“Dasar amatiran..!”, demikian kita sering mendengar umpatan orang-orang di tengah masyarakat, yang kecewa atas kinerja buruk pihak lain yang sedang melayani mereka. Umpatan itu seakan-akan menggambarkan bahwa setiap orang yang hasil kerjanya kurang berkualitas, pantas disebut sebagai amatir.
Lawan kata amatir, sepanjang yang dimengerti oleh masyarakat, adalah kata “profesional”. Maka kalau ada sanjungan pada seseorang dengan kata-kata: “Wah, dia hebat dan sangat profesional!”, itu artinya orang tersebut mendapat pengakuan sebagai sesosok manusia yang pandai, ahli dan prestasinya memuaskan.
Nyaris semua orang ingin disebut profesional, dan boleh dikata tidak satu pun dari kita yang senang bila diberi predikat amatir, atau amatiran. Apakah dengan demikian, sebutan amatir benar-benar hanya menunjukkan kinerja, kualitas, atau prestasi yang buruk? Atau paling maksimal, kualitas ‘tanggung’ yang tak bisa dibanggakan ?
Dua hal di atas, hanyalah istilah-istilah yang muncul dari masyarakat awam, yang sekian persennya juga bersifat salah-kaprah. Menurut saya, kriteria profesional versus amatir, bukanlah sebuah dikotomi yang bisa memutuskan satu pihak adalah baik, sedangkan yang lainnya buruk. Atau satu pihak benar dan yang lainnya salah.
Percaya atau tidak, baik profesional mau pun amatir, keduanya berdiri sendiri dengan masing-masing kelebihan serta kelemahannya. Apakah itu berarti bahwa seorang amatir juga punya kelebihan? Punya kualitas tertentu?
Dengan pasti, saya berani jawab: ya!
Bahkan, kalau mau dipaksakan juga wacana ini dibahas sebagai sebuah dikotomi, jangan terkejut kalau ternyata orang-orang amatir(an) itu ternyata memiliki beberapa kelebihan yang nyaris tidak dimiliki oleh orang-orang profesional. Bagaimana persisnya?
Sesuai dengan etimologi, kata ‘profesional’ berasal dari akar kata ‘profesi’. Oleh karenanya, seorang profesional adalah orang-orang yang mengabdikan diri pada profesi. Mereka mencari nafkah dengan mendedikasikan seluruh waktu kehidupannya yang 24 jam untuk menggembleng diri, belajar dan berlatih sungguh-sungguh. Itu sebabnya mereka menjadi begitu ahli dan sangat menguasai bidangnya.
Karena mereka mengabdi, maka kaum profesional pun tunduk pada semua ketentuan dan persyaratan yang berlaku di lingkup profesinya. Mereka harus menguasai teori-teori yang untuk itu mereka harus belajar, mereka harus memiliki keterampilan yang untuk itu mereka mesti berlatih terus menerus. Di sana ada kode-etik, peraturan, SOP bahkan indoktrinasi serta ideologi yang harus selalu dipegang dan diperhatikan. Sehingga, bisa dibayangkan betapa banyak stimulus yang membebani otak seorang profesional, sebelum yang bersangkutan “berhak” menyandang gelar profesional untuk melayani para kliennya.
Keadaan seperti inilah yang oleh Edward De Bono dinyatakan sebagai faktor pembentuk cara berpikir seorang manusia, sehingga, meski yang bersangkutan “berhasil” menjadi seorang ahli dalam bidang tertentu, di sisi lain orang-orang ini akan terdegradasi kreativitasnya. Profesional yang “benar-benar profesional” akan sulit untuk berani menyimpang dari semua teori, teknik, metode, SOP, kode-etik atau apa pun yang selama ini telah digariskan padanya atas nama profesionalisme. Dalam alam bawah sadar mereka, sekali mereka menyimpang, sekecil apa pun, itu sudah cukup bagi klien atau orang lain untuk menyatakan mereka sebagai “amatiran”.
Di lain pihak, seorang amatir adalah orang bebas. Mereka melakukan aktivitas ‘keamatirannya’ tanpa terikat apa pun. Dalam salah satu penjelasan di American Heritage Dictionary, dikatakan bahwa para amatir aktif hanya pada waktu senggang saja. Mereka tidak punya beban, dan berpikir lepas. Mereka juga diklaim sebagai orang-orang yang unskilled, alias tidak memiliki keahlian yang memadai. Lantas di mana letak kelebihan kaum amatiran ini?
Amatir umumnya tidak berurusan langsung dengan klien. Mereka sibuk dengan dirinya sendiri. Karena tidak ahli, mereka mencoba berbagai cara, belajar dan bereksperimen dengan versinya sendiri, membuat berbagai kebodohan yang sering kali berisiko, serta berpetualang dengan 1001 macam penelitian berformat “coba-gagal”. Dengan cara inilah kreativitas mereka berkembang, sampai akhirnya berbagai penemuan teknologi dan ilmu pengetahuan pun dihasilkan oleh para amatir.
Siapa tidak kenal Benjamin Franklin? Tokoh penemu listrik ini adalah seorang amatir yang pada usia 15 tahun melakukan kebodohan dengan mencoba membuktikan adanya muatan listrik dalam kilatan petir dengan menaikkan layang-layang yang diikatkan sebatang anak kunci, sehingga ketika petir menyambar ia sampai pingsan dibuatnya.
Siapa tidak kenal Thomas Alva Edison? Tokoh ini jelas sosok amatir yang bahkan tidak kenal sekolah. Ia hanya senang bermain-main dengan perkakas, kawat dan listrik. Tapi dialah yang menemukan lampu pijar pertama kalinya, dan ketika ia membangun General Electric, ratusan profesional justru bekerja padanya yang nota bene hanyalah seorang amatir.
Kreativitas melahirkan inovasi. Peter Drucker, dedengkot manajemen modern mengatakan bahwa para entrepreneur sejati selalu menandai kehadiran mereka dengan inovasi. Begitu pun yang terjadi dengan Bill Gates, sang pendiri Microsoft.
Gates pada galibnya juga seorang amatir. Ia mengutak-ngutik perangkat lunak sejak usia 13 tahun, hanya sebagai hobi saja. Konon, pada saat menerima PO (Purchase Order/SPK) dari IBM untuk membuat sistem operasi IBM PC, perangkat lunak yang dimaksud sama sekali belum ada. Cikal-bakalnya pun belum. Sungguh amatiran bukan?
Namun kenyataan memperlihatkan, bahwa sukses tidak terkait dengan dikotomi profesional-amatir. Bill Gates ternyata menjadi salah seorang paling berhasil di dunia. Bayangkan, untuk mengembangkan perangkat lunak Microsoft Word saja, ia yang drop-out dan amatiran itu, mampu merekrut tidak kurang dari 300 orang profesional yang kesemuanya sarjana.
Maka pertimbangkanlah, akankah lebih baik kita menjadi profesional atau justru cukup menjadi seorang amatir? Tentu semua terpulang ke diri kita masing-masing..