Pada awal November ini, Ketua Parlemen Republik Rakyat China (RRC) Wu Bangguo melakukan kunjungan resmi ke Indonesia, dalam rangkaian kunjungannya ke beberapa negara Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Dalam kunjungannya ke Indonesia, Wu Bangguo bertemu dengan Ketua DPR-RI guna membahas berbagai isu penting dan strategis menyangkut hubungan kedua negara.
Dalam kaitan kunjungan ini, saya atas nama peribadi sengaja membuat tulisan khusus sebagai buah pemikiran pribadi “ Mengapa Harus China ? “ untuk menggambarkan bagaimana perkembangan china telah menginspirasi pikiran saya, sehingga menarik untuk mempelajari banyak hal, dengan mengunjungi berbagai kota besar di RRC sejak tahun 1996, yaitu Kunming, Beijing, Shanghai, Hanzhou, Guanzhou, Shenzhen, GuyLin, ChungQing dan beberapa kota industri lainnya. Banyak tawaran perjalanan ke Eropah dan ke Amerika, namun saya lebih tertarik untuk berkunjung ke China . Kita bisa banyak belajar bagaimana kegigihan dan kerja keras rakyat china dengan waktu kerja 7 hari dalam satu minggu, 12 jam dalam satu hari,telah membawa pembangunan ekonomi negeri ini berkembang pesat jauh meninggalkan negara-negara di kawasan Asia lainnya.
Sebagaimana dicatat, hubungan Indonesia-China telah berlangsung secara erat, khususnya dalam bidang ekonomi dan perdagangan. Pada 2010 ini, hubungan Indonesia-China telah berumur 60 tahun. Periode pasang pertama terjadi pada 1950- 1967 ketika hubungan akrab dan mesra, bahkan sampai ada sebutan Poros Jakarta-Beijing. Namun, pada 30 Oktober 1967, hubungan memasuki masa surut dan berakibat pada pembekuan hubungan diplomatik. Sejak dipulihkan kembali hubungan diplomatik kedua negara pada 1990, hubungan diplomasi kedua negara telah berjalan dengan cukup baik, dan perlu terus ditingkatkan.
Pada awal November ini, Ketua Parlemen Republik Rakyat China (RRC) Wu Bangguo melakukan kunjungan resmi ke Indonesia, dalam rangkaian kunjungannya ke beberapa negara Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Dalam kunjungannya ke Indonesia, Wu Bangguo bertemu dengan Ketua DPR-RI guna membahas berbagai isu penting dan strategis menyangkut hubungan kedua negara.
Geliat Ular Naga
Sebagai raksasa ekonomi dunia, China memang fenomenal. Sepanjang duapuluh tahun terakhir, China telah berubah wajah sedemikian rupa. Negeri yang dulu dijuluki Tirai Bambu itu kini tengah menjadi ular naga yang menggeliat. Potret kemajuan China pada saat ini, tak lepas dari perubahan paradigma pembangunan pemimpinnya.
Pada fase tigapuluh tahun pertama dari pemerintahannya (1949-1978), pembangunan ekonomi China tercatat sangat lambat. Tetapi setelah itu, sejak 1979 hingga kini, telah terjadi perubahan strategi pembangunan dengan capaian-capaian yang signifikan. Sepeninggal Mao Tse Tung, Deng Xioping telah memadukan sistem politik negerinya dengan strategi ekonomi kapitalisme. Reformasi ekonomi dilancarkan dengan membuka diri bagi investasi asing, dan di sisi lain produktivitas ekonomi domestik yang berorientasi ekspor terus digenjot. Tidak mengherankan apabila John dan Doris Naisbitt dalam “China’s Megatrends” (2010) memuji habis-habisan perubahan paradigma dan langkah pembangunan ekonomi tersebut.
Strategi tersebut cukup berhasil. Apabila pada fase 1949 - 1978, pertumbuhan ekonomi China sangat lambat, tertinggal jauh di belakang Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang, maka pada periode berikutnya telah terjadi perubahan yang sangat signifikan yang menempatkan China pada posisi raksasa ekonomi yang mencengangkan. Berdasarkan data yang beredar, selama 15 tahun terakhir hingga 2009, ekonomi Cina mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 9,9% per tahun. Fakta ini bagaimanapun cukup fenomenal.
Sejumlah Pelajaran
Apa yang dapat kita pelajari dari fenomena China? Pertama, walaupun berbeda sistem politiknya, pada hakikatnya kita membutuhkan stabilitas politik guna memastikan reformasi ekonomi berjalan dengan baik. Sistem politik apapun, tidak akan ada maknanya bagi peningkatan pembangunan ekonomi, manakala tidak menjamin kestabilan politik.
Kedua, tercatat adanya stratagi besar yang visioner dilakukan oleh pemimpin tertinggi China, yang mampu membuat arah pembangunan ekonomi China berubah, dari tertutup menjadi terbuka. Kita belajar dari China yang mampu memperkuat ketahanan ekonominya, sehingga tidak hanya siap berkompetisi secara global, tetapi juga menjadi aktor utama dalam globalisasi ekonomi.
Ketiga, adanya fokus pembangunan ekonomi yang didukung oleh kualitas pembangunan bidang-bidang lainnya. Selain stabilitas politik, China juga menjamin adanya kepastian hukum. Kita terkesan dengan langkah-langkah tegas pemerintah di sana dalam memberantas korupsi. Kita terkesan dengan kata-kata Deng Xioping, “Saya tidak peduli apakah kucing itu hitam atau putih, yang penting dapat menangkap tikus”.
Adanya stabilitas politik, visi besar pemimpin, kepastian hukum serta semangat kerja yang tinggi dengan waktu kerja melebihi standard yang berlaku umum, itulah yang membuat laju pembangunan ekonomi bergerak sedemikian cepat, menempatkan China sebagai raksasa yang kian disegani.
Peningkatan Kerjasama Ekonomi
Pada saat ini, China termasuk negara yang istimewa dalam konteks hubungannya dengan negara-negara ASEAN, mengingat penerapan ACFTA (ASEAN–China Free Trade Area) pada 2010 ini. Setelah pembentukannya, ACFTA menjadi kawasan perdagangan bebas terbesar sedunia dalam ukuran jumlah penduduk dan ketiga terbesar dalam ukuran volume perdagangan, setelah Kawasan Ekonomi Eropa dan NAFTA (North America Free Trade Area).
Bagi Indonesia, bagaimanapun China sangat strategis, tidak saja posisinya berada di kawasan Asia, tetapi juga memiliki hubungan sosio-historis yang sudah demikian lama. Indonesia dan China, serta negara-negara lain kawasan ASEAN tentu berkepentingan untuk memajukan ekonomi kawasan, sehingga posisi China dipandang lebih strategis dibandingkan Eropa atau Amerika Serikat, misalnya.
Bagi Indonesia, dalam konteks globalisasi ekonomi dan perdagangan, mau tidak mau harus belajar pada kemajuan ekonomi China, dan meningkatkan kerjasama ekonomi secara lebih erat dan saling menguntungkan. Hubungan ekonomi kedua negara selama ini telah mengalami kemajuan signifikan. Data neraca perdagangan Indonesia-China pada 1985 hanya bernilai US$231 juta, tetapi terus meningkat menjadi US$1,48 miliar pada 1990, setelah hubungan diplomatik pulih kembali. Setelah kemitraan strategis Rl-China dibentuk pada 2005, volume dagang kedua negara terus melaju menjadi US$31,5 miliar (2008) dan turun sedikit akibat krisis global menjadi US$28,3 miliar (2009). Pada saat ini, nilai perdagangan kedua negara selama periode Januari-Agustus 2010 tercatat meningkat lebih dari 50 persen, dibanding periode sama 2009.
Selain peningkatan hubungan ekonomi, kedua negara terus meningkatkan hubungan non-ekonomi. Dalam bidang politik, tentu saja kedua negara harus menghormati kedaulatan masing-masing negara. Dalam konteks pengambangan pengaruh yang soft power, kedua negara meningkatkan hubungan sosial-budaya, guna meningkatkan keeratan hubungan dan saling pengertian, sehingga baik Indonesia maupun China mampu memainkan peran strategis dan positif dalam lingkup ASEAN dan internasional.
Dalam kerangka peningkatan hubungan di berbagai bidang itulah, tentu saja kunjungan Ketua Parlemen RRC Wu Bangguo menjadi sangat relevan. Kita berharap, kedua negara mampu mencatat berbagai permasalahan yang dihadapi kedua negara, guna memperoleh solusi dan kerjasama yang lebih erat dan saling menguntungkan.
OPINI SINAR HARAPAN oleh Marzuki Alie 8 November 2010
disadur kembali oleh Jorganizer
No comments:
Post a Comment
Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.