediono maupun Sri Mulyani juga tidak menyampaikan bahwa kegawatan yang luar biasa hebatnya tersebut akan mampu diatasi hanya dengan memberikan obat mujarab bernama bailout, yaitu dengan memberikan kepada Bank Century berupa dana segar berujud uang tunai sebesar Rp. 6,7 Trilyun.
Hal-hal yang demikian itu oleh Boediono selaku Gubernur BI, maupun oleh Sri Mulyani selaku Menkeu merangkap Menko Perekonomian sekaligus Ketua KSSK, pada saat rapat itu tidak disampaikan kepada peserta rapat ataupun tidak dilaporkan kepada pelaksana tugas Presiden.
Selanjutnya, masih di hari yang sama, belum berganti hari, masih di tanggal yang sama, hanya berselang beberapa jam saja dari usainya rapat yang digelar di kantor Wapres sebagaimana tersebut diatas, yaitu masih sama-sama di tanggal 20 Nopember 2009, Boediono selaku Gubernur BI, maupun oleh Sri Mulyani selaku Menkeu merangkap Menko Perekonomian sekaligus Ketua KSSK, menggelar rapat tersendiri.
Rapat KSSK yang membahas keadaan ekonomi negara Republik Indonesia yang lagi genting dan gawat serta mencekam akibat bahaya sistemik yang teramat sangat membahayakan bagi seluruh rakyat dan bangsa Indonesia.
Dimana sebuah bank yang bernama Bank Century telah membuat tingkat kegentingan yang dapat membuat eksistensi negara Republik Indonesia terancam terpuruk sebagaimana pernah dialami di masa tahun 1998-an yang telah lalu.
Oleh sebab itu, maka menurut Boediono dan Sri Mulyani, untuk mengatasi negara yang dalam keadaan genting itu dibutuhkan adanya gelontoran dana sebesar Rp. 6,7 Trilyun kepada Bank Century.
Gelontoran dana sebesar Rp. 6,7 Trilyun kepada Bank Century tersebut, menurut Boediono dan Sri Mulyani, akan membuat Republik Indonesia menjadi tetap aman sejahtera dan terhindar dari mara bahaya yang luar biasa gawat sebagaimana disebutkan diatas tersebut.
Sungguh luar biasa, hanya dalam selang beberapa jam saja, apa yang disampaikan oleh Boediono dan Sri Mulyani di rapat siang harinya itu, langsung berubah hampir seratus delapan puluh derajat.
Ada perbedaan signifikan pada pemaparan keadaan negara antara yang disampaikan pada rapat di kantor Wakil Presiden dengan yang disampaikannya pada rapat KSSK yang tidak dihadiri oleh Wakil Presiden.
Ada apa dengan perubahan yang hanya berselang beberapa jam itu ?. Apakah keadaan Bank Century yang membahayakan negara itu baru saja terjadi setelah rapat di kantor Wapres tersebut usai ?.
Ada apa ini ?. Apakah keadaan negara yang gawat akibat Bank Century itu tidak boleh disampaikan atau tidak boleh diketahui oleh Wakil Presiden sebagai pelaksana tugas Presiden berdasarkan mandat dari Keppres nomor 28 Tahun 2008 tersebut ?.
Ataukah, Boediono dan Sri Mulyani memang sengaja merancang agar rencana bailout Bank Century ini tidak diketahui oleh Wakil Presiden yang saat itu dijabat oleh Jusuf Kalla ?. Mengapa Boediono dan Sri Mulyani sengaja membuat agar Jusuf Kalla tidak mengetahui rencana bailout Bank Century ini ?.
Ada misteri apa yang disembunyikan oleh pihak Boediono dan Sri Mulyani dari penglihatannya pihak Jusuf Kalla ?. Agenda apa yang sedang direncanakan oleh pihak Boediono dan Sri Mulyani yang berkaitan denganpihak Jusuf Kalla ?.
Sebagaimana diketahui, kemudian oleh Boediono dan Sri Mulyani, kepada Bank Century ini dikucurilah dana sebesar Rp. 6,7 Trilyun.
Perkembangan selanjutnya, pada pasca Bailout Century ini, saat menjelang Pilpres 2009, Jusuf Kalla(Golkar) pun lalu ditampik dan diceraikan sebagai Cawapres oleh Presiden SBY, dan Hidayat Nur Wahid(PKS) juga tidak lagi diminati oleh Presiden SBY sebagai Cawapresnya, serta Hatta Rajasa (PAN) juga dibatalkan nominasinya oleh Presiden SBY sebagai Cawapres hanya beberapa jam sebelum Deklarasi Sabuga.
Ujung-ujungnya, Boediono lalu dinobatkan sebagai Cawapres mendampingi Presiden SBY.
Adakah hubungan benang merah antara bailout Century yang digagas oleh Boediono dan Sri Mulyani ini dengan rangkaian peristiwa yang akhir ujungnya membawa Boediono sebagai Cawapresnya Presiden SBY ?.
Adakah bailout Century ini causa prima dari tergesernya Jusuf Kalla, dan Hidayat Nur Wahid, serta Hatta Rajasa sebagai nominator Cawapresnya Presiden SBY ?.
Apakah boleh dikatakan bahwa bailout Century ini adalah tiketnya Boediono menuju ke nominasi Cawapresnya Presiden SBY ?.
Ataukah, Boediono memakai bailout Century ini sebagai alat pemaksa kepada Presiden SBY agar dirinya dijadikan Cawapresnya ?.
Dalam kata lain, Presiden SBY disandera dan dipaksa oleh Boediono dengan bailout Century ini, sehingga mau tidak mau atau suka tidak suka Presiden SBY harus menuruti keinginan Boediono agar dijadikan Cawapresnya ?.
Jika dan andai semua itu benar, maka sungguh luar biasa, Boediono dan Sri Mulyani ternyata bukan hanya pakar di bidang dunia ilmu ekonomi saja, namun juga pakar di bidang dunia ilmu politik..
Dimana Profesor Boediono berkolaborasi dengan Doktor Sri Mulyani melalui bailout Century ini ternyata telah mampu membuat tersandera Presiden SBY.
Boediono seorang guru Besar ilmu ekonomi, berkerjasama dengan Sri Mulyani pakar ekonomi jebolan IMF, yang melalui sebuah langkah manis nan cerdik berupa bailout Century, ternyata telah mampu membuat tak berkutik Presiden SBY yang pada dasawarsa ini merupakan sosok digdaya sakti mandraguna tanpa tanding di dunia politik Indonesia.
Terlepas dari entah benar ataupun tak benar ada kaitan benang merah antara bailout Century dengan penominasian Boediono sebagai Cawapres oleh Presiden SBY.
Namun yang jelas Boediono yang semula adalah Menko perkonomian lalu bergeser ke Gubernur BI ini telah sukses menggeser Jusuf Kalla dan Hidayat Nurwahid serta Hatta Rajasa dari nominasi Cawapresnya Presiden SBY di Pilpres 2009 lalu.
Selanjutnya saat ini, Boediono berhasil menjadi Wakil Presiden untuk periode masa jabatan 2009-2014.
Di sisi lain, pasca bailout Century, Darmin Nasution yang semula Sekretaris KSSK kemudian menjadi Deputi Senior Gubernur BI. Selanjutnya, menjadi Gubernur BI menggantikan Boediono yang dilantik sebagai Wakil Presiden.
Hanya tinggal Sri Mulyani saja, pasca bailout Century ini yang masih belum beranjak mendapatkan promosi kenaikan jabatan dari jabatannya yang semula.
Sri Mulyani masih tetap berada di pos Menteri Keuangan. Bahkan boleh dibilang ada sedikit penurunan, posisi Menko Perekonomian yang semula sempat dirangkapnya, saat ini digeser dan dijabat oleh Hatta Rajasa.
Apakah Sri Mulyani tidak pantas jika ditempatkan sebagai Menko perekonomian ?.
Apakah itu berarti menandakan bahwa Sri Mulyani asalkan tidak reshuffle sudah cukup puas dengan jabatannya yang sekarang ini ?.
Ataukah, sesungguhnya Sri Mulyani secara diam-diam sesungguhnya justru sedang meretas jalan dengan mempersiapkan berbagai agenda agar dapat dinominasikan menjadi Cawapres di Pilpres tahun 2014 mendatang ?.
Sebagaimana diketahui, Profesor Boediono dikenal sebagai ahli ekonomi, demikian pula dengan Doktor Sri Mulyani.
Sebagaimana diketahui pula, professor Boediono pasca kebijakan bailout Century yang lalu, pada saat ini berhasil menjadi Wakil Presiden 2009-2014.
Maka, sungguh menarik mengamati dan menanti perkembangan karier dan jabatan negara bagi Sri Mulyani di masa mendatang, termasuk posisinya di konstelasi politik pada pilpres tahun 2014 yang akan datang.
Bukan tak mungkin, di pilpres tahun 2014 mendatang itu banyak para tokoh politik akan tertarik dan ingin menggandeng Sri Mulyani sebagai pasangannya.
Tak tertutup kemungkinan duet yang menggabungkan Hatta Rajasa sebagai Capres dengan Sri Mulyani sebagai Cawapresnya. Atau, bahkan bisa jadi justru terwujud duet sipil-militer dengan Sri Mulyani sebagai Capresnya dan Safrie Syamsuddin sebagai Cawapresnya.
Akhirulkalam, sekiranya demikian, maka melalui agenda kebijakan apa yang akan dipakai untuk membawa Doktor Sri Mulyani meretas jalannya menuju ke kursi Wakil Presiden 2014-2019 nantinya ?.
Wallahulambishshawa b.
*
Catatan kaki :
Artikel lainnya yang berjudul : “SBY Penanggungjawab Skandal Century ?” dapat dibaca dengan mengklik disini , “Marsilam ‘Robert’ Simanjuntak” dapat dibaca dengan mengklik di sini , “Bali berlanjut ke Century” dapat dibaca dengan mengklik di sini , “Sri Mulyani Algojo bagi Golkar” dapat dibaca dengan mengklik di sini, “Rekayasa Data Century ?” dapat dibaca dengan mengklik di sini , “LPS : Lembaga Pembailout Bank atau Penjamin Simpanan Nasabah Bank ?” dapat dibaca dengan mengklik di sini , “Skema Aliran Dana (andai) Century tidak Dibailout” dapat dibaca dengan mengklik di sini , “Bank Century, Seberapa Sistemik ?” dapat dibaca dengan mengklik di sini , “Sisi Lain Century Yang Tak Kukenal” dapat dibaca dengan mengklik di sini, “Biarkan Maling Beraksi, Upsss…Salah… ‘Biarkan Maling Beraksi !’…” dapat dibaca dengan mengklik di sini , “Aira Yudhoyono dan Skandal Bank Century” dapat dibaca dengan mengklik
di sini .
*
" Sri Mulyani, Wapres 2014-2019 " :
http://polhukam. kompasiana. com/2010/ 01/25/sri- mulyani-wapres- 2014-2019/
*
Pansus Hak Angket Skandal Bank Century akan segera memintakan perlindungan saksi kepada LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) agar memberikan perlindungan bagi mantan Direktur BI (Bank Indonesia) Zainal Abidin.
Perlindungan itu dimintakan terkait dengan kesaksian Zainal Abidin perihal rapat yang diselenggarakan oleh BI pada tanggal 13-Nopember- 2008.
Zainal Abidin, yang sebulan pasca rapat itu dilengserkan dari jabatan direktur dan dimutasikan ke jabatan fungsional sebagai peneliti, telah memberikan kesaksian di depan Pansus yang sangat bisa jadi dengan kesaksiannya itu akan menjadi awal dari mulai terbukanya sedikit demi sedikit tabir misteri yang selama ini menyelimuti skandal bailout Bank Century.
Suasana rapat BI pada tanggal 13-Nopember- 2008, yang dihadiri antara lain oleh Boediono dan Miranda Goeltom itu diliputi oleh isak tangis dari Siti Fajrijah, mantan Deputi Pengawasan BI.
Materi rapat penting itu antara lain membicarakan rencana pemberian FPJP (Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek) kepada Bank Century.
Peserta rapat terbelah ke dalam dua kelompok, ada kelompok yang ingin membant Bank Century dengan FPJP itu dengan alasan CAR (Capital Adequacy Ratio) atau Rasio Kecukupan Modal yang tidak perlu lagi mengacu kepada angka tertentu tetapi cukup dengan CAR yang positif saja.
Namun, ada pula kelompok yang tetap berpegang kepada aturan pemberian FPJP yang mensyaratkan CAR minimal harus 4%-5%.
Kesaksian perihal terbelahnya pendapat para pemimpin BI di dalam rapat perihal syarat minimal CAR terkait rencana BI memberikan FPJP kepada Century tersebut, sangat bisa jadi ada kaitan eratnya dengan kebijakaan BI yang kemudian merubah aturan persyaratan CAR.
Ini menimbulkan aroma dan indikasi kuat bahwa perubahan yang dilakukan BI tersebut, memang dilakukan oleh pimpinan BI semata-mata hanya berdasarkan pertimbangan dan kepentingan untuk memuluskan rencana melakukan bailout terhadap Bank Century.
Selain kesaksian tersebut diatas, dalam pemeriksaan Pansus terhadap mantan Direktur BI tersebut, ditemukan beberapa fakta yang membuat Wakil Ketua Pansus menyimpulkan bahwa ada indikasi kuat yang bernuansa tekanan dari Kementerian Keuangan terhadap BI perihal rencana bailout Bank Century.
Akankah itu merupakan awal dari semakin terkuaknya kebenaran tentang bailout Bank Century yang selama ini dicoba ditutupi dan disembunyikan ?.
Semoga pepatah kuno, becik ketitik olo ketoro, masih bisa mewujud di zaman yang disarati oleh paham neoliberal dan globalisasi pasar bebas ini.
Wallahualambishshaw ab.
*
" Kontroversi 13-Nopember- 2008 " :
http://polhukam. kompasiana. com/2010/ 01/09/kontrovers i-13-nopember- 2008/
*
Susno Duaji, perwira tinggi bintang tiga yang mantan Kepala Bareskim (Badan Reserse Kriminal) Mabes Polri, kembali menghentak.
Beberapa saat yang lalu, dimana pihak Polri lagi getol-getolnya membidik para petinggi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Susno mengeluarkan istilah yang kontroversial, Cicak versus Buaya.
Celetukan istilah yang menjengkelkan publik itu, suka tidak suka harus diakui telah mendatangkan berkah, berupa sebab awal dan wasilah dari gagalnya upaya kriminalisasi terhadap dua petinggi KPK, Bibit dan Chandra.
Celetukan Susno yang menghebohkan itulah awal pemicu membesarnya kontroversi. Selanjutnya, kontroversi itu membuat kesadaran publik menjadi terbangkitkan
Kesadaran yang mengakibatkan liputan jurnalis media massa dan pengawasan publik menjadi lekat tak terpalingkan atas jalannya proses kriminalisasi yang dilakukan terhadap kedua petinggi KPK itu.
Waskat (Pengawasan Melekat) dari jurnalis media massa dan publik itu, membuat ruang gerak Polri menjadi terbatas. Dan, gerak gerik serta langkah Polri pun menjadi serba salah. Sehingga menguak beragam ketidak beresan dan kejanggalan yang terjadi dalam kasus ini.
Lalu, setelah melalui proses tarik ulur yang memakan waktu cukup panjang dengan melibatkan gerakan tekanan opini masyarakat, akhirnya kedua petinggi KPK itu dibebaskan dari tuduhan melakukan pemerasan dan menerima uang suap.
Usai redanya kehebohan kasus Skandal Kriminalisasi terhadap para petinggi KPK itu, Susno kembali menghentak.
Ia hadir sebagai saksi yang meringankan bagi Antasari Azhar. Mantan Ketua KPK ini dituduh menjadi otak dan dalang pembunuhan terencana atas diri Nasarudin Zulkarnaen.
Kesaksiannya membeberkan adanya ketidaklaziman hirarki saat Mabes Polri sedang dalam proses pencarian motif yang dapat dituduhkan kepada Antasari Azhar.
Sebenarnya, jika ditilik dari subtansi isi kesaksiannya itu, bisa jadi sebenarnya Susno memberikan sinyal tersamar yang memberikan gambaran indikasi adanya ketidak beresan dalam penanganan kasus Antasari azhar. Semacam ketidak beresan serupa yang pernah terjadi di kasus Bibit dan Chandra.
Namun, hentakan dari Susno kali ini tidak membuat publik menjadi heboh.
Ketidak hebohan publik itu, bisa jadi dikarenakan publik lelah. Energi publik telah terkuras setelah sekian lama mengarungi pertarungan panjang selama berlangsungnya kasus upaya kriminalisasi terhadap Bibit Chandra.
Energi yang terkuras itu, membuat publik kehilangan selera dan tak berminat terhadap umpan yang telah digulirkan oleh Susno tersebut.
Atau, bisa jadi juga karena publik mempunyai persepsi dan cara pandang yang berbeda dalam melihat antara kasus Bibit dan Chandra dengan kasus Antasari Azhar.
Perbedaan yang bisa jadi lantaran kasus Antasari merupakan kasus pembunuhan yang diwarnai dengan adanya drama selingkuh esek-esek yang melibatkan Rani Juliani, caddy golf sekaligus istri kedua korban pembunuhan.
Namun, ketidak hebohan itu tidak berlangsung lama. Lantaran selepas kehadirannya sebagai saksi itu muncul peristiwa dimana Mabes Polri mengerahkan sepasukan anggota dentasemen elit anti terorisme, Densus 88, untuk menarik fasilitas-fasilitas yang pernah diberikan kepadanya.
Publik dan media massa kembali terhebohkan, lantaran Susno melakukan perlawanan terhadap Mabes Polri yang mempersalahkan kehadirannya sebagai saksi di sidang antasari itu, tanpa meminta persetujuan dan izin dari Kapolri.
Kontroversi berlanjut dengan munculnya beberapa kiriman via SMS ke telepon selulernya yang berisikan ancaman pembunuhan terhadapnya maupun juga terhadap isteri dan anak serta cucunya.
Namun kehebohan publik terhenti lagi, lantaran Susno malahan tiarap. Beberapa lama Susno menghindar dari sorotan media, dan menghilang dari liputan berita.
Susno muncul lagi saat memberikan kesaksian dan testimoninya di hadapan sidang Panitia Khusus Hak Angket DPR tentang kasus Skandal Bailout Bank Century.
Kehadirannya itu memang sudah ditunggu-tunggu. Lantaran pada pasca LPS mengucurkan dananya ke Bank Century, saat itu Susno masih menjabat sebagai Kabareskrim, pernah menerbitkan surat berkait dengan pencairan uang deposito milik Boedi Sampoerno sebesar kurang lebih USD 18.000.000 yang ada di Bank Century.
Kali ini Susno memang kembali menghentak. Didalam kesaksiannya, Susno mengungkap bahwa penangkapan Robert Tantular itu atas perintah langsung dari Kapolri.
Dimana pada waktu sebelumnya, Kapolri diperintahkan oleh Jusuf Kalla yang waktu itu masih menjabat sebagai Wakil Presiden.
Anehnya, pada saat yang sama, pihak BI (Bank Indonesia) justru berpandangan bahwa perintah penangkapan itu belum cukup bukti.
“Menurut pandangan BI belum cukup bukti, hampir semua peserta rapat bilang begitu. Saya katakan, kalau bukti tidak cukup akan dilepaskan. Saya meminta, tim BI datang malam itu, tapi tidak datang”, kata Susno Duaji.
Disamping itu, ia juga memberikan kesaksian bahwa penarikan uang sebesar Rp. 35.000.000.000 di kantor cabang Century Makasar atas izin kepala cabangnya, padahal dana itu sudah diblokir. Juga ada seorang sopir taksi di bilangan Ciputat Jakarta yang mempunyai dana sampai sebesar Rp. 200.000.000. 000.
Dijelaskannya bahwa kasus di Makasar itu pada saat ia masih menjabat, baru dalam tahap awal pemeriksaan. Sementara nasabah di Ciputat baru diketahuinya belakangan ini.
“Nasabah Bank Century di Ciputat baru belakangan terungkap. Rekening yang dibekukan banyak sekali. Yang di Ciputat sopir taksi, saya tidak bisa memberi penjelasan di sini, bukan menghindar, tapi betul-betul tidak tahu”, kata Susno Duadji.
“Tapi kalau dua fenomena ini, merupakan orang yang tidak berhak menerima dana sebesar itu, tapi diterima ini jelas modus tapi perlu diperdalam, perlu pembuktian lagi”, tambah Susno Duadji.
Susno juga memberikan kesaksian bahwa ada surat dari Rafat Ali Rifi dan Hisyam Al Waraq, mantan pemilik Bank century, yang isinya menyatakan keinginan kedua pemilik itu untuk mengganti kerugian Bank Century dan uang negara yang digunakan untuk menyelamatkan bank tersebut.. .
Kemudian pada tanggal 3 Juni 2009, surat itu diserahkannya kepada Sri Mulyani selaku Ketua KSSK.
Posisi dana LPS ke Bank Century pada tanggal 3 Juni 2009 sudah mencapai Rp 6.1 trilyun.
Anehnya, surat yang hakikat isinya akan membebaskan negara dari kehilangan uang akibat melakukan blanket guarantee terhadap bank century itu oleh Sri Mulyani justru sama sekali tidak direspon dan ditanggapi sebagaimana mestinya.
“Yang namanya kesaksian, itu bisa saja dikonfrontir. Tidak masalah, karena saya memang menyerahkan dua kali kepada Bu Sri Mulyani soal surat itu. Bu Sri Mulyani, pasti mengakui itu”, kata Susno Duaji menegaskan tentang kesaksiannya itu.
Disamping itu, Susno juga membagi-bagikan draft bakal buku yang akan diterbitkannya. Draft tulisannya itu diberinya judul ‘Bhayangkara Sejati, Setia dan Loyal’.
Di dalam dokumen draftnya itu antara lain berisikan tentang skema aliran dana Robert Tantular dan kawan-kawannya, dokumen data dana di dalam maupun di luar negeri yang dibekukan, salinan surat Hisyam Al Faraq dan Rafat Ali tentang kesediaan untuk mengembalikan dana Bank Century, serta dokumen-dokumen lainnya.
Bahkan ada menyinggung sedikit tentang kasus upaya kriminalisasi terhadap Bibit dan Chadra. Juga tentang kasus Antasari Azhar.
Menariknya, ada juga yang menyebutkan bahwa Bareskrim tidak memprioritaskan kasus Skandal Bailout Bank Century yang diduga melibatkan mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono.
Bahkan, kasus ini pernah dihentikan sementara waktu karena Boediono tengah mengikuti pemilu presiden dan wakil presiden.
‘Ada di antara anggota KSSK saat itu yang sedang mengikuti Pemilu Wakil Presiden, kemudian menang, sehingga menunggu pelantikan Wakil Presiden, yang tentunya kalau langsung disidik akan terjadi kehebohan. Walaupun sebenarnya untuk membuktikan adanya korupsi dalam penyertaan PMS dari LPS senilai Rp 6,762 triliun ke Bank Century tidak terlalu sulit’, begitu yang tertulis didalam dokumennya itu.
Demikianlah hentakan hentakan yang terbaru dari Susno Duadji.
Umpan telah diberikan, lalu, akankah menjadi sebab awal dan wasilah bagi semakin terkuaknya dan terbongkarnya ketidak beresan diseputar kasus Skandal Bailout Bank Century, sebagaimana dulu pernah terjadi di kasus Skandal Kriminalisasi terhadap petinggi KPK ?.
Atau, bola umpan itu akan tersia-siakan lagi, sehingga, Susno Duadji pun akan kembali terpaksa tiarap lagi ?.
Wallahualambishshaw ab.
*
Artikel lainnya :
* ‘Susno Duadji, The Dangerous Man‘ dapat dibaca dengan mengklik di sini
* ‘Susno Duadji sedang Main kartu Truf ?‘ dapat dibaca dengan mengklik di sini
* ‘Dwifungsi Polri‘ dapat dibaca dengan mengklik di sini
* ‘Rekayasa Data Century ?‘ dapat dibaca dengan mengklik di sini
* ‘Siapa saja Penerima dana Century ?‘ dapat dibaca dengan mengklik di sini
* ‘Marsilam ‘Robert’ Simanjuntak ‘ dapat dibaca dengan mengklik di sini
* ‘Sri Mulyani, Wapres 2014-2019‘ dapat dibaca dengan mengklik di sini
* ‘Andai Wapres Diganti’ dapat dibaca dengan mengklik di sini
* ‘SBY Penanggungjawab Skandal Century’ dapat dibaca dengan mengklik di sini
*
" Bola Umpan dari Susno Duaji " :
http://polhukam. kompasiana. com/2010/ 01/27/bola- umpan-dari- susno-duaji/
*
saat pak beye pergi, saya yakin, indonesia tidak sedang dalam ancaman krisis apalagi jika dikategorkan sistemik.
berdasarkan pergumulan saya dengan pak beye, pak beye adalah orang yang terukur dan terencana untuk setiap gerak tangan, ujaran, apalagi tindakannya.
lagi pula, kalau ancaman krisisnya memang begitu hebat, pak beye tidak akan pergi ke amerika serikat dan amerika latin yang menyita waktu demikian lama..
anda pasti masih ingat tanggalnya. ya, 13-26 november 2008, rentang waktu krusial bagi keputusan talangan dana untuk bank century.
kalau pun ternyata sudah pergi, kenapa pula pak beye tidak segera kembali kalau ‘ancaman krisis’ itu begitu ‘sistemik’ seperti kerap digambarkan selama ini.
bukankan urusan dalam negeri lebih penting dan lebih utama daripada berlama-lama di luar negeri.
pulang kembali ke tanah air setelah terlanjur pergi ke luar negeri bukan hal tabu..
pak beye pernah minta pak kalla kembali dari china karena alasan melonjaknya nilai tukar rupiah terhadap dollar amerika.
karena permintaan itu, pak kalla ‘membatalkan’ rencananya pergi ke jepang dalam satu rangkaian kunjungannya ke china.
untuk mengingatkan anda situasinya, saat pak kalla harus kembali, akhir agustus 2005, rupiah terpuruk ke posisi Rp. 10.876 per dollar. nilai tukar rupiah sudah anjlok 11,27 persen sejak awal agustus 2005. sepanjang 29 agustus 2005, rupiah turun 4,77 persen. posisi terbaik rupiah di era pak beye adalah Rp. 8.937,5 per dollar AS yang terjadi 9 november 2004. selain itu, indeks harga saham gabungan di bursa efek jakarta yang rutin dibuka pak beye menembus level psikologis di bawah 1.000 poin.
karena alasan ini, pak beye kemudian memanggil pulang pak kalla.
pak kalla yang baru dalam perjalanan menuju china tersenyum seperti biasanya. karena hanya pembantu, pak kalla patuh dan kemudian pulang setelah mendarat dan berkegiatan di china alakadarnya. rencana bermain golf di jepang dengan petinggi toyota tinggal rencana.
setelah pulang, ekonomi kemudian perlahan-lahan dapat dikendalikan. harga tinggi untuk bahan bakar minyak tidak bisa ditekan untuk membuat keseimbangan baru.
kembali ke saat pak beye pergi di saat keputusan dana talangan bank century diambil.
kekhawatiran akan terjadinya krisis apalagi yang berdampak sistemik ternyata tidak ada sejauh ingatan saya.
pak hatta rajasa yang mendampingi pak beye ke amerika mengemukakan, pak beye terus mendapat laporan dan berkomunikasi dengan gubernur bank indonesia pak boediono mengenai situasi perbankan dalam negeri.
malam hari, 13 november 2008, dari dalam pesawat kepresidenan airbus 300-330 yang baru bertolak dari tokyo menuju san fransisco itu, pak hatta mengemukakan, “tadi, ketika transit di bandara internasional narita, tokyo, presiden mengadakan komunikasi dengan wapres, gubernur bi, dan menteri keuangan yang sedang berada di washington. gubernur bi dari Jakarta melaporkan bahwa situasi perbankan baik.”
terkait dengan kepergian pak beye di saat dikucurkannya talangan untuk bank century itu, pak hatta yang waktu itu menjadi menteri sekretaris negara mengatakan, pak beye selalu mendapat laporan dan berkomunikasi dengan jajaran pemerintah di tanah air. juga terus berkomunikasi dengan pak kalla. lebih lanjut, pak hatta berkata-kata seperti dikutip di situs pak beye, “presiden keep on touch dan memberikan arahan-arahan yang diperlukan.”
jadi, di mana ancaman krisis sistemiknya ya ?.
pak hatta mengatakan berdasarkan laporan pak boediono ke pak beye, situasi perbankan baik seperti saya kutipkan di atas.
tidak tahu kalau dalam beberapa hari kemudian, situasi berubah. namun, meskipun berubah situasinya karena kemungkinannya juga ada, hal itu tercermin dari keterangan-keterang an pak beye selama di luar negeri.
dalam pidato pada sesi ke-7 apec ceo summit 2008 di auditorium departemen pertahanan, lima, peru, 21 november 2008, pak beye justru bercerita tentang krisis politik. berikut saya kutipkan ujarannya, “kami di indonesia telah mengalami banyak krisis politik dan meraih kesempatan. pada setiap titik krisis dalam sejarah, kami telah memilih pengharapan dibanding keputus-asaan.”
sekali lagi, di mana krisis yang katanya berdampak sistemik itu ?.
atau krisis yang katanya demikian dahsyat itu dirahasiakan untuk kemudian ditangani sendiri seperti sekarang ?.
anda yang tahu, silahkan saya yang dungu ini dibantu.
yang saya tahu, saat pak beye pergi, tidak ada krisis. apalagi yang dikatakan berdampak sistemik untuk perekonomian indonesia.
kalau ada krisis, pak beye pasti tidak akan pergi. kalau terlanjur sudah pergi, pasti kembali.
salam pergi.
*
" saat pak beye pergi " :
http://polhukam. kompasiana. com/2010/ 01/15/saat- pak-beye- pergi/
*
Kasus bailout bank Century yang berbuntut kasus ini menimbulkan banyak pertanyaan di masyarakat.
Diantaranya adalah soal seberapa besar resiko sistemis dari bank Century ?.
Mengapa dari Rp. 1,3 Trilyun bisa membengkak menjadi Rp. 6,7 Trilyun ?.
Mengapa harus di Bailout ?.
Apakah jika tidak dibailout maka nasabah bank Century akan kehilangan uangnya ?.
Mengapa BI (Bank Indonesia) sebagai pemberi rekomendasi bailout kok malahan terkesan diam saja ?.
Mengapa saat memberikan rekomendasi itu pimpinan BI tidak menyampaikan adanya fraud di bank Century ?.
Apakah itu berarti pimpinan BI sengaja akan mengumpankan Menkeu sebagai tumbal dari kasus ini ?.
Dan, masih banyak lagi pertanyaan-pertanya an lainnya yang menyelimuti kasus ini.
Berikut ini adalah copy paste dari sebuah artikel berjudul ‘Risiko Sistemis Bank Century’ yang membahas perihal bagaimana sebenarnya indikator-indikator teknis yang menjadi alasan untuk memperlakukan Bank Century sebagai bank yang memiliki risiko sistemis sehingga perlu diselamatkan itu.
Jika indikator teknisnya tak mendukung alasan penyelamatan bank Century ini, maka penyelamatan ini jelas bukan karena bank Century adalah too big to fail tapi karena too important to fail.
Untuk kepentingan siapa bank ini diselamatkan? untuk kepentingan rakyat ?.
Untuk itu maka diucapkan selamat membaca !.
*
Alasan utama pemerintah meminta LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) untuk menyelamatkan Bank Century adalah bank tersebut memiliki risiko sistemis.
Artinya, kalau saja tidak diselamatkan, justru akan memicu kegagalan di bank-bank lainnya secara serial.
Yang hendak dikatakan oleh pemerintah adalah bahwa penyuntikan dana senilai Rp 6,7 triliun ke Century, tidak melulu ditujukan untuk menyehatkan kembali bank tersebut, tetapi juga terutama untuk menghindari bencana finansial yang lebih besar.
Benarkah?
Menteri Keuangan dalam beberapa kesempatan mengungkapkan bahwa bahaya risiko sistemis timbul karena bank tersebut memiliki jumlah nasabah yang lumayan banyak, yakni sekitar 65 ribu orang. Selain itu, ada sekitar 23 bank yang berpotensi terseret krisis kalau Bank Century dilikuidasi. Sistem pembayaran juga bisa terancam macet.
Supaya bisa objektif dalam menilai apakah alasan Menteri Keuangan tersebut secara logika dapat diterima, mari kita lihat data dan fakta sebenarnya.
Sebelum ditalangi oleh LPS, data keuangan yang tersedia adalah laporan keuangan bulan Oktober 2008.
Pastinya, laporan ini yang menjadi dasar pengambilan keputusan dalam rapat KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan).
Pada waktu itu, total aset bank tersebut adalah sekitar Rp. 15 triliun, tak lebih dari 0,75 persen dari total aset perbankan.
Jumlah nasabah yang 65 ribu orang itu hanya sekitar 0,1 persen dari total nasabah perbankan.
Begitupun total dana pihak ketiga yang terkumpul sekitar Rp. 10 triliun atau tak sampai satu persen dari total simpanan masyarakat yang tertampung di semua bank.
Dari data di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa Bank Century merupakan bank yang relatif kecil.
Dan, kalangan akademisi di negara mana pun tak akan menilai bahwa bank tersebut dapat menimbulkan risiko sistemis..
Biasanya, hanya bank-bank yang masuk kategori 10 besar yang dianggap too big to fail.
Lagi pula, penjaminan simpanan telah mencakup nilai maksimum sebesar Rp. 2 miliar sehingga praktismayoritas nasabah sebenarnya sudah terlindungi oleh LPS.
Memang Bank Century memiliki kerentanan terhadap paniknya nasabah besar yang tidak dijamin oleh LPS.
Bahkan, ada satu nasabah yang simpanannya berada di atas Rp. 2 triliun. Bila nasabah seperti ini panik, bank langsung mengalami kesulitan likuiditas.
Pemerintah pada saat itu sangat mengkhawatirkan kesulitan yang sama akan merembet ke bank-bank, yang satu kelas dengan Bank Century dan jumlahnya ada sekitar 18 bank.
Kekhawatiran seperti itu bisa jadi benar, tapi juga bisa salah.
Persoalannya adalah pemerintah mengasumsikan bahwa karakteristik nasabah Century dengan bank lainnya adalah sama.
Nasabah kakap yang terjerat di Century pada umumnya memiliki hubungan personal dengan manajemen dan pemilik tersebut. Di bank lain, belum tentu seperti itu.
Lagipula, masalah yang menyebabkan Century dinyatakan sebagai bank gagal adalah murni tindak criminalpenipuan perbankan.
Kalau karakteristik masalah yang dihadapi Century dengan bank lainnya berbeda, gagalnya Century tidak serta-merta menimbulkan kepanikan bank lainnya.
Bank Century juga pada saat itu tidak menimbulkan risiko kebangkrutan serial karena kewajiban antar banknya hanya sekitar Rp. 750 miliar.
Artinya, bank ini tidak memiliki potensi untuk menimbulkan kolapsnya sistem pembayaran.
Lagipula, bank ini memiliki jumlah cabang yang relatif tidak masif, seperti bank-bank besar sekelas Mandiri atau BRI.
Efeknya terhadap kelancaran transaksi masyarakat relatif minimum.
Dari indikator-indikator teknis di atas, hampir tak ada alasan untuk memperlakukan Bank Century sebagai bank yang memiliki risiko sistemis sehingga perlu diselamatkan.
Alasan penyelamatan bank ini jelas bukan karena too big to fail. Mungkin alasan sebenarnya adalah too important to fail.
Dengan kata lain, bank ini bagi sebagian pihak terlalu penting untuk dibiarkan kolaps.
Pertanyaannya untuk kepentingan siapa bank ini diselamatkan ?.
Yang jelas bukan untuk kepentingan rakyat. Mungkin untuk kepentingan para deposan kakap yang uangnya tertanam sampai triliunan rupiah.
Mereka merupakan kelompok kecil yang bisa dihitung dengan jari, tapi memiliki koneksi yang kuat terhadap kekuatan politik.
Kalau sinyalemen seperti di atas benar, keputusan yang melatarbelakangi penyelamatan bank tersebut tidak sepenuhnya didasarkan pada pertimbangan profesional. Kepentingan pemodal besar yang justru dilindungi oleh KSSK.
Kalau begini caranya, kapan negara kita berubah ?.
*
Catatan Kaki :
Artikel berjudul ‘Risiko Sistemis Bank Century’ yang ditulis oleh Iman Sugema dapat dibaca langsung pada sumbernya dengan mengklik disini
*
" Bank Century, Seberapa Sistemis ? " :
http://umum. kompasiana. com/2009/ 09/07/bank- century-seberapa -sistemis/
*
Ketika memberi penjelasan di depan Pansus DPR, 22 Desember 2009, Budiono bertindak layaknya seorang professor yang memberi kuliah kepada mahasiswanya.
Dalam pertemuan tersebut, perdebatan telah ‘dikunci‘ pada persoalan efek sistemik kalau seandainya Bank Century tidak diselamatkan.
Tidak satupun anggota DPR yang mempertanyakan; apakah model penyelamatan bailout merupakan kebijakan tepat atau salah ?.
Ini terjadi bukan saja karena menganggap Budiono menguasai persoalan ekonomi, tetapi juga karena otoritas Budiono sebagai seorang professor dalam salah satu aliran ekonomi.
Ada ‘kediktatoran terselubung’ dalam ilmu ekonomi, yang dilakukan oleh salah satu aliran atau varian dalam ilmu ekonomi, kemudian menobatkan diri sebagai satu-satunya klaim terhadap ilmu ekonomi - ekonomi orthodoks.
Tirani Ekonomi Orthodoks.
Pemikiran ekonomi, pada awalnya, tidak dapat dipisahkan dari masalah moral, etika, politik, kemasyarakatan, dan kemanusiaan.
Meskipun kaum fisiokrat mencoba membentuk rumusan-rumusan matematis dalam teori ekonomi, namun Adam Smith tetap tidak memisahkannya dari persoalan filsafat moral, sosial, dan ekonomi.
Jadi, pada masa awalnya, ilmu ekonomi sangat dekat dengan persoalan etika dan ekonomi-politik.
Karena perkembangan sistem produksi, yang juga disertai perkembangan dalam sistim pemikiran, maka mulai terjadi banyak pergeseran dalam ilmu ekonomi untuk menjadi lebih fokus membahas soal produksi, konsumsi, nilai tenaga kerja, perdagangan komparatif, tolak ukur penduduk dan jumlah barang, dsb, dengan tokohnya; David Ricardo, Thomas Malthus, Jean Baptise Say, dan lain-lain.
Pada tahun 1870an, berkembang satu aliran pemikiran yang bernama marjinalis, dan ini sangat berpengaruh dalam menggeser ilmu ekonomi menjadi lebih ‘teknis-matematis’ dan berorientasi pada pemaksimalan kebutuhan individual.
Sejak itu, ilmu ekonomi semakin akrab dengan metode teknis-matematis.
Paul Krugman, dalam buku berjudul Development, Geography, and Economic Theory menjelaskan, bahwa alasan beberapa teori ekonomi tidak diterima luas oleh para ekonom adalah karena hal itu tidak dimodelkan secara matematis.
Lebih jauh lagi, Michael Parelman dalam ‘Railroading Economics : The Creation of the Free Market Mythology’ menjelaskan, sebuah teori ‘dapat ditolak’ untuk alasan ideologis karena di dalam ilmu ekonomi, ortodoksi adalah pasar bebas.
Parelman mengutip pernyataan Francis A. Walker, presiden Asosiasi Ekonom Amerika, yang menyatakan bahwa ajaran laissez-faire bukan dibuat untuk percobaan ekonomi ortodoks semata, melainkan untuk menentukan apakah seorang sepenuhnya ekonom atau tidak.
Dengan kata lain, untuk menjadi seorang ekonom, terutama setelah tumbangnya Uni-Sovyet, memerlukan ‘pengakuan dan persetujuan’ terhadap pasar bebas—yaitu, mempercayai bahwa pasar dapat mengalokasikan sumber daya secara efisien.
Sejak itu, ilmu ekonomi bukan saja menjadi sebuah ilmu yang rumit dan hanya bisa dipahami oleh segelintir ahli, tetapi juga ilmu ekonomi menjadi sekedar legitimator terhadap bekerjanya sebuah sistem ekonomi, namun terpisah dari praktik ekonomi.
Seharusnya, seperti dikatakan Joseph Schumpeter, ilmu ekonomi harus memuat sejarah, statistic, dan teori. Namun, belakangan ini, aspek sejarah dan politik ekonomi (dimensi filosofis) terus dikesampingkan, dan semakin terfokus pada aspek metodologis- statistik.
Budiono dan Bailout.
Dalam kasus Century, seperti dikatakan di atas, persoalan benar-benar sudah dikunci soal cukup dan tidaknya alasan untuk memberikan dana bailout, bukan pada persoalan; apakah kebijakan bailout satu-satunya pilihan, ataukah ada pilihan lain yang lebih tepat ?.
Akibatnya, para ekonomi dan anggota pansus tersandera dalam perdebatan soal prosedur legal formal, metodologis, dan penafsian.
Tidak ada yang menggugat ‘bailout’ sendiri sebagai ‘salah satu pilihan’, bukan ‘opsi terakhir’, melainkan ada begitu banyak pilihan-pilihan lain.
Seolah-olah, karena perdebatan tersebut, bailout merupakan kebijakan yang sudah tepat dan tidak dapat diganggu gugat, hanya saja, mungkin, soal momen dan prasyarat pengucurannya yang kurang tepat. Ini menurut mereka.
Saya melihat ini tidak lebih dari sebuah peran ‘hegemonic’ sebuah ‘doktrin ekonomi’, bukan soal kebenaran sebuah teori ekonomi pada praktik ekonomi.
Dalam beberapa terakhir, neoliberalisme sudah begitu menghegemonik bukan saja di Indonesia, tetapi juga pada skala global.
Ini juga mencakup dotrin-doktrin mereka soal keutamaan pasar, pemajaan sektor finansial, dsb.
Persoalannya, sebagian besar ekonom pun tidak memiliki satu kata terhadap penyebab dan bentuk krisis saat ini.
Bagi penganut ekonomi mainstream, termasuk Budiono, krisis ekonomi sekarang tidak lebih sebagai persoalan likuiditas. Sehingga, bagi mereka, solusi praksisnya adalah bagaimana memberikan suntikan dana segar ke perbankan atau institusi finansial.
Namun, pendapat itu belum tentu merupakan pandangan yang sah dan benar, meskipun mungkin didukung oleh sebagian besar ekonom.
Bagi sebagian besar ekonom penentang neoliberal, penyebab krisis saat ini bukan hanya soal krisis likuiditas, tetapi juga persoalan krisis solvibilitas; bukan hanya krisis finansial, melainkan krisis pada sektor real.
Mungkin, di luar pengetahuan saya, ada begitu banyak pendapat lain soal krisis ini, namun tidak dapat saya gambarkan dengan lengkap.
Kita tidak membahas sempurna soal perdebatan itu, namun menjelaskan bahwa ekonom neoliberal telah menggunakan kekuatannya -politik, klaim akademis, dll- untuk menundukkan pendapat aliran pemikiran ekonomi lainnya.
Persoalannya, menurut Michael Parelman, ekonomi orthodoks tidak dapat menggambarkan dunia dan kenyataan secara objektif, melainkan melalui abstraksi-abstraksi teoritis.
Teori Budino dalam menjelaskan kasus century hanya akan menjadi ‘menara gading’, terpisah dengan kenyataan sebenarnya, karena sebagian besar pendapatnya adalah abstraksi teoritis semata..
Inilah kediktatoran ekonom orthodoks.
Dalam memperdebatkan penyebab krisis, kita tidak bisa berperilaku seperti ketika menjawab pertanyaan 3+3=6, tetapi ini membutuhkan dimensi filosofis dan ilmu-ilmu yang lebih luas.
Dan, terkait dengan hal itu, kita tidak bisa menjadikan pendapat seorang ekonom sebagai ‘postulat’ sebelum itu dikonfirmasi oleh kenyataan dan fakta.
Harus Ilmiah dan Objektif.
Saya melihat, bahwa klaim Budiono terhadap persoalan kebenaran ‘bailout’ lebih pada persoalan klaim, bukan pada soal objektifitas dan keilmiahan.
Demikian pula dengan klaim ‘efek sistemik’, itu lebih dari sebuah hegemoni dalam menafsirkan sebuah situasi ekonomi, ketimbang sebuah analisa dan kesimpulan objektif.
Saya bersepakat dengan Rudolf Hilferding, seorang ekonom marxist, sebuah pendapat hanya dapat bersifat mutlak apabila memenuhi syarat; kebenaran teori tersebut diterima secara universal dan diakui oleh seluruh manusia yang berfikir secara rasional, seperti hukum gravitasi, hukum genetika Mendel, dsb.
Ekonom yang menyatakan bahwa bailout adalah solusi terhadap krisis, tentu saja, masih merupakan pendapat sepihak.
Apalagi tafsir terhadap sistemik dan tidak, itupun masih observasi subjektif dari Budiono dan koleganya.
Buktinya, ada begitu banyak ekonom lain yang mengatakan, bahwa penutupan terhadap Bank Century tidak akan berdampak sistemik.
Di Indonesia, ekonom terbelah dua dalam memperdebatkan masalah ini.
Pada kenyataannya, kebijakan bailout di berbagai negara, termasuk AS, tidak bisa menjadi solusi permanen terhadap krisis kapitalisme.
Menurut Paul Krugman, seorang ekonom liberal dan peraih nobel ekonomi, bailout Tim Geithner dan Obama tidak akan bisa bekerja jika asset bermasalah sudah undervalued.
Sebaliknya, menurut ekonom yang sebarisan dengan Budiono ini, bank-bank tertentu justru menjadikan ini ‘kesempatan’ untuk mendapat keuntungan besar.
Dalam kasus AIG, misalnya, dana bailout justru dipergunakan oleh para manajer bank ini untuk berpesta dan sebagai bonus atas pekerjaan mereka.
Ini tidak berbeda jauh dengan kasus Bank Century di Indonesia, dimana dana bailout justru dinikmati pemilik bank dan segelintir deposan besar..
*
" Budiono dan Ilmu Ekonomi " :
http://ekonomi. kompasiana. com/2009/ 12/25/budiono- dan-ilmu- ekonomi/
*