“…it is precisely through the evaluating process of the human mind that human behavior is distinguished from animal behavior, and that man, with his consciousness, enters an atmosphere of greater freedom.”– Sutan Takdir Alisjahbana.
Begitulah yang diyakini St. Takdir Alisjahbana dalam disertasinya yang akhirnya diterbitkan di Kuala Lumpur tahun 1960 dengan judul: Values as Integrating Forces in Personality, Society, and Culture. Ia seorang pemikir strategis Indonesia yang otentik.
***
Terlebih dalam arus besar globalisasi saat ini, membangun daya kritis telah menjadi suatu imperatif, bahkan conditio sine qua non dalam upaya survival di tata dunia baru yang kaotik (memang terdengar rada oxymoron) karena tanpanya kita akan sangat disilaukan oleh komodifikasi pelbagai hal yang – dengan kekuatan daya hipnotis massa (advertising, integrated marketing communications, public relations) – telah menimbulkan keterpanaan, kemabukan, bahkan ekstasi.
Caveat yang dilansir Yasraf Amir Piliang (Dunia yang Dilipat, 1998, 2004) patut dicermati: “Begitu banyak yang ditawarkan oleh dunia baru ini, sehingga seakan-akan ia dapat menyalurkan segala dorongan hasrat dan segala desakan energi libido manusia. Akan tetapi, begitu banyak pula yang direnggutnya dari manusia, yang meninggalkan berbagai bercak luka, rasa kehilangan, dan duka kepedihan pada diri manusia. Begitu banyak yang dibangunnya, sehingga seakan-akan tidak ada lagi ruang kehidupan yang tersisa, sudut dunia yang tak terjamah, dan bagian dunia yang tak tersentuh. Akan tetapi, begitu banyak pula yang dihancurkannya, yang meninggalkan puing-puing dunia tak berbentuk, sisa-sisa alam yang merana, dan rongsokan jiwa yang kerontang.”
Kita, akibat program pemasaran global kontemporer sekarang, seakan terus diajak bertamasya ke dalam dunia fantasi (…Anda akan jadi seperti bintang film; …anak Anda akan jadi seperti Einstein, …”alumni” play-group pun “diwisuda” pakai toga di hotel berbintang, dll). Repotnya, dalam dunia semacam itu segala sesuatunya hanyalah alam seolah-olah (tidak asli, tidak otentik, tidak genuine), simulasi semata-mata, bahkan khayalan. Kita digiring masuk dalam simulakrum (dunia seolah-olah, tiruan). Diri Anda menjadi bukan diri Anda sendiri, melainkan: Anda adalah apa yang Anda kendarai (atau: …baju yang Anda kenakan; …model yang Anda ikuti; …Anda ditentukan oleh apartemen di mana Anda tinggal, dst.)
***
Dulu kita sering men-dikotomi-kan antara budaya Timur dan budaya Barat. Sesungguhnya hal ini pun juga menyesatkan, sebab jika ditelusuri jauh ke belakang, sejarah umat manusia adalah terus bergerak (tidak terlalu jelas dari arah mana: entah timur atau barat, entah selatan atau utara!) sehingga banyak unsur-unsurnya yang bercampur baur. Walau akhirnya, dalam studi sejarah pemikiran, pada jaman Yunani kuno kira-kira 2600 tahun yang lalu (sejak munculnya para intelektual seperti Thales, Pythagoras, Xenophanes, Herakleitos, Parmenides, sampai ke jaman Sokrates, Platon dan Aristoteles) barulah umat manusia mulai dianggap memasuki jaman rasional dan meninggalkan alam tahayul dewa-dewi. Jaman di mana daya kritis, kemampuan transendensi manusia mulai terang konturnya.
Karenanya – dalam provokasinya yang terkenal dengan ‘polemik kebudayaan’ – St. Takdir Alisjahbana tanpa tedeng aling-aling berseru: “Demikian saya berkeyakinan, bahwa dalam kebudayaan Indonesia yang sedang terjadi sekarang ini akan terdapat sebagian besar elementen Barat, elementen yang dynamisch. Hal itu bukan suatu kehinaan bagi suatu bangsa. Bangsa kita pun bukan baru sekali ini mengambil dari luar: kebudayaan Hindu, kebudayaan Arab. Dan sekarang ini tiba waktunya kita mengarahkan mata kita ke Barat.”
Daya kritis, kemampuan transendensi, mengambil jarak terhadap dirinya sendiri, telah menjadi ciri kemanusiaan seorang manusia.
***
Kalau saat ini kita sering mengeluh tentang etos kerja para professional, termasuk para wakil rakyat kita (akhir-akhir ini banyak beredar di pelbagai milis perihal pendapatan para wakil rakyat yang dilampirkan foto mereka yang sedang nyenyak di ruang sidang!), sampai ekses para pelajar yang ingin segalanya serba instan tanpa mau bersusah payah meniti proses dengan tabah dan cermat (kedua kata ini: ketabahan dan kecermatan, telah menjadi kata asing dalam arus kehidupan yang serba instan), maka dunia korporasi ikut bertanggung jawab. Karena lewat programa sistematis yang telah menggiring massa ke dalam simulakrum ini sesungguhnya banya korporasi telah ikut memenjarakan kebebasan masyarakat untuk menjadi dirinya sendiri yang otentik. Komodifikasi di hampir segala hal adalah akibat ideologi pasar yang telah menentukan – apa yang disebut sebagai – kriteria kesuksesan.
Demikianlah kita hanya bisa membebaskan diri dari penjara simulakrum lewat pintu pembangunan daya kritis. Para pebisnis tetap dituntut disposisi etisnya terhadap program pembebasan (road to freedom) ini. Veritas vos liberat, kebenaran itu akan memerdekakan.