“Salus populi suprema est lex.” (kemaslahatan masyarakat adalah hukum tertinggi)
– Marcus Tullius Cicero.
Untuk memperbaiki kinerja keuangan negaranya, pemerintah Perancis bakal menempuh langkah serius untuk: memperpanjang usia pensiun! Menaker Perancis, Eric Woerth, saat mengumumkan perpanjangan usia pensiun (secara bertahap) dari 60 tahun menjadi 62 tahun mulai tahun 2018 mengatakan, “Bekerja lebih lama tak bisa dihindarkan. Seluruh Eropa melakukannya.” Bahkan Presiden Nicolas Sarkozy berani berharap bahwa langkah ini bakalan meyakinkan para investor atas keseriusan Perancis untuk memperbaiki keuangan negaranya. Bahkan langkah ini juga diyakininya kondusif terhadap upayanya mempertahankan rating kredit Perancis di level AAA (triple A).
Diberitakan pula, bahwa sebetulnya langkah Perancis ini lebih lunak dibanding beberapa negara Eropa lainnya, seperti misalnya: Jerman, yang bakal menaikkan usia pensiun menjadi 67 tahun, sementara standar usia pensiun di Inggris dan Italia adalah 65 tahun.
Sementara itu pemerintahan baru Jepang di bawah PM Naoto Kan punya cara lain untuk mengerek pertumbuhan ekonomi ke level 2%, yaitu: memangkas pajak korporasi. Dengan memotong pajak korporasi dari 39.54% menjadi 25%, harapannya investor asing bakal tertarik untuk berinvestasi di negara matahari terbit itu.
Seiring dengan upaya Jepang untuk menarik investasi asing ke negerinya, dua perusahaan otomotifnya (Honda dan Toyota) dilanda prahara pemogokan buruh pabriknya di China. Seperti dilaporkan Bloomberg (yang dikutip harian Kontan, Senin 21 Juni 2010), fenomena pemogokan buruh pabrik di China dalam sebulan ini sedang marak di pabrik-pabrik milik perusahaan asing. Tuntutan mereka seragam: kenaikan gaji, yang disebabkan pula oleh susutnya pasokan tenaga kerja murah di China.
Fenomena menarik lainnya terjadi di Inggris. Negara yang sudah sangat maju ini ternyata masih merasa bahwa standar pendidikan di negerinya sendiri itu masih perlu ditingkatkan. Mereka mau mendirikan sekolah-sekolah gratis bagi warganya. Mulai pertengahan Juni tahun ini, pemerintah Inggris menawarkan kepada semua pihak (orang tua, guru, yayasan sosial) yang ingin membuka sekolah gratis untuk mengajukan proposalnya kepada pemerintah. Di dalam proposal itu, mereka mesti menjelaskan visi, misi serta metode pengajaran dan kurikulum yang bakal menjadi acuannya. Dan manakala usulan itu disetujui, maka proyek sekolahan mereka itu akan mendapat pendanaan dari pemerintah. Sekolah gratis ini bakal punya fasilitas yang setara dengan sekolah-sekolah mahal, seperti misalnya: jumlah murid yang lebih sedikit dalam satu kelas, guru-guru yang berkualitas, serta berdisiplin tinggi.
***
Inggris demi mempertahankan posisi unggulnya terus berkutat dan “mati-matian” mengolah modal manusia (human capital)nya. Seperti juga Perancis (serta Jerman dan Italia) yang menaikkan standar usia pensiunnya demi mendayagunakan asset manusianya secara optimal. Sementara Jepang, yang sudah kita kenal dengan etos kerja keras, keuletan dan ketekunannya masih perlu terus berjibaku dengan menurunkan tarif fiskalnya demi memberi insentif pada investor asing agar mau masuk ke negaranya. Itu pun “hanya” untuk mempertahankan level pertumbuhan ekonomi sebesar 2%. Sementara beberapa tentakel gurita usahanya di manca negara sedang mengalami prahara pemogokan buruh demi tuntutan kenaikan upah.
Bercermin dari situ, kita melihat bagaimana state-apparatus bekerja menggerakkan mesin birokrasi pemerintahan demi memfasilitasi terwujudnya kemaslahatan segenap warganya. Masalah yang dihadapi setiap negara (pemerintah dan masyarakatnya) selalu ada. Spektrum persoalannya bukan lagi lokal, tetapi sudah mondial.
Bagaimana supaya tetap fokus dan punya disiplin untuk tetap mengacu pada strategi pembangunan multi-dimensi. Energi-sosial sebagai modal-sosial seyogianya dikapitalisasi demi menumbuhkan dan meningkatkan kualitas asset bangsa. Bukannya malah dihambur-hambur percuma untuk berkutat dengan pelbagai isu sosial yang trivial, remeh-temeh, hanya buang-buang waktu dan tenaga demi pemuasan hasrat libidinal murahan. Yang dikhawatirkan adalah terjadinya pendangkalan budaya. Suatu kegilaan (irrasionalitas) hasrat yang mengendalikan perilaku individual yang tampil serta mengisi ruang publik dengan segala justifikasi (rasionalisasi)nya, dan – celakanya – lalu menjadi wacana sosial yang sama sekali tidak mencerdaskan, bahkan menyesatkan.
Belajar dari negara maju (misalnya contoh Inggris di atas) yang biarpun sudah demikian advance toh tetap berupaya keras untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan bangsanya. Suatu bahan refleksi dan introspeksi yang bagus terhadap kebijakan-kebijakan publik yang ujungnya hanya memproduksi budaya serba instan, tak peduli proses, yang telah melahirkan generasi bermentalitas jalan pintas. Banalitas budaya yang akut inilah yang kita khawatirkan bakal menjadi kerangka acuan (frame of reference) serta kerangka kerja (frame of work) bangsa Indonesia di kancah pertarungan global.
No comments:
Post a Comment
Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.