“Semuanya dalam keadaan bergerak-mengalir, panta rei,” begitu ujar filsuf
Herakleitos sekitar 2500 tahun lampau. Lalu, 1500 tahun kemudian (persisnya
tahun 1014), Uskup Agung Wulfstan dalam sebuah kotbahnya di York mengatakan,
“Dunia bergerak dengan cepat dan tengah mendekati titik nadirnya.”
Yang ingin dikatakan, berita tentang perubahan itu sendiri bukanlah barang baru. Hal yang mungkin telah membuat banyak orang kaget dan terkesima oleh gerak perubahan yang ada sekarang adalah lantaran kondisi ketidaktahuan(ketidaksadaran)nya sendiri. Sejarah jika dikaji akan banyak memberi pelajaran dan hikmat untuk meniti masa kini menuju masa depan.
***
Manajemen, pada hakekatnya adalah ilmu sekaligus seni mengelola perubahan. Artinya, pada tataran kelompok, bagaimana mentransformasikan organisasi dari suatu kondisi tertentu menuju kondisi ideal.
Jadi, sudah pada galibnya jika manajemen sebagai sistem dan para manajer sebagai agensinya senantiasa bergiat di tengah ketegangan-kreatif ini. Selalu mencari cara terbaik (paling efisien dan efektif) dalam rangka mencapai tujuannya. Tujuan itu sendiri, pada gilirannya, akan terus ditarik ke suatu arah yang lebih tinggi lagi. Inilah aspek dinamisnya.
Manajemen akan selalu bekerja seturut cara penalaran tertentu. Secara naluriah –
di dalam ruang lingkup pengaruhnya – ia akan mengusahakan suatu kondisi keteraturan (order). Keteraturan adalah prasyarat, landasan untuk mencapai tingkat efisiensi dan efektifitas tertinggi. Dari situ bangunan konseptual perencanaan dibangun. Perencanaan diperlukan demi optimalisasi penggunaan sumber daya. Optimal artinya pemakaian yang minimal untuk mencapai hasil maksimal.
Akibat tuntutan pertumbuhan, dan tekanan lingkungan bisnis, maka realitas manajemen organisasi menjadi dialektika yang kerap terkesan paradoksal. Ia mesti
membangun suatu tingkat kestabilan tertentu di tengah guncangan yang ada, dan pada saatnya – jika diperlukan – merekayasa guncangan di tengah kondisi kestabilan (baca: kemapanan yang melenakan). Sintesisnya adalah perencanaan strategis.
Namun persoalannya, perencanaan strategis (model dulu) yang disusun dalam tahapan 1 tahun sampai 5 tahunan, bahkan 10 tahun atau 25 tahun ke depan, saat ini dirasa kurang kurang memadai lagi. Tantangannya, bagaimana perencanaan strategik bisa dibuat jika asumsi-asumsi yang jadi fundamentalnya kerap berubah secara cepat dan signifikan?
***
Dalam setiap kondisi turbulen akibat perubahan faktor eksternal yang tinggi intensitasnya, senantiasa mengakibatkan situasi kerawanan (lekas kena, tidak kebal). Kerawanan ini akibat tekanan kuat faktor eksternal, atau karena memang kondisi internalnya yang rapuh dan tidak siap lantaran tidak antisipatif sikapnya.
Di sinilah Philip Kotler, mahaguru manajemen pemasaran kaliber dunia yang kali ini berpasangan dengan John Caslione, konsultan manajemen, menawarkan sebuah model yang secara praktis bisa dipakai para manajer untuk menyiasati dan sekaligus mengambil kesempatan yang muncul dari kondisi kerawanan itu.
Intinya, demi menghindari organisasi terjebak dalam kondisi kerawanan, diperlukan suatu daya-lenting (resiliency) yang cukup tinggi. Laksana seorang pesilat yang bisa melenting lincah keluar dari kepungan musuh dan bisa menyiasati kondisinya sedemikian rupa sehingga mampu bertahan dan bahkan keluar sebagai pemenang.
Model yang ditawarkan terdiri dari 3 tahap: Pertama, perlu dibangun sebuah mekanisme peringatan-dini (Early-Warning System), yang intinya adalah sebuah sistem manajemen informasi yang bisa berfungsi sebagai radar yang cukup peka untuk menangkap sinyal-sinyal perubahan.
Kedua, dari informasi yang terus mengalir kemudian dikonstruksilah beberapa skenario kunci. Lalu yang terakhir, memilih skenario serta strateginya. Di tahap ini, dimensi kepemimpinan dan keberanian mengambil keputusan menjadi imperatif.
Model ini (Kotler & Caslione menyebutnya: the chaotic model) mesti diputar dengan disiplin yang ketat. Dan untuk menerapkan model itu dipersyaratkan perubahan perilaku tertentu dari para pimpinan:
Mereka harus mau melihat perubahan dengan mata kepalanya sendiri. Caranya bisa dengan mengunjungi tempat-tempat di mana perubahan itu sedang terjadi, bukan sekedar dengan membacanya dari majalah bisnis, atau mendengar dari konsultan, atau sekedar tahu dari laporan staf. Ini semua karena akselerasi perubahan yang terjadi berbanding lurus dengan tingkat komitment keterlibatan yang dituntut dari para pemimpinnya. Tingkat komitmen dan keterlibatan ini, pada gilirannya berbanding lurus dengan tingkat pemahaman realitas bisnisnya. Tingkat pemahaman inilah yang bakal menentukan kualitas keputusan yang diambil.
Para pembuat keputusan mesti menghilangkan saringan informasi yang bisa mendistorsi kenyataan. Pastikan bahwa kejernihan pandangannya tidak disensor oleh laporan-laporan bergaya ABS yang pekat berlumur kepentingan. Aksi terobosan sangat disarankan, seperti misalnya bicara langsung dengan mereka yang tidak jadi pelanggan Anda. Atau pergi makan malam dengan karyawan Anda yang paling berani berpikir-bebas. Free-thinkersini tidak terbebani kepentingan office-politics.
Dibandingkan dengan buku, “Marketing in Crisis: Marketing Therapy, Menyerang Pasar dan Mengambil Manfaat dari Krisis Ekonomi”ditulis oleh Dr. Rhenald Kasali(Penerbit Gramedia, 2009) yang dengan cara sangat menarik memberi penekanan pada dimensi kepemimpinan serta aspek OD (organization development) yang berangkat dari kondisi Indonesia untuk menyiasati kerawanan yang diakibatkan terpaan krisis global (yang dimulai dari Amerika), maka buku Kotler & Caslione ini bisa dianggap mewakili pandangan yang datang dari kawasan yang telah mengakibatkan krisis global itu terjadi.
Buku ini dilengkapi juga dengan pelbagai matriks dan tabel yang memuat perincian
hal apa saja yang mesti diukur atau diperhatikan. Terhadap upaya Kotler & Caslione yang lewat buku ini menawarkan suatu kerangka-berpikir dan seperangkat konsep praktis menyiasati krisis, persis di saat guncangan itu sedang terjadi, jelas menunjukkan kepiawaian mereka dalam praksis ilmu manajemen pemasaran yang mereka ajarkan sendiri.
(baca selengkapnya di artikel terlampir, dari Harian KOMPAS, Minggu 31 Mei 2009)
Oleh: Andre Vincent Wenas, artikel ini disadur kembali oleh: Jorganizer Sang Sejarawan
No comments:
Post a Comment
Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.