Thursday, April 25, 2013

THE NATURE OF BELIEFS


"The starting point for a better world is the belief that it is possible."
~ Norman Cousins

Memahami belief system akan memudahkan dan memberdayakan kita untuk "melihat", menganalisis, dan mengganti belief yang tidak mendukung. Sebaliknya kita juga dapat semakin memperkuat dan memanfaat belief yang mendukung keberhasilan kita. Belief menentukan realita kita seperti yang dikatakan oleh Roy Blount, Jr., "It's my belief that sanity lies in realizing that reality is not exactly what we had in mind" (Saya percaya bahwa kewarasan adalah dengan menyadari bahwa realitas tidak persis sama dengan apa yang ada di pikiran kita).
Pakar NLP Robert Dilts mengatakan bahwa belief mempunyai tiga bentuk:
• sebagai generalisasi relasi di antara pengalaman
• sebagai generalisasi makna
• sebagai generalisasi batasan/limit
Dalam setiap kondisi faktor utamanya adalah generalisasi. Generalisasi berasal dari kata generalization yang berarti "a statement presented as a general truth but based on limited or incomplete evidence" atau "sebuah pernyataan yang dipandang sebagai kebenaran umum tetapi hanya berdasar pada bukti yang terbatas atau tidak lengkap". Untuk lebih mudahnya generalisasi dapat dipandang sebagai suatu simpulan atas suatu kejadian atau pengalaman. Selanjutnya setelah simpulan ini dipandang sebagai hal yang benar dan kita terima "kebenarannya" kita lupa bahwa ini hanyalah suatu simpulan. Bisa jadi simpulan kita ternyata salah.
Kita mengkonstruk aturan internal mengenai relasi, makna, dan batasan sebagai hasil dari kebiasaan inteprestasi/pemaknaan pengalaman kita dengan tujuan untuk memudahkan proses pembuatan keputusan. Generalisasi, untuk mudahnya, dapat kita samakan dengan simpulan.
Kita memahami dunia di sekitar kita yang kompleks dengan menciptakan aturan-aturan sederhana untuk pengalaman masa lalu. Aturan ini kadang kita gunakan untuk menterjemahkan (baca: mengerti) pengalaman baru. Aturan ini sangat membantu dan memudahkan kita untuk menjalani hidup. Bila kita selalu harus mencari makna dari setiap pengalaman hidup, melalui proses berpikir logis, maka hal ini akan sangat membebani pikiran kita. Belief merupakan jalan pintas untuk membuat keputusan dan sebagai generalisasi untuk membantu kita bereaksi dengan cepat tanpa harus lama-lama berpikir.
Limiting belief atau kepercayaan yang bersifat menghambat meliputi banyak hal, antara lain:
• Kepribadian (mis: rasa percaya diri, sifat humoris)
• Citra diri (mis: ukuran, berat tubuh, warna kulit, bentuk tubuh)
• Kecerdasan (mis: IQ,EQ,CQ,FQ,SQ)
• Orang lain (mis:kawan, musuh, bos, orangtua, anak)
• Kelompok orang (mis: yang berjanggut, para direktur atau komisaris perusahaan, para orangtua)
• Institusi (mis: kepolisian, sekolah, Kantor Pelayanan Pajak)
• Peluang (mis: berat tubuh saya menghalangi saya, seandainya saya lebih berani, orang lain bernasib lebih baik dari saya)
• Performa (mis: orang lain bisa sukses tapi saya tidak)
Bagaimana belief terbentuk?
Belief terbentuk melalui suatu proses yang rumit. Kita perlu memahami proses pembentukkan belief agar mudah melakukan modifikasi atau perubahan pada belief. Langkah awal untuk mengubah belief adalah dengan percaya bahwa belief bisa diubah atau dimodifikasi sesuai kebutuhan kita. Lha, kalau anda nggak percaya bahwa beliefbisa diotak-atik maka belief ini akan menghambat upaya untuk mengubah belief anda. Proses pembentukan belief diawali saat kita mengalami suatu kejadian. Setelah mengalami suatu kejadian apa yang kita lakukan? Pikiran akan memberikan makna pada pengalaman ini. Ingat! Setiap kejadian pada dasarnya bersifat netral. Tidak punya makna. Pikiranlah yang memberikan makna. Makna yang diberikan bisa positif, negatif, atau netral. Dan makna ini selalu benar menurut kita.
Selanjutnya makna akan mengakibatkan munculnya emosi yang sejalan dengan makna itu. Bila pikiran kita memberikan makna positif terhadap suatu pengalaman atau kejadian yang kita alami maka yang muncul adalah emosi positif. Bila maknanya negatif maka emosinya juga negatif. Setelah itu emosi akan mempengaruhi proses selanjutnya. Apakah setelah muncul emosi kita akan langsung mengadopsi suatu belief? Oh, tidak. Prosesnya nggak sesederhana ini. Setelah emosi muncul, pikiran akan mencoba menguji kebenaran makna. Pikiran kita akan mencari data-data pendukung terhadap makna yang telah diputuskannya. Pikiran, dalam proses mencari data pendukung, menggunakan navigasi yang dipengaruhi oleh jenis dan tingkat intensitas emosi.
Saat pikiran berhasil menemukan data pendukung maka makna diterima sebagai sesuatu yang benar atau valid. Sampai di sini pikiran masih juga belum mengadopsi belief atas makna suatu kejadian. Tahap selanjutnya adalah pikiran, setelah menerima dan menyatakan "kebenaran" suatu makna, mulai menyesuaikan diri dan mengeras menjadi suatu bentuk respon yang bersifat repetitif (kebiasan berpikir). Nah, setelah ini barulah tercipta pola belief yang mendukung mode berpikir.
Apakah proses ini hanya sampai di sini? Tidak. Masih ada dua tahap lanjutan. Apa yang terjadi setelah pikiran mengadopsi belief? Belief akan mempengaruhi pola pikir dan perilaku. Yang dimaksud dengan perilaku adalah respon yang secara otomotasi akan muncul di masa depan terhadap pengalaman yang serupa dengan pengalaman sebelumnya.
Apa yang terjadi bila kita bertindak atau berperilaku dengan suatu pola tertentu? Benar sekali, perilaku kita menentukan pencapaian prestasi hidup alias nasib kita.
Lalu, bagaimana caranya untuk mengubah belief? Belief mempunyai "logika"nya sendiri. "Logika" belief belum tentu sejalan dengan logika pikiran sadar anda. "Logika" belief belum tentu sejalan dengan realitas. Kita harus memahami benar prinsip ini untuk bisa mengubah belief kita.
Ada satu kisah menarik yang diceritakan oleh Abraham Maslow. Seorang psikiater menangani kliennya yang percaya bahwa ia (si klien) adalah mayat. Si psikiater ini berusaha keras untuk menjelaskan, dengan menggunakan logika orang waras, bahwa hal ini tidak masuk akal. Semua cara telah dilakukan untuk meyakinkan si klien bahwa ia bukan mayat. Namun si klien tetap bersikeras percaya bahwa ia adalah mayat. Dalam keputusasaannya tiba-tiba terbersit satu ide dalam pikiran si psikiater. Ia lalu bertanya pada kliennya, "Mayat mengeluarkan darah, nggak?". "Sudah tentu tidak. Mana ada mayat yang mengeluarkan darah", jawab si klien mantap.
Si psikiater lalu meminta ijin untuk menusuk ujung jari kliennya dengan jarum. Apa yang terjadi? Sudah tentu ujung jari si klien mengeluarkan darah.
Si klien, saat melihat jarinya mengeluarkan darah, begitu kaget dan terperangah, "Ini nggak masuk akal. Nggak ada mayat yang mengeluarkan darah". Si klien sembuh.
Mengapa ia sembuh? Karena apa yang dilakukan psikiater ini telah membuktikan bahwa "logika" belief si klien ternyata salah. Begitu "logika" belief terbukti salah maka belief tidak lagi mempunyai pendukung. Dengan demikian belief akan rontok dengan sendirinya.

Artikel ditulis oleh Adi W. Gunawan [ed. Boy 024-70609694]

No comments:

Post a Comment

Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.

Followers