Berbicara tentang NLP, salah satu hal yang menarik adalah menelusuri “kelahiran” dari NLP itu sendiri. Telah banyak diketahui bahwa NLP lahir dari sebuah rasa penasaran seorang mahasiswa (program Doktoral) bidang komputer, Richard Bandler, terhadap efektifitas salah satu teknik terapi psikologis yang dikenal dengan Gestalt Theraphy.
Dalam perjalanannya menelusuri rasa kepenasarannya tersebut, sejarah telah mempertemukannya dengan seorang Associate Professor di Universitas tempat dia menyelesaikan program doktor-nya. Professor tersebut, John Grinder, adalah seorang ahli linguistik yang sama-sama tertarik terhadap pengaruh lingustik (bahasa) terahdap perilaku seseorang.
Perjalanan mereka berdua pun tidak berhenti pada mencermati efektifitas Gestalt Therapy di atas, tetapi juga teknik-teknik terapi lain, seperti family therapy maupun hypnotherapy. Fokus mereka bukan pada hasil dari teknik terapi tersebut, tetapi lebih pada “apa yang dilakukan” oleh para terapis tersebut, sehingga teknik terapi tersebut memiliki efektifitas yang mengagumkan.
Akhirnya, pencarian mereka berdua pun telah menemukan “roh” dari apa yang mereka cari selama ini, yakni apa yang kita kenal dengan ”modalitas-sub modalitas”, “struktur” dan “modeling”, dan hasil pencarian mereka tersebut mereka beri ‘label’ Neuro-Lingustic Programming yang disingkat NLP.
Dan atas hasil jerih payah mereka berdua, duo jenius ini (demikian sering kali disebut) di’juluki’ Co-Creator dari NLP, dan beberapa rekan kerja mereka yang secara bersama-sama mengembangkan lebih lanjut ‘embrio’ NLP menjadi NLP seperti apa yang dapat kita pelajari sekarang disebut sebagai “kontributor”.
Menyimak perjalanan kelahiran NLP di atas, pikiran saya melayang ke beberapa cerita yang memahamkan saya bahwa sejatinya ‘fenomena’ NLP, khususnya modeling, telah terjadi jauh di waktu yang telah lampau.
Kasus modeling pertama terjadi pada sebuah “cerita” wayang, khususnya pada episode “Palguno – Palgunadi”.
Syahdan, ada seorang kesatria bernama Bambang Ekalaya, yang sangat mengidolakan Resi Durna, seorang guru olah kanuragan (beladiri dan kesaktian) dari putra-putra Barata, yakni para Pandawa dan Kurawa. Durna ini memiliki sebuah ilmu memanah yang luar biasa. Bambang Ekalaya sangat tertarik dengan ilmu memanah tersebut, dan memohon untuk diterima menjadi murid Durna. Durna menolak untuk mengajari Bambang Ekalaya.
Atas penolakan tersebut, Bambang Ekalaya merasa tertantang untuk menguasai ilmu memanah tersebut. Dia pun memutuskan untuk belajar sendiri ilmu memanah tersebut. Dan untuk membantunya menguasai ilmu memanah tersebut, dia membuat sebuah patung Resi Durna, yang dipergunakannya untuk ‘motivator’ semala dia belajar memanah, karena baginya, Resi Durna tetap seorang guru yang dia kagumi dan horrmati.
Beberapa tahun telah berlalu. Pada suatu hari, Resi Durna yang disertai Arjuna – satu-satunya pewaris ilmu memanah, sedang berburu di sebuah hutan. Betapa terkejutnya mereka ketika menemukan bangkai seekor babi hutan, yang dalam mulut dan tenggorokannya tertancap beberapa anak panah. Yang membuat mereka terkejut adalah; tertancapnya beberapa anak panah sekaligus ke dalam mulut dan tenggorokan seekor hewan adalah puncak dari ilmu memanah yang diturunkan oleh Durna ke Arjuna. Mereka berkesimpulan bahwa ada orang ke 3 yang menguasai ilmu memanah yang sangat langka dan hebat tersebut. Dan ini berbahaya bagi kelangsungan hidup para Pandawa, karena dikhawatirkan pada perang Baratayuda kelak, akan ada orang yang mampu menandingi Arjuna dalam ilmu memanah. Satu hal yang tidak boleh terjadi!
Akhirnya mereka berdua berusaha mencari, siapakah orangnya yang (juga) memiliki ilmu memanah yang hebat tersebut. Dan alangkah terkejutnya Resi Durna ketika mereka bertemu dengan orang yang mengaku membunuh babi hutan dengan cara yang tidak lazim tadi (tertancapnya beberapa anak panah sekaligus ke dalam mulut dan tenggorokan seekor hewan). Orang tersebut adalah Bambang Ekalaya.
Tentu saja Resi Durna penasaran dengan kemampuan ilmu memanah dari Bambang Ekalaya tersebut, karena di dunia hanya Durna lah yang dapat mewariskan ilmu itu. Dan lebih terkejut lagi ketika Bambang Ekalaya ditanya: “Siapa yang mengajarimu ilmu memanah itu”, dia menjawab : ”Resi Durna”.
Durna yang merasa tidak pernah mengajari Bambang Ekalaya berkata: “Ngawur kamu, muridku dalam ilmu memanah cuma satu orang, Arjuna. Kapan aku mengajarimu”.
Dengan tetap menaruh hormat, Bambang Ekalaya pun menjawab : “Memang benar Resi, Anda tidak pernah mengajarkan secara langsung. Tetapi saya telah membuat patung Anda untuk menunggui saya sewaktu belajar memanah. Dan inilah hasilnya”.
Dan konon, Durna merasa sangat khawatir dengan keselamatan Arjuna kelak. Maka dengan dalih bahwa Bambang Ekalaya telah mencuri ilmunya, Durna telah memotong kedua ibu jari Bambang Ekalaya sebagai hukumannya. Dan ketika kedua ibu jarinya telah dipotong, maka seketika itu hilanglah kemampuan Bambang Ekalaya dalam hal memanah. Sehingga ketika ditantang perang tanding oleh Arjuna, tewaslah dia.
Menyimak cerita di atas, meskipun sebuah cerita, ada satu hal yang menarik untuk kita cermati (saya memang mengajak Anda untuk mencermati cerita tersebut, sehingga saya memakai kata “kita”), yakni pada kasus bagaimana “cara” Bambang Ekalaya belajar memanah; membuat patung Resi Durna untuk dijadikan motivator sekaligus “mentor imajiner” dalam belajar memanah.
Nah, pembaca yang budiman, saya ingin bertanya kepada Anda; fenomena atau peristiwa apakah itu? Ya !! Tepat sekali; modeling.
Ternyata dalam dunia pewayangan pun telah kita dapat “menemukan” peristiwa/fenomena modeling. Padahal, cerita pewayangan tersebut telah ada sejak jauh sebelum tahun 1970 an, di mana duo jenius co-creator NLP mulai perjalanan mereka untuk “menciptakan” NLP.
Cerita pewayangan di atas, baru salah satu dari beberapa cerita yang memahamkan saya bahwa sejatinya fenomena yang kita temukan dalam NLP telah ada jauh sebelum NLP itu sendiri dikreasikan oleh kedua orang co-creatornya.
No comments:
Post a Comment
Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.