Mendapatkan kepercayaan investor untuk dapat mengelola uangnya, merupakan sebuah prestasi dan anugerah tersendiri.
Disamping itu, hal itu tanda bukti kepercayaan dari sang punya duit, sekaligus sebuah tantangan untuk “naik tingkat” mengelola sebuah usaha bagi Anda yang berencana pindah kuadran, tetapi belum mempunyai kecukupan modal sendiri. Kalau kebetulan Anda berencana dan siap untuk pindah kuadran tetapi belum memungkinan karena kendala finansial, mendapatkan kesempatan seperti ini harus bisa digunakan sebaik-baiknya.
Seorang kawan, sebut saja Iwan, kebetulan bertemu seorang investor yang merupakan mantan kolega bisnis di kantor lama yang terpukau karena track record kapabilitas ketika dulu masih menjadi pegawai. Singkat cerita, sang investor yang pernah memantau performance-nya mengajak kongsi dimana kawan saya Iwan ini mengelola perusahaan baru yang akan didirikan, dengan pembiayaan dari sang investor. Tentunya bidang yang diterjuni masih merupakan core competence-nya.
Selang beberapa lama, dengan gundah, masgul sekaligus cemas, dia bercerita bahwa strategi pemasaran yang dipakai untuk mengail konsumen yang pernah sukses diterapkan di perusahaannya lama dulu mendadak “ngadat” ketika dia terapkan di perusahaan baru yang didanai sang investor. Ada perasaan tidak enak yang muncul ketika curhat hal ini, mengingat uang yang digelontor tidak kecil. “Rasanya ingin mundur saja”, desahnya. Dia merasakan ada perubahan yang mendasar pada gaya dan perilaku konsumen sekarang yang gagal dia antisipasi.
Kebetulan cerita di atas, tidak terjadi pada satu kolega saya, beberapa teman yang mencoba mengais peruntungan membuka perusahaan baru, dalam skala yang berbeda mengalami kebuntuan ketika harus mengail dan menyedot konsumen untuk mendekat di tengah gemuruh iming-iming barang dan jasa lain yang membombardir pasar tanpa henti. Berbeda dengan 10-15 tahun yang lalu, launching sebuah produk atau jasa rumusnya simple. Misalnya di bisnisconsumer goods misalnya, dengan kualitas barang yang relatif lumayan, disebar merata secara masif lalu digempur dengan serangkain iklan di TVC yang terus menerus, beberapa saat akan terlihat hasilnya. Tapi sekarang???
Konstelasi pemasaran kini memang sudah berubah! Strategi jitu di masa lalu tidak bisa dijiplak untuk konteks ganasnya aroma pemasaran kekinian. Menggunakan satu-dua media untuk panetrasi konsumen dengan menafikan media lainnya sangatlah berbahaya dan tidak bijak. Ada sebuah cerita sebuah perusahaan baru hanya melakukan aktivitas ATL (above the line) di 1-2 stasiun TV yang dikenal dengan harapan para konsumen akan berbondong-bondong membelinya. Apa yang terjadi? Bisa ditebak, bak menggarami laut. Uang untuk promosi mengerut habis, tetapi barang yang hendak dijajakan masih teronggok penuh di gudang. Sebuah cerita yang memilukan!
Sementara itu dunia online sekarang juga menggeliat, pengguna Facebook dan Twitter di Indonesia yang menurut riset mencapai 32 juta merupakan kekuatan yang tidak bisa dipandang remeh. Bahkan kalau mereka merasa tidak puas terhadap sebuah produk atau jasa, kicauan dan komentarnya di dunia maya akan segera tersebar dalam sekejap dan cukup memerahkan telinga. Sebaliknya berita positif pun akan segera menyebar aromanya, pendek kata penyebaran-nya “tidak bisa dibredel” seperti jaman orde baru dulu. Dengan jumlah audiens online yang terus tumbuh, agaknya strategi pemasaran online pun harus mulai digarap secara serius.
Dengan kanal pemasaran yang begitu beragam dari ATL, BTL (below the line), dunia on-line (itupun beragam mulai dari blog, FaceBook. Twitter, YouTube, KasKus, dll) bagaimana dong strategi pemasaran-nya agar komunikasi bisnis-nya bisa diterima oleh khalayak yang lebih luas?
Pertama, karena jaman ini jaman mikrosegmentasi, tidak bisa mendesain strategi pemasaran menggunakan pendekatan single strategy yang cenderung menggeneralisir untuk semua kanal. Orang yang mempunyai akun di FaceBook tentu berbeda perlakuannya dengan yang punya akun di Twitter misalnya. Ataupun dengan mempunyai Blog. Jadi tiap kanal harus dijabarkan satu per satu bagaimana men-treat-nya. Melakukan panetrasi di Twitter misalnya harus lihai mereduksi kata-kata yang tidak produktif karena jatahnya cuman pendek. Atau lihai merangkai komunikasi pemasaran untuk pemilik FaceBook yang lebih cenderung suka “show-up” atau narsis. Strategi semacam ini harus tuntas sebelum produk atau jasa akan diluncurkan, kalau tidak ingin cerita sedih di atas terulang.
Kedua, dulu ada adagium “Everyone is a marketer” di perusahaan. Sekarang kayaknya lebih dari itu “Everyone is a customer service”. Dengan perasaan mudah tidak puas mudah muncul di kalangan konsumen, apalagi kalau tanggapannya kurang memuaskan, dijamin kicauan dan protesnya bakalan makin nyaring. Kalau dibiarkan semakin riuh rendah. Dan akan sangat berbahaya kalau menjadi trending topic misalnya karena semua orang jadi tahu, gara-gara keluhannya tidak ditanggapi semestinya. Bisa rusak reputasi barang dan jasa yang dijajakan. Oleh karenanya setiap orang di perusahaan harus dididik dan berperan sebagai seorang customer service.
Era Mikrosegmentasi adalah sebuah keniscayaan, jangan sampai lapak penjualan Anda tergulung karena salah menerapkan komunikasi di setiap segmen yang pastinya sangat berbeda karakternya.
No comments:
Post a Comment
Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.