Showing posts with label [Forum-Pembaca-KOMPAS] Sharing Blog: Pelajaran Bank Century: Mengelola Persepsi Likuiditas dan Ekspektasi Rakyat. Show all posts
Showing posts with label [Forum-Pembaca-KOMPAS] Sharing Blog: Pelajaran Bank Century: Mengelola Persepsi Likuiditas dan Ekspektasi Rakyat. Show all posts

Saturday, April 2, 2011

[Forum-Pembaca-KOMPAS] Sharing Blog: Pelajaran Bank Century: Mengelola Persepsi Likuiditas dan Ekspektasi Rakyat

[You're neither right nor wrong because other people agree with you. You're right because your facts are right and your reasoning is right - that's the only thing that makes you right. And if your facts and reasoning are right, you don't have to worry about anybody else. -Warren Buffett]

[Karena ekonomi adalah ilmu perekayasaan sosial, maka dia bukanlah ilmu pasti seperti rumus membangun rumah yang tahan gempa. Kebijakan publik tak akan terpisah dari masalah keberpihakan (ideologi) sebagai dasar asumsi ke publik yang mana prioritas diberikan. Karenanya, hukum (konstitusi) akan mempersatukan sebuah bangsa di nilai (ideologi) yang sama, yaitu meratanya kesejahteraan sistemik yang adil dan
berkelanjutan. Perang melawan korupsi adalah sikap bangsa mencapai cita-cita kolektifnya. –Yanuar Rizky]

Pelajaran Bank Century: Mengelola Persepsi Likuiditas dan Ekspektasi Rakyat
Oleh: Yanuar Rizky

http://www.elrizky.net/artikel.php?opt=1&id=304

Debat perbedaan pandangan sistemik Bank Century (BC) harusnya dikelola dengan baik. Agar menjadi sekolah pemikiran rakyat atas tersedianya informasi yang cukup berimbang. Hal itu akan meningkatkan literasi pemilih rasional. Ini penting untuk mendobrak pola hubungan emosional yang selama ini dibangun dalam proses politik. Karena politik emosional membawa resiko bawaan rentannya stabilitas ekonomi itu
sendiri.

Ketua KSSK menyiratkan di pansus, tekanan terlihat dari indikator melemahnya indeks harga saham gabungan (IHSG) dan nilai tukar (kurs) Rupiah atas US Dolar. Prinsip dasar yang dikemukakan atas tugas KSSK adalah mengantisipasi dan mencegah krisis.

Jika asumsinya IHSG dan Kurs, saya menyatakan perbedaan pendapat. Bukan menolak fakta saat itu terjadi koreksi tajam, tapi di anatomi pasar keuangannya. Atas dasar olah data dari tahun 2002, saya berkeyakinan (berbasis data) bahwa psikologi pasar diakibatkan pergerakan detik ke detik (volatilitas) kurs yang elastis dipengaruhi
IHSG.

Sebab akibat Kurs dengan IHSG, saya sepakat dengan KSSK. Tapi, saya berbeda menyikapi saat antisipasi krisis. Jika psikologis ditengarai ke indikator pasar keuangan, maka manajemen resiko berprinsip “keuntungan besar menghasilkan resiko besar” (high risk, high return).

Posisi saya sebagai analis, mengutarakan sinyal resiko penguatan tajam IHSG-kurs melalui tulisan di Kompas 27 Desember 2007 (Memanfaatkan Bumerang The Fed). Antisipasi resiko (krisis) harusnya diukur dari rangkaian antisipasi saat sinyal membesarnya keuntungan terlihat. Jika ditempuh saat balik arah, itu kebijakan panik. Disitulah, saya berbeda sikap pandang (paradigma) tentang manajemen resiko yang menjadi tugas negara, yaitu menjaga resiko masa depan dengan kewenangan yang
dimilikinya untuk mendisiplinkan pasar yang dijamin konstitusi.

Meski kurs dan IHSG di tahun 2007 menguat (return), volatilitasnya (risk) juga meningkat (spekulasi melebar). Laporan keuangan BC 31 Desember 2008 (LK) menunjukan posisi transaksi bank lain (interbank) adalah untuk “call money” (mata uang asing) di posisi net kewajiban Rp701,1Miliar. Dengan postur seperti itu, jelas bahwa identitas BC saat kalah kliring adalah “spekulan yang kalah”.

BC kalah kliring (interbank) 13 November 2008. Angka net kewajiban LK mirip dengan angka FPJP (Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek) dan rapat KSSK (Rp.634Miliar). Sehingga, saya berkeyakinan bahwa gagal bayar(kliring) BC lah yang dianggap sebagai “sistemik”. Faktanya, angka itulah yang pertama kali diputuskan saat pengucuran FPJP oleh BI (setelah perubahan aturannya yang kontroversial).

Lalu, kemudian saat dibawa ke KSSK angka yang sama pula yang diajukan. Ini yang lalu memicu kontroversi tentang “data menipu”. Tapi, saya memandang dengan berbekal analisa korelasi antara LK BC 31 Desember 2008 dan laporan audit Investigasi BPK, maka menunjukan kuatnya indikasi aliran dana FPJP dan PMS-LPS tidak sesuai peruntukan ke masalah inti BC tentang “kalah kliring”nya.

Hal ini diperkuat temuan investigatif BPK, bahwa pihak terafiliasi (pemilik) mengambil dana di periode pengucuran FPJP dan PMS-LPS. Artinya, jika kita berasumsi bahwa dana FPJP tepat sasaran, maka pertanyaan kuncinya “kenapa BC gagal kliring lagi?”, sehingga harus dibawa ke KSSK.

Padahal, jika gagal kliringnya diatasi, yang terindikasi saya lihat di LK BC “call money”, maka aset yang jadi underlying “call money” di instrumen pasar uang harusnya kemudian menjadi aset dalam pengelolaan BI yang bisa direverse (jual balik untuk kembalikan dana FPJP). Dan rasanya, masalah likuiditasnya akan selesai membayar “kontroversi perubahan aturan FPJP itu sendiri”.

Mari kita buat simpel, apa yang harus dipahami publik tentang “seandainya kita memerintah”, yaitu kehati-hatian dalam mengelola resiko keputusan. Disinilah informasi masa lalu menjadi penting. Bagi saya, makna tentang perilaku “rampok” BC di masa lalu sejak mergernya relevansinya disini. Yaitu, pengambil keputusan ditengarai mengetahui bahwa keputusan yang diambil akan berjalan melalui para pihak
berperilaku tidak baik.

Artinya, kalaupun “asumsi FPJP-PMS” penting untuk menyelamatkan perbankan keseluruhan, maka “perampoknya” disingkirkan dulu agar aliran uang negara tidak menjadi “janji diatas ingkar”. Disitulah, indikasi ranah hukum pidana korupsi. Bukan di kebijakannya, tapi “sebab-akibat” dengan pelaksanaannya.

Unsur “tau dan tidak” perilaku koruptif menjadi indikator yang harus diuji secara hukum oleh KPK, apakah para pengambil kebijakan “lalai atau tidak?”. Disinilah, persoalan “tangkap dulu perampoknya” menjadi kunci sebelum kebijakan bail out diambil. Karena itu menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya menjaga kebijakan yang diambil dapat dikelola sesuai peruntukan.

Suka atau tidak, fakta dana FPJP masuk ke kas BC dan saat itulah pemilik yang koruptif kembali melakukan aksi permapokannya, dengan melakukan transaksi inkaso dari rekening nasabah tertentu di Surabaya ke Jakarta, yang kemudian diambilnya untuk menyelesaikan transaksi notes pribadinya (Temuan Investigasi BPK).

Bocor Sistemik

Dalam standar audit internasional, diatur penelusuran alat bukti dari pernyataan standar tentang “Evidential Matter”, mengacu kepada norma “substance over form” (statement lengkap dari international audit board adalah ratifikasi dari Audit Standard Amerika Serikat di http://umiss.lib.olemiss.edu:82/articles/1038053.6549/1.PDF yang diratifikasi dalam Standar Audit di Indonesia). Jadi, karena itulah
muncul istilah yang dipopulerkan ketika kasus Watergate menimpa Presiden Nixon di AS, yaitu soal “Follow the money”.

Nah, apakah uang FPJP dengan kontroversi perubahan kebijakannya mengalir sesuai peruntukan? Kalau iya, kenapa terapi ini tak bisa mencegah gagal kliring BC yang terjadi kembali di 18 November 2008, yang lalu harus dibawa ke KSSK? Fakta “follow the money” di audit BPK jelas “dirampok lagi” sama pemiliknya.

Kita ikuti lagi, angka di KSSK rapat pertama masih sama. Besar indikasi, masalah terdasar adalah interbank di gagal kliring yang belum selesai karena dana untuk itu bocor? Nah, apakah para pihak kembali “tau atau tidak” persoalan perilaku “koruptif sistemik” menjadi bola salju yang menggelinding sampai ke keputusan bail out KSSK dan pelaksanaanya di LPS.

Fakta, angka outstanding di LK BC 31 Desember 2008 menunjukan bahwa persoalan inti “dikalahkan” pengambilan dana oleh pihak ketiga. Disitulah, perubahan aturan LPS (5 Desember 2008) menjadi “bunyi”. Karena, dana LPS boleh dipakai untuk pengambilan dana nasabah.

Bocor sistemik dan tak sesuai peruntukan, disitulah substansi yang harus diuji oleh uji materil-formil oleh penegak hukum (KPK), sekaligus menjadi kunci “uji unsur tindak pidana korupsi” (dengan azas praduga tak bersalah atas para pihak terperiksa) dari fakta “bocor sistemik” penyebab dana LPS melambung 10 kali lipat menjadi
6,7Triliun. Tentang substansi tidak adanya konflik kepentingan, karena untuk menenangkan nasabah keseluruhan menjadi tanya.

Dimana, BUMN yang menyimpan dananya saat Bank ini milik swasta, lalu begitu dimiliki LPS menjadi pihak-pihak yang ikut “meramaikan” pengambilan dana. Kalau BUMN saja tidak percaya (ditenangkan) dengan pengelolaan LPS, lalu apakah psikologis yang disasar menjadi kredibel keberhasilannya?


Dampak Psikologis


Konon soal perilaku distorsi BC diabaikan, diakibatkan kekhawatiran berdampak larinya dana ke negara lain (crowding out), akibat “blanket guarantee” negara lain. Saya rasa ketakutan crowding out tak cukup kuat disaat perbankan negara maju justru episentrum krisis finansial itu sendiri.

Sejak agustus 2008, data BI menunjukan terjadi peningkatan agregat dana pihak ketiga (DPK) Perbankan. Artinya, tren publik “percaya” simpan di Bank. Yang diperkuat statistik sistem pembayaran BI, kliring Oktober 2008 turun -8,15% dibanding September 2008 dan turun -3,9% dibandingkan Agustus 2008.

Asumsi lain tentang kekeringan likuiditas pasar uang antar bank(PUAB). Data BI, PUAB Oktober 2008 menurun -40,03% dan -6,09% dibanding September 2008 dan Agustus 2008. Jika dilihat parsial di PUAB saja, memang pasar uang tertekan. Tapi, jika PUAB-Kliring dikaitkan, maka kekeringan itu bukan karena tekanan kliring secara masif sebagai sinyal krisis kepercayaan (crowding out).

Bagi saya, itulah beda krisis kepercayaan yang terjadi di perbankan asing (2008) dengan salah posisi perbankan nasional (1998). Hal itu terlihat di laporan keuangan BI 2008, pendapatan pengelolaan moneter meningkat 58,57% dan biaya pengendalian moneter menurun -15,02. Sinyalnya, volatilitas kurs (tekanan PUAB) diakibatkan volatilitas IHSG. Dan adalah fakta, volatilitas itu mendatangkan keuntungan Moneter (LK BI 2008), dan pasti Bank besar pun mengalaminya (zero sum game: high risk si kecil – high return si besar).

Yang terjadi saat itu (2008), aksi ambil untung (temporer) dari putar-memutar aset (IHSG) ke arbitrase selisih kurs. Sedangkan “aset”nya masih ada yang terkonfirmasi saat pasar pulih (Maret 2009) berasal dari episentrum yang sama. Yaitu, saham dan pemain yang sama di Bursa (lihat grafik http://www.elrizky.net/artikel/repeat09.jpg ).

Sehingga, saya berbeda pendapat tentang kaitan antara “bail out” dengan “memulihkan kurs dan IHSG” sebagai argumentasi “bail out berhasil memulihkan krisis” sebagaimana ditengarai di jawaban pansus. Keyakinan analisa saya didasari pola perilaku pasar “repeat on itself” yang saya yakini (berbasis elastisitas korelasi olah statistik antara IHSG-Kurs).

Dimana, semua persepsinya bergerak masih dari “gorengan saham” yang sama oleh sekuritas “wall street” yang sama, dengan persoalan yang sama “membiayai kebutuhan likuiditas negara maju”. Dan bahkan, ini memberi sinyal siaga atas pengelolaan resiko pasar di 2010.

Jika ada asumsi “banking presure index”, ijinkan saya mengajukan asumsi tertekannya Indeks daya beli upah -19,16% (OPSI-Oktober 2008, survey 4 kota). Terbesar diakibatkan naiknya harga makanan. Harga impor konsumsi disaat kursnya dilemahkan pola “spekulatif” (ambil untung putar-memutar aset).

Pertanyaan filosofisnya, sistemik BC bagi rakyat yang mana? Adilkah disaat makanan naik karena spekulan kurs, lalu spekulannya ditolong sedang daya beli rakyat dibiarkan “let’s market operate itself”. Memerintah haruslah adil. Kata banyak literatur, adil diukur dari paradigma untuk persoalan rakyat kebanyakan.

Followers