Dengan adanya perubahan pasar dan persaingan, muncul lima paradigma baru di lingkungan internal perusahaan keluarga.
Pertama, karyawan merupakan generasi baru. Artinya, mereka mempunyai pandangan yang berbeda dengan pendiri. Loyalitas karyawan bukan merupakan kewajiban melainkan komitmen. Karyawan tingkat atas dan berpendidikan tinggi mengharapkan adanya transparansi, adanya empowerment, dan melihat karier lima tahun ke depan. Ini disebut new breed of employees. Karyawan di tingkat bawah juga mempunyai keberanian untuk melakukan tuntutan-tuntutan.
Kedua, meningkatnya isu-isu yang berkaitan dengan perburuhan, pemogokan, dan lain lain. Ketiga, tingkat profesionalitas keluarga sudah mulai meningkat. Barangkali generasi pertama memiliki tingkat pendidikan sedang-sedang saja, tetapi generasi kedua sudah lebih tinggi tingkat pendidikannya dan mempunyai profesionalitas yang lebih tinggi. Keempat adalah tuntutan adanya kompensasi yang adil dan sama (fair and equitable compensation) baik melalui sistem kompensasi yang dikaitkan dengan kompetensi, kinerja, ataupun kontribusi. Dan kelima adalah lebih transparannya sistem remunerasi, sumber daya manusia, dan organisasi.
Keinginan dan Harapan Keluarga
Untuk menyelaraskan keinginan keluarga dengan persyaratan bisnis, perusahaan keluarga perlu menyadari bahwa perusahaan didirikan berdasarkan hubungan genetik, bahwa keluarga memiliki bisnis itu, dan bahwa keluarga sangat terlibat dalam manajemen. Menjaga harmoni (harmony preservation) merupakan tugas pendiri dan sangat penting untuk menghindari perselisihan yang berdampak pada operasi perusahaan sehari-hari.
Pendiri (founder) biasanya sangat memperhatikan kesejahteraan keluarga. Salah satu keinginan mendirikan perusahaan adalah untuk kesejahteraan diri sendiri, anak dan cucunya. Banyak perusahaan keluarga yang bersedia melakukan investasi jangka panjang (long-term investment) demi mendapatkan kesejahteraan itu.
Perusahaan keluarga sangat mementingkan reputasi dan citra di dalam komunitasnya. Kekuatan perusahaan keluarga adalah keinginan keluarga untuk menjaga reputasi sehingga ada usaha-usaha dari para pendiri ketika akan pensiun untuk mulai aktif dalam kegiatan-kegiaan sosial, keagamaan, dan amal (filantropis).
Untuk menyelaraskan kepentingan keluarga dan kepentingan bisnis dapat dilakukan matching process, penyelarasan (alignment) antara keinginan keluarga dan business requirements, dengan tujuan agar proses-proses yang ada dalam operasi perusahaan berjalan lancar. Dalam penyelarasan ini kunci utamanya terletak pada upaya menggandengkan company values dan family values.
Kecenderungan Keluarga Dalam Berbisnis
Keluarga dan bisnis sejatinya adalah dua hal. Masing-masing merupakan sistem yang mempunyai elemen-elemen tersendiri. Keluarga sebagai sistem lebih bersifat emosional, karena disatukan oleh ikatan mendalam yang mempengaruhinya dalam berbisnis. Diantaranya, keluarga sangat menjunjung tinggi loyalitas dan nurturing. Selain itu keluarga juga cenderung konservatif, meminimalisir perubahan untuk menjaga mereka agar intact. Dengan kata lain, orientasi keluarga lebih ke dalam (inward looking). Sementara di sisi yang lain bisnis berbasiskan pekerjaan yang berorientasi ke pasar dan mengambil peluang dari setiap perubahan sekecil apapun. Berbeda dengan keluarga yang lebih cenderung berorientasi ke dalam, bisnis lebih berorientasi ke luar (outward looking). Dengan karakteristik ini, tentu saja tidak mudah menggabungkan dua sistem ini agar menjadi paduan yang serasi dan menguntungkan.
Dalam menjalankan roda perusahaan keluarga selalu ada tarik ulur, mana yang lebih dominan antara perusahaan (bisnis) dan keluarga. Idealnya, ada kesetimbangan. Tetapi sayangnya, kebanyakan perusahaan keluarga cenderung terjebak dominan di keluarga daripada bisnis. Mereka sibuk melihat ke dalam (inward looking) daripada outward looking untuk melihat peluang bisnis ke depan. Waktu mereka lebih banyak tersita untuk urusan-urusan internal keluarga karena adanya perbedaan pendapat. Berlarut-larut dalam konflik internal yang menghabiskan energi dan terkadang tidak bermuara pada solusi, bahkan meminggirkan fungsi bisnis itu sendiri.
Di lain pihak dominannya sistem keluarga dibanding bisnis dalam perusahaan keluarga berakibat pada kecenderungan perusahaan untuk konservatif, menolak perubahan (adverse to change), padahal bisnis menghendaki perubahan luar biasa. Berbagai alasan dapat dikemukakan, mulai dari menghormati tradisi sampai demi keutuhan keluarga. Alasan yang sepintas terdengar mulia ini kalau dicermati secara lebih seksama.
Akan lain kondisinya jika kecenderungan lebih ditekankan ke luar dengan prinsip Apa yang baik bagi perusahaan akan baik bagi keluarga. Dalam prinsip ini terkandung pesan bahwa ikatan emosi dan hubungan personal adalah modal, bukan potensi konflik. Dengan prinsip ini ikatan emosional yang sangat kuat dalam keluarga justru berkontribusi sebagai penopang bagi kuatnya budaya perusahaan. Berpegang pada norma bisnis yang diantaranya berupa pembagian peran yang jelas, transparansi, dan pay by performance, niscaya konflik keluarga bisa dihindari. Hubungan kekeluargaan yang sifatnya permanen menjadi bibit loyalitas dalam perusahaan. Di sisi yang lain loyalitas dari karyawan di luar lingkaran keluarga juga harus diapresiasi. Mengkondisikan karyawan di luar lingkaran keluarga sebagai bagian dari keluarga. Pengkondisian ini akan mengurangi resiko tingginya turn over karyawan yang membuat perusahaan menjadi lebih stabil.
Dari aspek jangka panjang yang hendak dicapai juga bisa dilihat kecenderungan keluarga dalam berbisnis. Perusahaan keluarga mula-mula didorong untuk bertahan mulai dari masih kecil. Pada hakekatnya bisnis mempunyai long-term view of the business agar tetap survive. Tidak ada keraguan sedikitpun, setiap perusahaan keluarga, entah di generasi yang ke berapa pun, mempunyai pemikiran ke arah itu, tetapi bagaimana cara mencapainya yang patut dipertanyakan.
Pertanyaan yang lebih spesifik dapat diarahkan pada Mengapa banyak perusahaan keluarga generasi kedua, ketiga, dan seterusnya menjadi lebih buruk kinerjanya? Seorang pendiri perusahaan keluarga yang sudah mewariskan kendali perusahaan kepada anak-anaknnya mengeluhkan gaya hidup anak-anaknya yang cenderung wah dan tentu saja boros. Sangat berbeda dengan apa yang dijalaninya saat merintis usaha. Bagaimana mantan pejuang itu tetap sederhana sampai di saat suksesnya. Berulang-ulang sudah ia peringatkan anak-anaknya perihal gaya hidup yang cenderung merongrong kesehatan finansial perusahaan. Dalam kasus ini muncul perbedaan nilai yang mencolok antara pendiri yang selalu berorientasi ke long-term view of the business dan generasi ke dua yang kurang fokus. Padahal long-term view menuntut investasi dan reinvestasi penghasilan, selain tentu saja investasi human capital melalui penyemaian loyalitas dan peningkatan kompetensi sumber daya manusia.
Jika ada pertanyaan kecenderungan apa yang baik bagi kelangsungan perusahaan keluarga, maka jawabannya adalah kecenderungan melihat keluar (outward looking) dan berorientasi ke jangka panjang (long-term view of the business). Inilah paradigma yang mesti dimiliki oleh keluarga.
No comments:
Post a Comment
Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.