Memahami pandangan orang besar di masa lalu membuat orang menjadi bijak. Bung Karno pun berpesan dengan kalimatnya yang amat terkenal: Jas Merah. Lalu apa kata Adam Malik tentang negeri beruang merah Uni Soviet?
Mendapat buku 'Sovjet Rusia Seperti jang Saja Lihat' karya wartawan kawakan Adam Malik pada awal tahun ini bak menemukan harta karun tak ternilai. Girang di hati. Dapat dipastikan sangat sulit mencarinya di Indonesia sekarang. Inilah buku koleksi seorang Indonesianis asal Rusia di Moskow yang telah menjadi rujukan berbagai kalangan akademisi pada masa awal kemerdekaan Indonesia.
Ketika sampai di tangan saya, buku itu sudah berwarna kemerahan, rapuh dan sobek di beberapa sisinya. Jilidannya juga hampir runtuh sehingga membacanya harus ekstra hati-hati. Maklum, buku dengan tebal 164 halaman ini dicetak pada tahun 1954 oleh NV. Pustaka & Penerbit 'ENDANG' Djakarta, Djalan Tanah Abang Barat 80-A, telp 434 G. Di ujung buku bagian atas tetera harga buku: Rp 9,- ditemani sebuah cap daftar pustaka berbahasa Rusia 'CCCP (USSR) - Indonesia no. 18'.
Tentu saja, ketika mulai menjelajah buku ini pembaca terseret masuk ke dalam lorong-lorong masa lalu dengan segala keunikan, baik dari sisi bahasa (menggunakan ejaan lama dengan istilah yang tidak lazim) serta kenyataan yang sedang membuat geleng kepala. Pembaca jadi sadar terjadinya 'lompatan-lompatan' sejarah umat manusia yang telah membuat semuanya berubah seiring berjalannya waktu.
Adam Malik yang saat itu berprofesi seorang wartawan demikian piawai menyedot informasi yang begitu langka dan mampu meraciknya menjadi sebuah hidangan yang dinanti-nanti masyarakat Indonesia yang gandrung pada Uni Soviet. Untuk suatu kunjungan sebulan di Uni Soviet, terlihat sang penulis dengan antusias mempersiapkan berbagai bacaan yang masih langka dan tanpa kenal lelah melakukan reportase dari hari ke hari.
Menlu pertama RI itu rupanya ingin membuktikan beberapa hal di luar urusan konferensi ekonomi, seperti 'Benarkah Sovjet Rusia imperialistis' dan 'Apakah jang dinamakan tabir besi'. Sebagai jurnalis yang harus netral, ia pun mengajak masyarakat Indonesia memandang Rusia secara obyektif alias 'tidak boleh kita pandang seperti Surga dan djuga pada tempatnya disamakan dengan Noraka'.
Perjalanan Panjang
Sebuah konferensi tentang ekonomi internasionallah (3-10 April 1952) yang membawa Adam Malik bersama rombongan Indonesia ke negeri yang oleh negara lawan-lawannya dijuluki: Negara di balik Tabir Besi! Dari Jakarta menuju Moskow, perjalanan yang dilakukan Delegasi Indonesia sangat panjang dan luar biasa. Mereka harus transit di Singapura lalu dilanjutkan ke Bangkok, Karachi, Amsterdam, Praha, Minks dan baru Moskow. Berangkat tgl 23 Maret 1952 tiba di Schipol tanggal 26 lalu berangkat lagi ke Praha tgl 30 Maret dan tiba di Moskow persis saat acara dimulai, 3 April 1952. Total perjalanan mencapai 10 hari itu sangat jauh berbeda dengan perjalanan saat ini yang bisa ditempuh dalam kurun waktu kurang 15 jam.
Karena Indonesia saat itu belum lama merdeka, perjalanan ke luar negeri
memang menjadi tidak mudah. Dokumen paspor yang dipakai delegasi Indonesia
tidak standar internasional, namun hanya berupa selembar kertas putih yang
dibubuhi tulisan dan foto serta dilegalisir oleh yang berwenang. Tidak
jarang, petugas imigrasi di luar negeri menyangsikannya. Bahkan beberapa
bank asing juga tidak percaya alias menolak pengambilan uang dengan lampiran
dokumen dimaksud.
Pengambilan visa saat itu dilakukan di Belanda, bukan di Jakarta. Maklum,
waktu itu Indonesia belum memiliki hubungan diplomatik secara resmi sehingga
tidak ada kedutaan Rusia di Jakarta ataupun KBRI di Moskow. Dus, peserta
konferensi dapat berisiko tidak sampai Moskow karena ditolak permohonan
visanya, meskipun sudah terbang 3 hari hingga Amsterdam.
Ketika harus transit di beberapa kota besar baik untuk waktu singkat maupun
dalam hitungan hari, masyarakat Indonesia disana selalu memberikan sambutan
hangatnya. Mereka seolah ingin bercengkerama dengan saudaranya dengan
memberikan apa saja yang dimilikinya meskipun sebelumnya tidak pernah
mengenal. Kekerabatan masyarakat kita saat itu, sangat kental dan hangat.
Tidak jarang, dalam transit itu delegasi RI disuguhi Vodka dan Kaviar,
sesuatu yang sangat luks saat itu hingga kini.
Meski hanya memiliki waktu transit yang tidak banyak, Adam Malik ternyata
mampu menuliskan secara hampir utuh keadaan negara-negara yang tergabung
dalam Uni Soviet saat itu. Mulai dari sosial kemasyarakatannya hingga
industrinya. Semuanya menggambarkan adanya kepemimpinan yang kuat serta
semangat sosialisme yang tanpa batas. Saat itu, keyakinan ideologi komunis
seolah merupakan sebuah kebenaran yang tidak mungkin lekang karena panas dan
lapuk akibat hujan.
Negeri Berkemauan Besi
Keingintahuan Adam Malik membawanya kepada penjelajahan sosial
kemasyarakatan Rusia baik siang maupun malam. Ia terus senantiasa keluyuran
ke berbagai tempat untuk melihat sendiri dan berbicara dengan masyarakat
Rusia di Moskow dan kota lain yang dikunjungi. Mulai melihat balet, nonton
bioskop hingga berkunjung ke beberapa pabrik. Banyak hal yang tidak pernah
terbanyangkan sebelumnya tiba-tiba ditemui.
Ketika tiba misalnya, ia dan rombongan disiapkan oleh Panitia Konferensi
sebuah mobil merek ZIM atau ZIS, semacam kombi yang memuat 8 orang dengan
motor yang kelas wahid dan dilengkapi dengan pemanas yang cukup. Model
mobilnya mirip dengan mobil Packard dan dari sisi model ternyata Rusia saat
itu tidak kalah dengan produsen lain di dunia.
Pembangunan yang dilakukan di Moskow juga terlihat menggeliat. Gedung-gedung
'pentjakar langit' tampak menjulang dan banyak tanah sedang diratakan untuk
dibuat apartemen bertingkat 10-20 bagi warga. Salah satu gedung paling top
dan menghebohkan para tamu konferensi adalah Universitet Lenin yang sekarang
dikenal sebagai MGU atau Universitas Moskow yang terletak di puncak bukit
tertinggi kota Moskow (Bukit Lenin). Gedung yang dikatakan raksasa itu
sedang melebarkan sayapnya dengan membangun stadion olahraga, laboratorium
dan observatorium. Gedung olah raga itu kemudian dinamakan GOR Lusniky yang
kembarannya dibuat di Jakarta dan dikenal saat ini dengan Gelora Bung Karno.
Metro bawah tanah di Moskow juga sangat elok dan membuat para pengunjung
tercengang. Terdapat 5 lini dan empat di antaranya bertemu satu dengan
lainnya di lingkungan ring Moskow. Menuju metro, pengunjung harus turun
dengan eskalator modern hingga 40 meter lalu akan menemukan sebuah stasiun
bernuansa galeri dengan hiasan lampu kristal dan patung-patung marmer. Bagi
mereka yang pernah berkunjung ke metro do London, Paris dan New York, maka
metro di Moskow adalah yang terbaik.
Di antara kenyataan penting yang dicatat adalah nasionalisme masyarakat
Rusia yang demikian kuat. Mereka tergolong orang yang ulet dan pantang
menyerah serta dinilai tidak suka membeberkan boroknya kepada orang lain.
Rupanya semangat 'right or wrong is my country' yang berasal dari Inggris,
juga berlaku di negari beruang merah. Inilah sebuah komponen yang membuat
mereka disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Itu juga mengapa Adam
Malik tidak suka mengatakan Uni Soviet sebagai negeri dibalik tabir besi,
namun menyebutnya sebagai negeri berkemauan besi.
Barangkali yang unik adalah pertemuan tidak terencana antara Adam Malik
dengan tokok PKI, Semaun. Selama konferensi itu, Semaun yang saat itu
sebagai orang buangan Pemerintah Belanda dan menetap di Moskow sejak tahun
1926 telah beristrikan orang setempat dan beranak pinak, selalu saja tiap
hari menemui delegasi. Ia dikenal sebagai orang yang sangat ramah, hangat
dan sangat mencintai Indonesia. Pada saat kemerdekaan Indonesia
dikumandangkan di berbagai media misalnya, Semaun menulis surat kepada
Stalin agar medukung kemerdekaan Indonesia. Sebagai responnya, sejak saat
itu Pemerintah Soviet membuka siaran Indonesia pada Radio Moskow yang
dipimpin oleh Semaun.
Tidak hanya itu, orang-orang buangan saat seperti Semaun dan Muso itulah
yang kabarnya terus melakukan pendekatan kepada pemerintah Komunis Uni
Soviet untuk membuka juga jurusan Indonesia di berbagai universitas. Tidak
mengherankan, kalau hingga saat ini terdapat 5 universitas terkemuka di
Moskow, St. Petersburg dan Vladivostok yang terus mengajarkan bahasa dan
sastra Indonesia. Di luar aneka kontroversi yang muncul, rupanya jasa mereka
bagi Indonesia ternyata tidak sedikit.
Terlepas dari berbagai kekaguman dan hal-hal baru yang ditemui selama sebulan di negara di balik terali besi itu, Adam Malik teryata merasakan lepasnya beban dan perasaan lega saat lepas landas meninggalkan kota Moskow. Pengalaman ini sangat berbeda ketika berpisah dengan Paris atau London yang menimbulkan rasa berat di dada. Itu semua karena menurutnya, Uni Soviet tetaplah negara yang relatif tertutup dan membatasi gerak geriknya sebagai seorang tamu. Bahkan dalam batas-batas tertentu, orang-orang Rusia yang ditemuinya saat itu terlihat sangat curiga terhadap orang asing, tidak mudah percaya, banyak tutup mulut serta terkesan underestimate bangsa lain.
No comments:
Post a Comment
Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.