SETIAP malam, sebagian dari kita terbiasa tidur dengan memeluk “istri Belanda” (Dutch wife) alias guling. Tanpanya tidur tak terasa nyaman. Tapi di masa lalu, tak semua orang bisa memilikinya. Hanya kalangan atas atau priyayi. Kisah dalam novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer, menyentil kebiasaan itu.
Dalam sebuah percakapan sesama mahasiswa School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau Sekolah Pendidikan Dokter Pribumi, Wilam membicarakan lelucon-lelucon dari kehidupan tuan tanah bangsa Inggris kepada sahabat-sahabatnya, termasuk Minke. “Tahu kalian apa sebab di dalam asrama tidak boleh ada guling?”
Dia pun mulai bercerita. Menurutnya, guling takkan ditemukan di negeri-negeri lain di dunia –setidaknya menurut mamanya. Ini bermula ketika orang-orang Belanda dan Eropa lainnya datang ke Hindia. Karena tak membawa perempuan, mereka terpaksa menggundik. “Tapi orang Belanda terkenal sangat pelit. Mereka ingin pulang ke negerinya sebagai orang berada. Maka banyak juga yang tak mau menggundik. Sebagai pengganti gundik mereka membikin guling –gundik yang tak dapat kentut itu.”
Wilam juga bilang bahwa guling takkan ditemukan dalam sastra Jawa lama maupun sastra Melayu. “Memang tidak ada. Itu memang bikinan Belanda tulen –gundik tak berkentut. Dutch wife... “
“Dan tahu kalian orang pertama-tama yang menamainya? Raffles, Letnan Gubernur Jenderal Hindia.”
Meski sebuah novel, obrolan ringan mengenai guling itu tak sepenuhnya salah. Guling lahir dalam kebudayaan Indisch abad ke-18/19, percampuran antara kebudayaan Eropa, Indonesia, dan China. Kebudayaan ini kemudian menjadi gaya hidup golongan atas.
“Percampuran kebudayaan ini bisa dilihat misalnya pada pemakaian perabot seperti kursi Eropa, meja, dan tempat tidur dengan bantal, termasuk perlengkapan baru yang disebut guling atau Dutch wife, yang tidak ada dalam perlengkapan tempat tidur Eropa, jadi khusus Indisch,” tulis Hadinoto, dosen Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Kristen Petra Surabaya, dalam “Indische Empire Style”, yang dimuat Jurnal Dimensi Arsitektur, Desember 1994.
Pribumi Hindia belum lama menggunakan guling. “Mereka hanya meniru-niru orang Belanda. Yang datang dari Belanda serta-merta ditiru orang, terutama para priyayi berkepala kapuk itu. Inggris mengetawakan kebiasaan berguling,” tulis Pram.
Hanya saja Pram, juga penulis lain, tak akurat ketika menulis bahwa guling hanya ada di Indonesia. Guling juga terdapat di negara lain di Asia Tenggara. Variannya di Asia Timur dinamakan “istri bambu”, jukbuin, chikufujin, atau zhufuren yang terbuat dari anyaman bambu. Varian ini kemungkinan memengaruhi Dutch wife, karena keberadaan jukbuin sudah jauh sebelumnya.
“Sejarah jukbuin bisa dilacak ke belakang setidaknya pada masa Dinasti Goryeo, ditunjukkan novel berjudul Jukbuin-jeon (Story of the Bamboo Wife) karya Yi Gok (1298-1351),” tulis www.dynamic-korea.com.
Pengaruh “istri bambu” atas “istri Belanda” juga tampak dari definisi Dutch wife dalam Oxford English Dictionary, sebuah kamus yang mulai disusun sejak 1879 dan rampung 1927 atau empat puluh delapan tahun kemudian. Kamus itu mendefinisikan Dutch wife sebagai “sebuah kerangka berlubang-lubang dari rotan yang digunakan di Hindia Belanda dan lain-lain untuk sandaran anggota badan di tempat tidur.”
Tapi yang jelas keberadaan guling ini kerap mengejutkan orang-orang yang baru tiba di Hindia. Sejarawan dan pastor dari Amerika Serikat John S.C. Abbott (1805–1877) menceritakan pengalamannya bertemu guling dalam “A Jaunt in Java”, yang dimuat di Harper’s New Monthly Magazine Volume XV, Juni-November 1857.
Ketika melemparkan diri ke ranjang, kata Abbott, Anda akan telentang dengan Dutch wife. “Jangan terkejut! Anda tak akan mendapatkan ‘kuliah tirai’ (curtain lecture) karena Dutch wife berbentuk bulat, bantal panjang keras, yang bikin takjub setiap orang asing ketika melihatnya terbaring rapi dan kaku di tengah ranjang seperti mayat kecil,” tulis Abbott.
Setelah tahu bagaimana memperlakukan “istri Belanda”, Abbott pun menjadi lebih dekat dengannya. “Singkatnya, Dutch wife harus diletakkan di bawah kaki atau lengan untuk mencegah kontak terlalu hangat dengan kasur, dan memungkinkan sirkulasi udara dingin. Dan kenyamanan dalam iklim tropis ini hanya dapat dirasakan oleh mereka yang telah mencobanya. Satu Dutch wife yang diisi dengan kapas lebih baik daripada Dutch wife buatan China yang berongga-rongga dan terbuat dari bambu,” kata Abbott.
Seorang Prancis, Désiré Charnay, pengemban misi ilmiah dan pendidikan untuk pihak otoritas Belanda, kebingungan saat tinggal di Jawa selama enam minggu pada 1878. Seperti dikisahkan dalam Orang Indonesia dan Orang Prancis: Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX karya Bernard Dorléans, guling itu berisi jerami yang keras seperti kayu. Pelayan Melayu memberi tahunya.
“Guling itu Anda letakkan di antara kaki agar keduanya tidak bersentuhan dan supaya Anda bisa tidur dengan nyaman,” kata pelayan Melayu itu.
Begitu nyamannnya sehingga Horst Henry Geerken, seorang Jerman yang 18 tahun tinggal dan bekerja di Indonesia, tak melupakan pengalamannya bersama guling. Hingga sekarang, dia jadi terbiasa dengan guling. “Sekali pun di Jerman, saya tetap memakai guling. Kita bisa memeluk guling pada malam hari dan menekuknya dengan kaki. Rasanya nyaman dan sejuk. Guling berguna untuk memberi sirkulasi udara secara bebas dan menyerap keringat di kaki,” tulis Geerken dalam bukunya A Magic Gecko.
Tapi kenapa guling bisa dinamai Dutch wife?
Situs ensiklopedia online, di http://encyclopedia.jrank.org, berbasiskan Encyclopedia Britannica edisi ke-11 yang diterbitkan 1911, menulis bagaimana peranan bahasa dalam mendukung dan mengukuhkan stereotip, termasuk penggunaan istilah yang mengaitkan dengan Belanda. Dalam tulisan berjudul “Blason Populaire” disebutkan bagaimana Oxford English Dictionary menekankan koneksi sosiolinguistik.
“Karakteristik atau pengaitan dengan Belanda, sering dengan aplikasi yang menghina atau mengejek, sebagian besar disebabkan persaingan dan permusuhan antara Inggris dan Belanda pada abad ke-17... Namun hanya ‘janda Belanda’ (Dutch widow) yang dicatat sebelum 1700, dalam sebuah naskah drama karya Middleton pada 1608. Memainkan kata-kata menggunakan kata Belanda dan negara-negara yang rendah untuk merujuk daerah kelamin umum pada masa Elizabethan.” Karya Thomas Middleton itu adalah Trick to Catch the Old One, terbit 1608.
Arietha, perempuan asal Belanda, dalam artikel “The influence of the Dutch on the English language”, dimuat di www.hubpages.com, juga merujuknya pada persaingan antara Belanda dan Inggris. Setelah kekuasaan Spanyol meredup, Belanda muncul sebagai kekuatan militer dan dagang yang unggul di lautan pada awal abad ke-17. Periode ini dalam sejarah Belanda dikenal sebagai masa keemasan. Bersama Inggris, Belanda menumpuk kekayaannya atas dasar kolonialisme-perusahaan dagang negara tak resmi melalui Dutch East dan West India Companies, yang membentang dari Hindia (Indonesia), Sri Lanka, dan Brasil hingga Aruba, Antilles, dan ujung selatan Afrika. Antara 1652 dan 1674, Belanda menghadapi perang laut dengan Inggris. Inggris berharap bisa merebut kendali pelayaran dan perdagangan dari Belanda tapi gagal.
“Sebagian besar kata-kata dan ekspresi Belanda dibuat saat titik terendah hubungan antara Inggris dan Belanda. Rivalitas mereka menemukan saluran lewat berbagai ucapan populer yang diciptakan masing-masing negara untuk menghina yang lainnya,” tulis Arietha.
“Tradisi anti-Belanda dari para pemukim Inggris awal bertahan dan memberi (Amerika) istilah-istilah seperti ‘Dutch treat’ pada 1887, ‘go Dutch’ pada 1931…,” tulis Stuart Berg Flexner dalam I Hear America Talking, sebagaimana dikutip dari forum The Phrase Finder (www.phrases.org.uk).
The Phrase juga mengutip Morris Dictionary of Word and Phrase Origins karya William dan Mary Morris: “Mungkin tak ada negara yang begitu terus-menerus menjadi semburan pelecehan secara verbal dari bahasa Inggris kecuali tetangga mereka di seberang lautan, Belanda… Tidak selalu demikian. Hingga setelah masa Shakespeare, Belanda biasanya dihormati di semua referensi sastra oleh para pengarang Inggris.”
Sementara Encyclopedia of World and Phrase Origins karya Robert Hendrickson menulis: “Orang-orang Belanda begitu tersinggung oleh bahasa Inggris selama tiga abad sehingga pada 1934 pemerintah mereka memutuskan untuk membuang kata ‘Dutch’ dan menggunakan kata ‘Netherlands’ jika memungkinkan.”
Meski Inggris membuat istilah itu dengan nada menghina, dan menertawakan kebiasaan menggunakan guling, toh mereka juga membutuhkannya ketika di Hindia. Dan Belanda punya istilah sendiri untuk guling ini, yakni British doll alias boneka Inggris. Setidaknya ini dikatakan Partotenojo, yang dijuluki Partokleooo, teman Minke lainnya dalam novel Jejak Langkah.
Terlepas dari perang istilah itu, guling tetap menjadi peralatan tidur yang tak bisa dilepaskan, hingga kini, terutama di Indonesia.
No comments:
Post a Comment
Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.