Showing posts with label Dongkrak Penjualan dengan Strategi Pemasaran. Show all posts
Showing posts with label Dongkrak Penjualan dengan Strategi Pemasaran. Show all posts

Sunday, November 14, 2010

Dongkrak Penjualan dengan Strategi Pemasaran

Bagaimana menjual dengan bercerita? Temukan cerita yang menyentuh hati pelanggan. Maka penjualan akan berjangka panjang dan premium.

Masih ingat waktu masih kecil kita gemar dongeng Si Kancil atau Cinderella. Biarpun orangtua berulang kali berkisah – kadang sambil terkantuk – kita tidak pernah bosan, malah selalu minta lagi. Saat dewasa, kegemaran itu tidak berubah, kita masih suka mendengar cerita, secara langsung (obrolan) atau tidak langsung(lewat media-massa, ingat kisah seputar selebritis atau tayangan reality-show yang tinggi rating-nya).

Cerita mewarnai hidup, menambah wawasan dan yang terpenting menciptakan koneksi emosi antara kita dengan tema cerita. Soal koneksi emosi inilah yang dimanfaatkan pemasaran, terutama untuk menciptakan koneksi emosi dengan brand. Sebabnya, cerita bisa langsung menusuk ke area emosi, berbeda dengan komunikasi-pemasaran yang tertuju pada manfaat produk (product benefits) yang umumnya mengajak pelanggan berhitung soal untung-rugi (atau costs & benefits).

Pelanggan yang tersentuh emosinya cenderung melupakan hitungan untung-rugi, harga dan kandungan produk jadi nomor dua. Di sini cerita jadi senjata ampuh untuk menggiring pertimbangan pelanggan dari intelektual-logis ke emosional-loyal.

Pemasar dan penjual mesti bahu-membahu menciptakan cerita (story) tentang 3 hal : cerita tentang merek (brand story), tentang servis (service story), dan
proses operasi (process story).

Brand story, misalnya kisah Bank Buana yang ekuitas mereknya kuat di kalangan pedagang, karena selama ini komitmen Bank Buana yang konsisten membantu nasabah yang kesulitan. Saat krisis moneter 1998, Bank Buana justru tidak ikut menaikkan bunga kreditnya, karena akan mematikan para pedagang. Justru langkah melawan aruslah yang ditempuh, Bank Buana memotong tingkat bunga. Kemudian, saat Pasar Mangga Dua kebakaran, Bank Buana malah memberikan keringanan kepada para pedagang yang jadi korban berupa penangguhan sementara pembayaran kredit selama tiga bulan!

Strategi ini menumbuhkan simpati publik. Sehingga cerita tentang Bank Buana ini ditulis oleh wartawan, dan – ini yang terpenting – di kalangan pedagang pun cerita ini beredar dari mulut ke mulut (word of mouth). Cerita ini memperkokoh loyalitas nasabah dan menarik prospek baru. Bank Buana pun menempati urutan pertama dalam Banking Loyality Index tahun 2005 yang baru lalu.

Saat ini, lanskap bisnis sangatlah kompetitif. Persoalannya, bagaimana membangun kerjasama solid antara divisi penjualan dan marketing yang kerap beselisih paham? Pertama-tama identifikasi dulu empat alasan yang kerap menyebabkan pemasar dan penjual berseteru.

Pertama, perbedaan waktu perencanaan. Rencana penjualan yang dieksekusi sebelum rencana pemasaran selesai, alasannya demi kejar target. Karena rencana penjualan (sales plan) telah lebih dulu selesai, maka banyak hal di dalamnya yang kelak tidak sesuai dengan rencana pemasaran. Padahal kelirulah jika rencana

pemasaran mengikuti rencana penjualan, karena ibaratnya rencana penjualan adalah pigura kecil dan rencana pemasaran adalah pigura besarnya. Maka pigura kecil mesti mengikuti pigura besar sehingga selaras dan benar, bukan sebaliknya.

Kedua, beda paham tentang hasil (result). Konflik klasik yang kerap muncul adalah saat perumusan anggaran. Orang penjualan sering menganggap anggaran pemasaran yang besar percuma karena dampaknya tidak nyata. Korelasi antara besarnya anggaran pemasaran dengan kinerja penjualan tidak jelas. Menurut mereka, andaikan perusahaan fokus menambah jumlah penjual dan meningkatkan manajemen penjualan, maka hasilnya – dalam jangka pendek – langsung kelihatan, berupa kenaikan volume penjualan.

Alasan ketiga penyebab perseteruan pemasar dan penjual adalah karakter. Sampai sekarang kenyataan lapangan menunjukkan kualifikasi pemasar biasanya lebih tinggi dari kualifikasi seorang penjual. Latar belakang pendidikan pemasar

biasanya sarjana, pascasarjana, bahkan Master of Business Administration (MBA)dari luar negeri. Maka lazimnya pemasar akan kuat secara konseptual, punya daya analisis tajam, dan berpikiran luas (helicopter view).

Meskipun para penjual berpendidikan lebih rendah, namun karena berada di lapangan dan terus berinteraksi dengan pelanggan, maka daya empati dan sensitivitasnya kuat. Para penjual biasanya mudah menjalin hubungan pertemanan dengan siapa saja.

Perbedaan karakter ini mengakibatkan terjadinya perbedaan orientasi pekerjaan. Pemasar biasanya fokus pada hasil, sementara penjual lebih pada jalinan hubungan. Bahkan seringkali karena kelewat dekat dengan pelanggan, penjual seakan-akan berada di sisi pelanggan, bukan di sisi perusahaan. Misalnya

dengan minta diskon tambahan demi menjaga hubungan yang telah lama dibina, bukannya berusaha meyakinkan pelanggan bahwa harga yang telah ditetapkan adalah wajar adanya.

Alasan keempat, perbedaan area pekerjaan. Manajer pemasaran bekerja di depan layar komputer, di atas meja besar, baca riset pasar, analisa, menghadiri rapat strategi, dsb. Sebaliknya, manajer penjualan kerjanya terjun ke pasar, bergaul dengan ‘encik-encik” pedagang, canvassing dari toko ke toko, dan dari satu pasar-becek ke pasar-becek lainnya.

Pendeknya, pekerjaan pemasar kelihatan derajatnya lebih tinggi daripada penjual. Akibatnya penjual sering “iri hati” (cemburu), apalagi jika kerja kerasnya tidak dihargai oleh pemasar. Padahal sebaik apapun strategi pemasaran,
akhirnya yang menentukan adalah eksekusi di lapangan, bukan perhitungan di atas kertas.

Dalam lingkungan bisnis sekarang yang makin turbulen, di mana kompetisi semakin menggila di satu sisi, dan sisi lain harapan pelanggan terhadap produk semakin tinggi, maka sudah saatnya konflik yang tidak produktif ini dihentikan. Sebaliknya, integrasi keduanya mulai digalang.

Era transaksional telah diganti era hubungan (relationship). Di sini yang penting adalah konsistensi hantaran produk (deliverable). Supaya berhasil, tak ada jalan lain kecuali mengusahakan terjadinya keseimbangan antara strategi dan eksekusi. Artinya, mengintegrasikan pemasaran dan penjualan. Pemasaran condong di sumbu strategi, sedangkan penjualan condong di sumbu eksekusi. Cuma lewat integrasi keduanya maka konsistensi hantaran produk bisa terwujud.

Selain keempat alasan konflik di atas, cermati pula di mana konflik penjualan dan pemasaran bisa muncul. Ada tiga: konflik eksekusi, konflik strategi, dan konflik organisasi.

Konflik eksekusi atau konflik lapangan, muncul manakala penjual tidak memakai strategi pemasaran saat menjual produk. Mereka cenderung menganut filosofi “asal jual dan asal laku”, tidak peduli kecocokan prospek dengan segmentasi, targeting dan positioning yang telah disusun.

Penjual yang tidak paham pemasaran tidak bakalan bisa menjual diferensiasi, karena tidak kenal keunggulan produk secara fungsional maupun emosional, tidak tahu produk pesaing, tidak tahu kebutuhan pelanggan, dan tidak tahu tren perubahan pasar. Akibatnya, ketika bertemu pelanggan, tidak ada yang bisa dikomunikasikan selain harga murah.

Ujungnya, karena tidak mampu menjual diferensiasi produk, para penjual datang ke manajer pemasaran minta diskon lgi. Persoalannya, kalau penjual minta harga murah(diskon melulu) lalu apa gunanya perusahaan menghabiskan anggaran besar untuk membangun merek?

Konflik kedua adalah konflik strategi. Di sini konflik terjadi lantaran orang pemasaran tidak mendengarkan masukan (insights) dari orang penjualan ketika menyusun strategi pemasaran. Akibatnya strategi yang disusun terasa dangkal dan tidak implementatif di lapangan.

Konflik ketiga adalah konflik organisasi yang terjadi akibat keduanya tidak saling peduli. Orang pemasaran tidak mau tahu soal kondisi penjualan di lapangan. Yang dipikirkan cuma bagaimana memaksimalkan pencapaiannya sendiri, tercapainya brand awareness, brand image dan brand association setinggi mungkin.

Begitupun sebaliknya, penjual tidak mau tahu soal produk dan merek. Yang penting target penjualannya tertutup, sebodo amat dengan dampak merek, misalnya dengan mendiskon habis-habisan yang mengakibatkan terdilusinya ekuitas merek di mata pelanggan.


Followers