Beberapa waktu yang lalu, Menteri Keuangan melakukan sidak di Pelabuhan Tanjung Priok, dan menemukan sebanyak 77 kontainer daging impor yang tidak dilengkapi surat persetujuan pemasukan (SPP) dari Kementerian Pertanian sehingga status daging sapi tersebut sampai saat ini ditahan pemerintah di pelabuhan.
Kejadian ini merupakan ulah spekulasi pengimpor daging dan jeroan (offal), yang identik dengan 'tersandungnya' mereka untuk kesekian kali pada kasus yang sama (terjadi tahun 2001, 2004, 2009, dan sekarang). Namun selalu tidak ada kejelasan soal siapa pelaku yang sesungguhnya, karena seperti biasanya, 'bagai anjing menggonggong, keledai berlalu', dan tidak pernah ada sanksi hukum yang membuat efek jera.
Dampak ekonomi
Menurut jenis sumbernya, suplai komoditas daging sapi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat konsumen di Indonesia saat ini adalah: pertama, produksi daging dari hasil pemotongan sapi lokal di RPH (sekitar 1,7 juta ekor sapi lokal per tahun); kedua, produksi daging dari hasil penggemukan sapi bakalan impor (sekitar 500 ribu ekor per tahun), dan ketiga, daging sapi dari impor (sekitar 120 ribu ton per tahun). Dalam hal ini, pada 2010 terdapat perbedaan jumlah angka realisasi impor daging sapi dan jeroan yang mencolok antara data Kementerian Pertanian (sekitar 70 ribu ton) dengan angka Badan Pusat Statistik (sekitar 120 ribu ton), padahal saat ini Kementerian Pertanian masih tetap menggunakan angka kapasitas impor 30% dari total kebutuhan daging, yaitu berupa impor sapi bakalan dan impor daging boks.
Walaupun Kementerian Pertanian mengatur pengeluaran SPP sebagai persyaratan awal untuk melakukan impor sapi bakalan ataupun impor daging, ada perlakuan yang agak berbeda dengan impor sapi bakalan, yaitu negara eksportir tidak menuntut ketat pencantuman nomor SPP untuk impor daging dan jeroan dalam Sertifikat Kesehatan (Health Certificate/HC) serta dokumen lainnya saat mau berangkat dari negara pengekspor. Hal ini membuka peluang terjadinya 'ulah spekulasi importasi daging sapi' untuk melakukan pengapalan daging boks terlebih dahulu untuk kemudian SPP-nya diurus belakangan, sehingga pada saat pengawasan diperketat, tidak sedikit daging sapi dan jeroan yang sudah mendarat di Pelabuhan Tanjung Priok diketahui tidak dilengkapi dengan SPP dari Kementerian Pertanian, yang akhirnya banyak daging impor dan jeroan tertahan dan menumpuk di pelabuhan seperti yang terjadi saat ini. Berdasarkan pengalaman, memang keberadaan daging sapi impor (daging boks) ini 'lebih sulit' untuk dimonitor ataupun dilacak, apabila sudah lolos atau 'meloloskan diri' dari karantina sebagai satu-satunya pintu gerbang pengaman untuk masuk ke Indonesia bagi komoditas impor. Selain itu, daging boks lebih mudah dikemas dan disimpan ataupun 'disembunyikan', asalkan memiliki fasilitas pendingin yang memadai.
Sebenarnya kebijakan pemerintah untuk memasukkan daging impor ini ditujukan khusus bagi pasar institusi, yaitu daging berkelas untuk segmen: supermarket, hotel, katering, dan industry processing. Namun yang terjadi, bisnis daging di Indonesia hampir 90% berada di pasar tradisional, katering serta industry processing, dan pangsa pasar terbesar konsumen daging ini adalah para pedagang bakso. Rancunya, yang dimaksud daging impor ternyata bukan saja daging murni (boneless), tetapi juga berupa variety meats/trimmings (macam-macam daging dan tetelan daging), dan edibel offal (yaitu jeroan yang terdiri dari jantung, hati, ginjal, dan sebagainya).
Dalam beberapa tahun ini, impor trimmings (tetelan) dan edible offal (jeroan) telah mampu mengintervensi pasar daging sapi lokal, sehingga melumpuhkan bisnis sapi potong di dalam negeri. Mempelajari kasus akhir tahun 2009 dan awal tahun 2010, masuknya daging impor (yang dianggap ilegal) sekitar 40 ribu ton, ternyata telah diikuti dengan menurunnya harga sapi hidup di tingkat peternak sapi lokal, yang pada gilirannya menurunkan juga minat dan motivasi untuk beternak sapi.
Dampak produksi
Dengan masuknya daging impor di luar kendali, yang tunanilai dan dengan harga yang relatif murah, tentunya akan berdampak pada menurunnya minat peternak untuk berusaha di bidang sapi potong sehingga jumlah peternak maupun jumlah populasi sapi yang dipeliharanya semakin berkurang, yang pada akhirnya akan menurunkan produksi daging sapi lokal. Indikasi terjadinya pengurasan potensi sapi potong lokal ditunjukkan oleh tidak terkendalinya pemotongan sapi betina produktif di RPH saat ini. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan LSPPI dan PPSKI pada Februari 2011 di salah satu wilayah di Jawa Barat, terungkap bahwa sebanyak 85% dari jumlah sapi yang dipotong di empat buah RPH besar (lokasi uji petik) adalah sapi betina jenis lokal yang masih produktif. Untuk bisa bersaing dengan daging/jeroan impor (daging boks) yang sangat murah, para pengusaha jagal berupaya menemukan sumber daging sapi yang murah dan dapat diperoleh dengan cara pemotongan sapi betina. Sapi betina tersebut dapat dibeli dengan harga lebih murah (hanya Rp21.000 per kg berat hidup) daripada harga sapi jantan (yaitu Rp24.000 per kg berat hidup). Padahal, menurut UU No 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang memotong sapi betina produktif akan dikenai sanksi pidana dan atau denda sebesar-besarnya Rp25 juta rupiah. Jika hal ini dibiarkan berlanjut, tidak mustahil akan terjadi pengurasan populasi dan penurunan produksi daging sapi dalam negeri, dan akhirnya Indonesia akan sepenuhnya bergantung pada daging impor, yang artinya swasembada daging sapi hanyalah sebuah mimpi.
Penanggulangan
Dalam upaya penanggulangan, yang paling mendasar adalah law enforcement. Pemerintah harus mampu secara konsisten dan konsekuen menegakkan peraturan yang berlaku. Demikian juga dalam menetapkan suatu kebijakan, hendaknya berkeadilan dalam keberpihakan dan selalu menjaga prinsip keseimbangan dalam kepentingan, sehingga tidak ada satu pun pihak yang dikorbankan.
No comments:
Post a Comment
Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.