Herbert Muschamp, dalam artikelnya di New York Times,2 Juli 1999 :’Seductive Objects with a Sly Sting’ mengatakan bahwa lebih dari lima puluh tahun yang lalu basis ekonomi telah bergeser dari produksi ke konsumsi. Kecenderungannya telah bergerak dari alam rasionalitas ke alam keinginan atau alam psikologi.
Ambil contoh yang sederhana, komputer tidak lagi dilihat semata sebagai ‘technology equipment’ tetapi sudah beralih menjadi ‘lifestyle entertainment’, makanan bukan lagi tentang masakan ataupun tugas-tugas domestik seperti lazimnya kita artikan tetapi telah beralih menjadi gaya hidup, home/lifestyle design dan pengalaman sensori.
Tengok saja bagaimana masyarakat Jakarta telah begitu akrab dengan sejumlah makanan internasional sebut saja misalnya, pizza, sandwich,beef ribs dan berbagai macam menu makanan Spanyol, Thailand,Lebanon dan lainnya. Bagaimana masyarakat urban kita begitu mengidolakan merek-merek tertentu sebut saja Starbucks, McDonald,Armani,Guess,Louis Vuiton. Daryl Travis, dalam bukunya Emotional Branding misalnya mengatakan bahwa keputusan pembelian yang dilakukan oleh konsumen saat ini lebih banyak berasal dari janji-janji yang diberikan oleh suatu merek yang berakar pada emosi.
Mungkin kita masih ingat Charlie? produk wewangian yang sempat melejit pada dekade 70-an dan seakan menyihir kaum wanita pada masa itu yang sangat mendambakan independensi, karir, keyakinan diri dan semangat muda. Charlie adalah salah satu contoh bagaimana Revlon telah mengubah paradigma pemasaran dari sekadar menjual produk wewangian biasa menjadi dream product. Charlie tanpa disadari telah menjadi emotional branding yang menyedot perhatian begitu besar dari kaum wanita dan merupakan salah satu kasus pemasaran yang menarik untuk dicermati. George Fellows,CEO Revlon mengatakan bahwa setiap produk wewangian dari Revlon selalu mengacu pada tiga kata : glamour,inovatif dan menggairahkan.
Lihat saja bagaimana Giorgio Armani menciptakan produk wewangiannya ‘mania’ seperti pernyataannya berikut ini :’dalam benakku, ada seorang wanita yang keras antusias dan penuh hasrat. Dia sadar akan kelemahannya,dan menerima kelemahannya itu sebagai bagian dari hidupnya. Saya ingin wewangian baru yang menambah api pada emosi wanita,membangkitkan sensualitas,misteri dan birahi…..’Atau kalau kita ambil contoh bagaimana Pfizer mengemas ‘Viagra’ menjadi merek yang penuh daya pikat emosional. Pemberian merek yang dilakukan oleh Pfizer ini sama sekali berbeda dengan kebanyakan produsen obat yang selalu terkesan ilmiah sebagaimana lazimnya terjadi diindustri farmasi. Viagra sebenarnya merupakan gabungan dari dua kata ‘Vigor’ dan ‘Niagara’,dua kata yang digabungkan ini menimbulkan suatu imajinasi asosiatif yang kuat mengenai mimpi dari kaum pria.
Ada begitu banyak contoh yang bisa diruntut dari betapa kuatnya daya pikat emosional dari suatu merek. Gauthier, salah seorang penulis dan komentator politik di AS memformulasikan fenomena ini dengan mengatakan bahwa dalam era yang begitu materialistik, kekuatan suatu produk bukan berasal dari kinerja aktual suatu produk tetapi lebih kepada persepsi konsumen (perceived value), dengan kata lain kekuatan itu berada pada logo,merek,trademark. Semakin banyak orang ingin mengungkapkan dirinya melalui sebuah merek.’we are what we eat,what we drive,and what we wear’. Setiap orang seakan ingin mengungkapkan dirinya dengan icon products karena dengan demikian akan mencetuskan dan menggairahkan mimpi-mimpinya.
Setiap industri saat ini sebenarnya berada dalam masyarakat mimpi (dream society), suatu masyarakat yang menurut Rolf Jensen dari The Copenhagen Institute of Future Studies yang bekerja dengan logika yang berbeda dengan masyarakat informasi. Didalam dream society,konsumen dilihat sebagai figur yang lebih emosional ketimbang rasional. Marc Gope,President dan CEO dari perusahaan konsultan merek d/g*worldwide dan penulis buku Emotional Branding misalnya mengatakan bahwa konsep untuk menjadikan merek yang kuat saat ini terletak pada sejauhmana para pemasar mampu mengaitkannya dengan unsur emosi dari produk dan sistem distribusinya.
Menurut Gope, dengan emosi dimaksukkan bagaimana suatu merek mampu menggiring konsumen untuk masuk kealam emosi melalui berbagai persentuhan dengan keseluruhan indera konsumen secara dalam sehingga tercipta suatu hubungan intim yang dalam dan intens untuk jangka waktu yang panjang. Ini mempunyai arti bahwa para pemasar harus secara cermat dapat memahami berbagai kebutuhan emosional dari target pasarnya sehingga mampu membangun langkah-langkah untuk memperkuat relationship dan mengakui konsumen sebagai mitranya.Untuk itu seorang pemasar dituntut untuk tidak hanya mempunyai pengetahuan pemasaran semata, tetapi juga pemahaman antropologi,imajinasi,kreatif,dan visioner.Tanpa suatu pemahaman yang lintas pengetahuan akan sulit rasanya untuk menciptakan suatu merek yang kuat secara emosional dan berdaya tahan lama.
Apa yang diungkapkan oleh Gope memang menggambarkan bahwa bisnis bukanlah sesuatu yang rasional semata-mata, tetapi kita harus menangkap dan memahami feelings didalam kegiatan bisnis. Salah satu miskonsepsi yang terjadi dikalangan para pemasar adalah keyakinan bahwa strategi merek adalah tentang market share, sekalipun dalam kenyataannya merek adalah soal ‘mind and emotion share’.
Bernd Schmitt, direktur program manajemen Columbia University ,melihat bahwa para pemasar harus mampu menciptakan suatu pengalaman yang holistik, suatu pengalaman yang menyentuh kelima indera manusia secara intens dan terus-menerus akan membuat suatu merek mempunyai kaitan emosional yang kuat dengan konsumen. Suatu pendekatan holistik dan sangat personal dengan suatu produk atau merek akan menjadi daya pikat emosional yang kuat antara pemasar dengan konsumennya. Starbucks,kedai kopi telah mengubah persepsi orang selama ini tentang kopi. Apa yang dijual oleh Starbucks bukan lagi kopi tetapi suatu pengalaman total yang dialami oleh seseorang.Starbucks bukan lagi semata kedai kopi tetapi tempat dimana orang menemukan suatu alam emosional yang menyenangkan dan bersahabat.Starbucks telah menjadi ‘people place’ suatu komunitas tersendiri dimana merek itu telah berubah menjadi sesuatu yang emosional.
Suatu merek yang kuat telah menjelma dari sesuatu yang steril menjadi suatu bentuk kemitraan dan komunikasi. Oleh sebab itu, untuk membangun suatu emosi tertentu terhadap merek langkah penting yang perlu dilakukan oleh para pemasar adalah bangunlah suatu emosi yang relevan dengan pasar sasaran anda, karena ini adalah investasi yang harus dilakukan untuk mewujudkan suatu emotional brand. Dan jangan mengecewakan dengan janji-janji palsu,karena hubungan intim dengan konsumen berangkat dari trust yang secara terus menerus harus dikelola oleh perusahaan.Suatu relationship dengan konsumen harus selalu menjadi semacam suatu kepercayaan (beliefs) dalam setiap gerak langkah perusahaan didalam mengelola berbagai pengalaman sensorial,imajinasi dan visi dari merek tersebut untuk menciptakan suatu merek yang tidak hanya semata merek tetapi merek dengan keterlibatan emosi yang kuat dari konsumen.