Wednesday, October 7, 2009

Deindustrialisasi Indonesia.

Perekonomian Indonesia mengalami gejala deindustrialisasi dini. Perekonomian yang sebelum krisis 1997/1998 ditopang industri kini bergeser ke sektor jasa, terutama jasa modern yang kurang menyerap tenaga kerja. Akibatnya, jumlah penganggur semakin besar.

Pengamat ekonomi Faisal Basri mengemukakan gejala deindustrialisasi itu dalam finalisasi visi 2030 dan peta jalan (roadmap) 2015 Pembangunan Industri Pengolahan di Jakarta, Selasa (6/10). Diskusi putaran kedua yang menghadirkan sejumlah pemimpin media massa itu membahas Kluster Unggulan Pendalaman Struktur Industri, yakni industri alat telekomunikasi dan informatika, logam dasar dan mesin, serta petrokimia.

Faisal mengatakan, salah satu pemicu deindustrialisasi adalah rendahnya dukungan perbankan. Kredit ke sektor industri secara nominal tetap tumbuh, tetapi persentasenya makin rendah.

Tahun 1985, menurut Faisal, hampir 40 persen kredit perbankan ke sektor industri pengolahan. Tahun 2008, industri manufaktur hanya memperoleh 15 persen kredit perbankan.

"Perbankan lebih tertarik pada pembiayaan konsumsi dan pembangunan properti. Penurunan volume kredit perbankan berarti kelangkaan pembiayaan investasi dan modal kerja bagi sektor industri," kata Faisal.

Ketua Umum Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik Indonesia Amir Sambodo mengatakan, perbankan lebih berkonsentrasi pada penyaluran kredit ke sektor konsumsi dibandingkan industri. Kondisi ini diperparah dengan kebijakan pemerintah dalam harmonisasi tarif dan kebijakan infrastruktur pendukung pertumbuhan industri.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Industri, Riset, dan Teknologi Rahmat Gobel selaku penyelenggara diskusi secara terpisah mengatakan, lima tahun ke depan, pemerintah perlu memberi prioritas kebijakan pada pendalaman struktur industri pada sektor telematika, barang modal, dan perkakas.

"Langkah ini penting untuk meningkatkan daya saing dan ketahanan perekonomian nasional menghadapi era persaingan bebas ke depan," kata Rahmat.

Menurut Rahmat, daya saing perekonomian suatu negara akan sangat ditentukan oleh penguasaan atas teknologi informasi dan teknologi.

Pertumbuhan menurun

Gejala deindustrialisasi ditunjukkan dengan pertumbuhan industri manufaktur. Sejak krisis moneter 1997/1998, pertumbuhan industri manufaktur turun sangat drastis. Sepuluh tahun menjelang krisis (1987-1996), industri manufaktur nonminyak dan gas tumbuh rata-rata 12 persen per tahun. Lima poin lebih tinggi daripada produk domestik bruto (PDB) saat itu (6,9 persen).

Setelah krisis (2000-2008), industri manufaktur nonmigas rata-rata tumbuh 5,7 persen per tahun, sedikit lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan PDB (5,2 persen). Kini, pertumbuhan industri manufaktur cenderung turun lebih rendah daripada PDB.

Lima tahun terakhir (2004- 2008), industri manufaktur nonmigas tumbuh rata-rata 5,6 persen per tahun, lebih rendah daripada rata-rata pertumbuhan PDB (5,7 persen). Sejalan dengan penurunannya, peranan industri manufaktur mendorong pertumbuhan PDB kian berkurang, bahkan tergeser sektor jasa.

Ketua Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI) Arifin Tasrif mengatakan, kebijakan buka- tutup impor yang diambil pemerintah kerap merugikan industri. Padahal, industri domestik sesungguhnya mempunyai dan menguasai bahan baku. "Kita seharusnya jangan hanya mengamankan cash flow, tetapi juga menciptakan value terkait peluang pasar global," kata Arifin. (OSA)


No comments:

Post a Comment

Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.

Followers