Pengusaha Indonesia sedang menghadapi tantangan besar terkait diberlakukannya China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA) dan krisis di benua Eropa yang juga bisa mempengaruhi iklim usaha di Indonesia. Deputi Gubernur Bank Indonesia Hartadi Agus Sarwono seperti diberitakan oleh salah satu media di Indonesia, Jumat (4/5), mengatakan, krisis utang negara-negara Eropa membuat tekanan capital inflow ke Indonesia berkurang. Bahkan pekan lalu terjadi capital outflow, termasuk dari instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang mencapai Rp10 triliun.
Jatuhnya industri manufaktur akibat pemberlakuan CAFTA dapat dianggap wajar, karena harga yang relatif murah dan diperdagangkan di hampir semua pusat perbelanjaan di Tanah Air, terutama pusat perbelanjaan di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya, membuat produk manufaktur China sangat diminati masyarakat. Bahkan jumlah penjualan produk negara Tirai Bambu itu nyaris mengalahkan produk dalam negeri. Celakanya, selama ini pemerintah pun cenderung tidak transparan, karena meski kesepakatan CAFTA ditandatangani pada tahun 2006, namun tidak pernah disosialisasikan kepada pengusaha, sehingga begitu CAFTA diberlakukan, pengusaha tidak punya persiapan untuk menghadapinya. Padahal, masuknya produk China ke Indonesia tidak hanya melalui jalur legal, tapi juga illegal (penyelundupan) .
Bagaimana kita harus menyikapi hal ini?
Untuk menghilangkan kecemasan yang berlebih, kita boleh mengingat istilah “No Pain, No Gain” alias tidak ada perjuangan juga tidak ada keuntungan. Mudah-mudahan Anda juga sepakat bahwa persaingan justru mendatangkan berkah.
Sebuah perusahaan yang tidak memiliki pesaing di dalam industrinya cenderung akan lapuk dan layu. Tentu kita masih ingat sekitar 5 tahun lalu ketika pemerintah memberikan izin kepada swasta asing untuk dapat mendistribusikan bahan bakar minyak yang kala itu dimonopoli oleh Pertamina. Bagaimana pelayanan Pertamina sebelum itu? Berapa banyak petugas pom bensin yang mau tersenyum dengan ramah kepada Anda sambil menunjukkan angka “nol” sebelum memulai pengisian tersebut?
Bagaimana dengan bisnis penerbangan di tanah air sekitar 10 tahun lalu, sebelum maraknya penerbangan murah yang sudah menjadi lumrah saat ini? Mengapa penerbangan murah di tanah air yang dipelopori oleh LionsAir, menawarkan tiket penerbangan yang sungguh diluar nalar, namun selalu membukukan keuntungan dari tahun ke tahun, bahkan hingga saat ini? Keunggulan LionsAir dalam menawarkan harga murah bukan hanya menghantam para pemain lama di industri penerbangan, tapi juga berdampak pada transportasi angkutan massa lainnya seperti kapal laut, bus penumpang dan kereta api. Bagaimana mungkin Garuda Indonesia sebagai perusahaan penerbangan milik pemerintah yang menjual layanannya demikian tinggi dengan segala fasilitas dan bantuan lainnya mengaku rugi setiap tahunnya kala itu?
Belajar dari Nelayan Jepang
Nelayan Jepang punya sebuah cara untuk tetap mempertahankan kesegaran ikan tuna yang mereka tangkap walaupun mereka baru bisa kembali ke darat setelah berminggu-minggu berlayar di laut lepas. Sebelum mereka menemukan cara unik ini setiap hasil tanggapan tuna, mereka akan masukan ke sebuah ruang pendingin besar yang letaknya di lumbung kapal. Setelah berminggu-minggu berlayar dan kembali ke darat untuk menjual hasil tangkapan yang berupa ikan beku tersebut, kesegaran daging ikan menjadi berkurang, hal ini sangat terasa terutama bagi bangsa pencinta sushi dan sashimi ini. Hal ini terus berlangsung menyebabkan para nelayan pun tidak mampu menjual hasil tangkapan mereka dengan harga tinggi. Sampai suatu ketika mereka bereksperimen dengan mengosongkan lambung kapal, lalu diisi dengan air yang cukup untuk menempatkan hasil tangkapan mereka hidup-hidup. Percobaan mereka gagal karena setiba di pelabuhan, semua hasil tangkapan mereka sudah mengapung dalam keadaan busuk.
Pada eksperimen berikutnya masih dengan kolam penampungan di lambung kapal yang sama, hanya saja sekarang ditempatkan seekor ikan hiu berukuran sedang di dalamnya. Ketika tuna hasil tangkapan dimasukkan ke dalam kolam tersebut, maka ikan tuna akan berusaha menyelamatkan diri dengan berenang sekuat tenaga untuk menghindari gigitan ikan hiu tersebut. Begitu pula dengan ikan-ikan hasil tangkapan selanjutnya. Ketika waktu melaut telah selesai, para nelayan kembali ke pelabuhan untuk menjual hasil tangkapanya, dan mereka menyaksikan bahwa semua tuna mereka masih hidup dan terus bergerak menghindari kejaran hiu. Dengan demikian bisa dipastikan bahwa dagingnya pun masih segar, sesegar ketika baru ditangkap.
Apa pesan moral dari cerita di atas? Ikan tuna yang ditempatkan dalam kolam pada eksperimen pertama tidak mendapatkan “ancaman” dari pihak manapun karena memang kolam tersebut kosong dan hanya dikhususkan untuk mereka. Tetapi hal itu justru membuat mereka tidak waspada dan nyaman dalam “kehangatan semu” yang menyebabkan mereka justru tidak mampu bertahan dan mati. Tidak ada alasan yang cukup kuat untuk membuat mereka bergerak dan berjuang. Hal sebaiknya pada eksperimen kedua; menempatkan ikan hiu sebagai “ancaman” yang membuat mereka harus terus bergerak dan berjuang.
Nasi telah menjadi bubur
Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, pengusaha harus berhadapan dengan produk China yang dikenal murah meriah, sehingga ketidaksiapan harus diubah menjadi kesiapan. Bila selama ini pengusaha cenderung keteteran dalam menghadapi gempuran masuknya produk China, maka mulai saat ini pengusaha harus membangun kekuatan untuk menjadi pesaing tangguh produk-produk yang dihasilkan negeri Tirai Bambu. Ini memang tidak mudah. Apalagi karena Indonesia merupakan salah satu negara yang dimaraki pungutan liar (pungli), sehingga terjadi high cost pada hampir semua bidang produksi.
Salah satu cara yang harus dilakukan pengusaha untuk meningkatkan daya saing adalah meningkatkan kualitas hasil produksi, menekan biaya yang tidak perlu agar lebih efisien, membuka channel distribution yang baru dengan memanfaatkan keunggulan atas pemahaman atas geogrfis dan kultur negeri sendiri. Dan yang juga penting adalah, meningkatkan kualitas SDM agar menjadi individu-individu yang memiliki semangat, motivasi, dan kualitas dalam menghadapi tantangan dan persaingan seberat apapun.
Hasil akhir dari setiap persaingan adalah perlombaan pada tingkat kualitas dan efisiensi dimana konsumenlah yang mendapatkan keuntungannya. Dengan penduduk berjumlah lebih dari 230 juta jiwa dan tingkat pertumbuhan ekonomi di atas 5 % di saat krisis global saat ini, memang Indonesia masih menjadi primadona para pemasok dunia. Untuk terus dapat bersaing bukan saja dari sisi swasta yang harus mengetatkan ikat pinggang sambil meningkatkan kualitas barang dan jasanya, akan tetapi pemerintah juga sangat berkewajiban untuk mendukung terciptanya iklim usaha yang sehat dengan memangkas semua biaya ekonomi tinggi, perampingan birokrasi, kemudahan pebisnis mendapatkan kredit lunak, dan ketersediaan sumberdaya manusia yang berwawasan dan berdaya saing internasional melalui sistem pendidikan dan pelatihan di tanah air yang sungguh-sungguh dikembangkan.
Akankah CAFTA akan bermanfaat buat kita?
Iya! Jika pemerintah mempunyai komitmen dan kemauan yang sangat kuat, dalam hal ini saya ilustrasikan sebagai nelayan yang berani merubah pola dan kebiasan lama dalam mempertahankan kesegaran ikan tuna, dengan berani mengambil langkah-langkah perubahan positif yang mendukung pihak pengusaha dan masyarakat Indonesia seperti yang telah saya sampaikan di atas, menjadikan CAFTA hanyalah suplemen multivitamin bagaikan “ikan hiu” yang membuat kita terus terjaga dan berjuang untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi kerja.
Akan terjadi sebaliknya jika pemerintah tetap mempertahankan cara kerja lama yang birokrasinya dikenal korup dan tidak efisien, terutama dalam memfasilitasi pengusaha dan masyarakat Indonesia, maka kita hanya akan menjadi sebongkah “ikan tuna beku” dalam pasar persaingan dewasa ini. Karena, hasil akhir yang berkualitas dimulai dari pengimplementasian yang berkualitas (Quality implementation / QI).
02470609694
maspank@yahoo.com
d'pro historian with great excellent enterpreneur skill.