Friday, March 25, 2011

Pendidikan bagi Marketer

Agaknya kita tidak perlu berpanjang kata mengulang ucapan banyak orang tentang betapa pentingnya pendidikan.

Mendiang Peter F. Drucker, sang begawan marketing telah diberi kesempatan hampir satu abad (usianya hampir 96 tahun saat meninggal dunia) untuk menyaksikan dan ‘mengajarkan’ apa yang sudah kita ketahui betul. Bahwa sesungguhnya: education was the single most important resource for any advanced society. Pendidikan adalah modal utama peradaban modern.

It's no big deal, semua orang sudah tahu. Itu pasti yang Anda pikirkan. Tapi, kalau Drucker yang sebelum berpulang tanggal 11 November lalu masih sempat-sempatnya mengkompilasikan idenya (dalam sebuah buku yang bakal terbit Januari 2006) tentang pentingnya mendidik marketer? Now, we are talking!

Tulisan ini ingin menunjukkan gagasan sang ‘empu manajemen’ bagaimana seyogianya dunia pendidikan menggodog customer-nya menjadi marketer sejati.

KNOWLEDGE WORKERS

Pendidikan adalah institusi utama, atau meminjam istilah Drucker, ‘the defining organ of all modern institutions’ yang merupakan inti peradaban modern. Pendidikan jugalah menurut Drucker yang telah mengevolusi dunia bisnis menjadi tak hanya sekedar profit oriented, tapi juga punya sumbangsih signifikan pada kehidupan.

Akibatnya, masih meminjam Drucker, roda bisnis serta-merta akan berpindah jalur dari ‘economy of goods’ menjadi ‘economy of knowledge’. Dengan sendirinya pula penduduk bumi ini akan berevolusi dari masyarakat industrial menuju masyarakat yang didominasi oleh brain/knowledge workers.

Ini sesuai betul dengan spirit Drucker yang selalu lebih suka menyebut dirinya sebagai social ecologist daripada marketing guru, seperti julukan yang diberikan antara lain oleh Bill Gates dan George Bush—dua orang berpengaruh yang terang-terangan mengakui Drucker sebagai guru mereka.

Drucker yang menghabiskan lebih dari separuh hayatnya di AmerIka Serikat (AS) mengkritik pendidikan tinggi di negara tersebut. Menurutnya, kampus-kampus AS telah ‘gagal’ mengantisipasi knowledge economy ini dan akan segera menjadi fosil, apabila tidak cepat-cepat berbenah diri.

Ia jelas-jelas mengacu pada perusahaan Amerika yang walaupun dipenuhi oleh lulusan MBA ivy-league, namun ironisnya semakin cenderung mengadopsi gaya manajemen Jepang belakangan ini.

Ini bukan berita baru lagi, bahkan tidak hanya di AS saja, pabrik mobil bermerek Jepang pun telah buka cabang di Inggris dengan merekrut penduduk lokal sebagai pekerja. Dalam waktu dekat langkah itu segera disusul oleh China, yang beberapa bulan lalu sukses memasarkan ‘mocin’ perdana di benua Eropa, hingga kini leluasa lalu-lalang di jalanan Amsterdam.

Apakah kunci utama ekonomi kedua negara Asia ini sehingga membuat AS ketar-ketir? Jawabannya terletak pada semangat entrepreneur yang dimiliki oleh kedua negara tersebut. Bukanlah para eksekutif atau para pekerja, melainkan wiraswastawan yang dulunya adalah ‘customer’ dunia pendidikan modern, yang kini telah menjelma menjadi ‘marketer’ secara sukarela, bagi organisasi masing-masing, dan dalam skala besar mewakili negara asalnya.

Apa aset utama para entrepreneur ini? Pengetahuan, tentu saja! Dalam skala makro, orang-orang inilah yang akan menerjemahkan dan menjembatani kebijakan para manajer puncak—pemerintah negara Indonesia, salah satunya—agar membumi dan dapat dimengerti oleh tenaga kerja yang jumlahnya ratusan juta. Suatu potensi luar biasa.

TANTANGAN BAGI INDONESIA

Inilah yang sesungguhnya menjadi tantangan pendidikan tinggi di Indonesia: bagaimana caranya mendidik para entrepreneur tangguh. Sayangnya, dunia pendidikan di Tanah Air dewasa ini memprihatinkan sekali. Di satu sisi, kita trenyuh menyaksikan retak menara gading dunia pendidikan Indonesia yang berusaha disembunyikan—minim sekali lembaga pendidikan tinggi kita yang sanggup bersaing secara global. Namun di sisi lain, kita juga miris melihat bagaimana pribadi-pribadi berjiwa miskin rela menghambur-hamburkan duit demi membeli gelar kosong.

Sudah begitu, political-will pemerintah pun kurang mendukung, kalau tak mau dibilang kontradiktif. Walau telah berulang-ulang ditekankan dan disadari betul bahwa memberi kail jauh lebih berguna daripada ikan, akan tetapi kebijakan bantuan tunai langsung (BLT) yang jelas-jelas mematikan semangat entrepreneur masyarakat Indonesia tetap saja dijalankan.

Jelas, langkah penting penyelamatan bangsa, sekaligus juga mempersiapkan transformasi industri menuju knowledge economy, adalah dengan mendidik para entrepreneur! Pendidikan bukan lagi bertujuan untuk menciptakan jutaan lulusan perguruan tinggi tanpa keahlian, melainkan entrepreneur alias wiraswastawan. Mereka inilah yang nantinya mampu mengadaptasi long-term objectives menjadi immediate goals. Dengan kata lain, menerjemahkan kebijakan eksekutif puncak dalam menciptakan kail bagi rakyat kecil.

SUN TZU TELAH MATI

Sun Tzu telah mati, dan itu adalah pesan ekonomi modern. Dunia kini bukan lagi membutuhkan jenderal bisnis ahli perang yang jumlahnya hanya segelintir. Perlombaan bukan lagi untuk menjadi jawara di puncak, tapi bagaimana menjalin networking alias kerja sama. Pendek kata, aliansi adalah ‘new war’ dalam dunia bisnis.

Pelajaran berharga ini saya petik dari seorang entrepreneur Tanah Air. Logikanya sederhana saja. Untuk menjadi besar, Anda perlu teman, bukan? Ini sudah pasti, karena dengan temanlah jaringan bisnis berkembang pesat. Lalu kalau Anda bertanya lebih lanjut, ‘Apakah pemain besar butuh teman juga?’ Jawabannya jelas: ya!

Pelaku bisnis raksasa justru semakin membutuhkan teman-teman untuk mendukung. Kalau mereka ber-solo-karier, tanpa keberadaan rekan-rekan selevel, para pemain besar akan kesulitan sendiri, mengingat gap yang terlalu menjulang dengan pebisnis di bawahnya.

Silakan tanya eksekutif mana pun, mereka pasti tahu persis betapa ngerinya bertengger di pucuk pimpinan tanpa dukungan kolega. Jangan dikira berada di puncak gunung selalu nikmat. It's lonely on the top. Itu momok yang mereka takutkan!

Oleh karena itulah, aliansi perlu dikembangkan. Seperti yang akan dilakukan IPB dalam waktu dekat, dengan mengadakan kerja sama internasional China Centre, misalnya. Kegiatan ini akan menggandeng kolaborasi akademik dan bisnis dari berbagai pihak, termasuk yang berasal dari negeri Sun Tzu sendiri.

China dengan warisan pemikiran Sun Tzu justru kini berlomba dan proaktif mencari aliansi sebanyak mungkin. Tidak perlu menjadi seorang jenius untuk menangkap pesan yang disampaikan, bukan? Alliance indeed is the ‘new war’. Bila anda masih ragu, penduduk berjumlah 1,3 miliar tidak mungkin salah mengintepretasikan Sun Tzu, bukan?

Kerja sama dalam mendidik para marketer ini bukanlah kerja sederhana, memang. Namun, seperti yang diyakini Drucker, ‘Saving civilisation from barbarism, lays in the hundrum science of educating the marketer.’

Tugas untuk para marketer memang tidak ringan. Di pundak Andalah terpikul masa-depan peradaban dunia. Drucker telah melemparkan tongkat estafetnya. Pertanyaannya sekarang: apakah Anda siap menerimanya?

No comments:

Post a Comment

Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.

Followers