"Saya lihat dengan dongeng, daya serap anak-anak jadi lebih cepat. Secara emosional dongeng juga mendekatkan saya dengan anak-anak"
KOMPAS.com - Kemajuan zaman ternyata tak membunuh tradisi mendongeng. Dongeng justru makin digemari sebagai alat perekat komunikasi antara orangtua dan anak. Hanya cara mendongengnya saja yang sedikit berubah.
Budi Setiawan (36) awalnya hanya ingin mendidik anaknya sendiri dengan dongeng. Ia mendongengi anak tunggalnya, Ayunda Damai Fatmarani, sejak bayi hingga kini telah berusia lima tahun.
"Dia sangat senang sekali. Lama-lama, mendengar dongeng menjadi kebutuhannya," kata Budi.
Pada saat harus pergi bertugas ke luar kota pun, Budi tetap mendongengi anaknya. Dia selalu meninggalkan rekaman dongeng di laptop sehingga Damai tetap bisa mendengarkan dongeng dari ayahnya.
"Setelah saya pulang, saya akan mengulang kembali dongeng itu secara langsung," tambahnya.
Suatu hari, Budi membaca buku cerita Toto Chan sebagai materi dongeng. Damai yang saat itu berusia 3,5 tahun sangat menikmati dan banyak bertanya. Dua hari kemudian, dia meminta buku Toto Chan dan membacanya sendiri. Ibunya lantas merekam dan rekaman itu didengarkan oleh Budi sekadar untuk kangen-kangenan ketika pergi ke luar kota.
Budi mengunggah rekaman itu di blog-nya, indonesiabercerita.org, dan menceritakan tentang rekaman dongeng itu kepada teman-temannya di Twitter. Ternyata, rekaman itu mendapat banyak respons.
"Dari situ, kami memutuskan merekam dongeng-dongeng dalam bentuk MP3. Dongeng itu bisa diunduh orangtua yang membutuhkan," tambahnya.
Hingga awal April lalu, jumlah podcast dongeng yang masuk ke blog indonesiabercerita.org mencapai 38 buah. Sebagian dongeng dibuat anggota sanggar dongeng yang didirikan Budi Setiawan dan sebagian lagi kiriman teman-teman Twitter.
Ibu dua anak, Indah Ariani (35), juga turut tertarik menyumbang rekaman suaranya yang sedang mendongeng ke blog indonesiabercerita.org. Sudah dua rekaman dongeng yang dia kirim, yakni berjudul Batu yang Dihukum dan Mei-mei. Namun, Indah mengaku belum memanfaatkan perantigadget secara maksimal untuk mendongeng.
"Mungkin kalau aku sering pergi jauh, aku akan gunakan gadget untuk dongeng," katanya.
Indah mendongengi dua anaknya sejak mereka kecil hingga sekarang ketika mereka sudah berusia 10 tahun dan 13 tahun. Alasannya sederhana saja, Indah ingin menularkan tradisi mendongeng yang dulu juga menjadi pengalamannya sewaktu kecil. Dongeng yang diceritakannya, antara lain dari kisah HC Andersen, kisah para nabi, sampai ensiklopedia anak.
"Sampai-sampai anak saya beranggapan, ensiklopedia itu dongeng ilmu pengetahuan. Saya mendongeng kapan saya sempat dan akhirnya jadi kebutuhan," tambahnya.
Swastika Nohara (30) bahkan sudah terbiasa mendongeng dari sejak sebelum dia menikah. Ketika membuat film dokumenter ke pulau-pulau terpencil, seperti di Papua dan Sulawesi Tenggara, ia terbiasa mendongeng untuk anak-anak kecil agar mereka tidak mengganggu produksi film. Perhatian anak-anak yang suka mengganggu jalannya pengambilan gambar film akan segera teralih ketika Swastika mulai mendongeng. Kini, ia terbiasa mendongeng buat dua anaknya, Sabai (3) dan Adeline (11 bulan).
Dongeng pun tak melulu dilakukan menjelang tidur, tetapi bisa di mana dan kapan saja, seperti saat terjebak macet di mobil. Sesekali Swastika mendongeng dengan menggunakan boneka tangan. Melalui dongeng, dia mengajari anak-anaknya tentang nilai kehidupan tanpa harus memerintah atau mendikte. Anak-anak akan belajar sendiri dan merasa nyaman karena seperti diajak bermain.
"Saya akan tetap mendongeng sampai mereka tidak lagi mau mendengar dongeng saya," kata Swastika.
"Saya lihat dengan dongeng, daya serap anak-anak jadi lebih cepat. Secara emosional dongeng juga mendekatkan saya dengan anak-anak. Kadang kalau sudah lama tidak diminta mendongeng, saya jadi kangen," tambah Indah.
Menyentuh emosi
Budi yang berprofesi sebagai dosen psikologi di Universitas Airlangga menambahkan, dongeng adalah komunikasi yang bisa menggerakkan orang karena langsung menyentuh emosi. Seiring perkembangan zaman, Budi memilih merekam dongeng dalam bentuk audio ketimbang visual karena audio menciptakan imajinasi di otak dibandingkan visual. Audio juga dinilai lebih praktis.
"Di otak yang ada itu bukan teks, tetapi imaji. Misalnya, kalau mendengar kata perang yang terbayang bukan teks, melainkan gambar perang. Jadi, budaya dongeng berbeda dengan budaya menonton," kata Budi.
Di Barat, lanjut Budi, tradisi merekam suara (audio) itu berjalan dengan baik, sementara di Indonesia tidak. Masyarakat Indonesia belum punya kebiasaan untuk merekam suara dan bercerita. Yang menonjol justru kebiasaan memotret diri sendiri.
Psikolog dari Universitas Airlangga, Rudi Cahyono, menambahkan, dongeng telah menjadi bagian dari budaya masyarakat. Dongeng cenderung tidak menghakimi, memberi ilustrasi, dan mampu mengubah seseorang tanpa adanya perintah atau instruksi.
Artikel ini terbit di Harian Kompas, Minggu 24 April 2011 halaman 17
No comments:
Post a Comment
Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.