Tuesday, March 15, 2011

Para Ekonom yang bersenjata

PAGI hari, 1 Oktober 1965, Presiden Lyndon Johnson di Gedung Putih menerima laporan singkat dari Central Intelligence Agency (CIA) mengenai perkembangan situasi di Indonesia: “Pergeseran kekuasaan yang mungkin punya dampak luas sedang terjadi di Jakarta.”

Penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan penyusutan kekuasaan Sukarno mengubah tataran hubungan Indonesia-Amerika Serikat (AS). Bagi Soeharto dan sekutu militernya, tugas penting mereka bersifat politis: menyingkirkan Sukarnois dari pemerintahan, mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia, melanjutkan serangan terhadap sisa-sisa PKI, dan memperkuat cengkeraman tentara atas kekuasaan.

Sementara AS berkepentingan terhadap sebuah rezim yang moderat, dengan mulai mengalihkan perhatian dari antikomunisme ke pemberian bantuan untuk teknokrat dan tentara Indonesia. Untuk mencapai tujuan itu, mereka harus mengharmoniskan persekutuan militer-teknokrat yang akan mendominasi ranah politik dan ekonomi. Mereka pun berupaya memelihara dan melindungi sekutu-sekutu terkuat mereka, “orang sipil seperti Adam Malik dan ekonom-ekonom Universitas Indonesia, yang tampil sebagai penasihat utama Soeharto dan pendukung utama stabilitas ekonomi yang berorientasi pasar,” tulis Bradley R. Simpson dalam buku ini.

Arah mazhab ekonomi Universitas Indonesia (UI) condong ke AS berkat Sumitro Djojohadikusumo, dekan Fakultas Ekonomi UI kala itu. Dia meminta para pejabat Rockefeller Foundation agar dia bisa mereorganisasi Fakultas Ekonomi UI “sesuai rambu-rambu Amerika”, baik dalam hal riset maupun organisasi. Sumitro, mantan menteri perdagangan dan menteri keuangan, adalah pakar ekonomi terkemuka Indonesia, anggota Partai Sosialis Indonesia dan pendukung pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Meski diasingkan pada 1957, dia menjaga hubungan dekat dengan Departemen Luar Negeri AS dan CIA selama Demokrasi Terpimpin, sampai dipanggil kembali ke Indonesia oleh Soeharto pada 1966.

Para ekonom UI di sekitar Sumitro adalah Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, Subroto, Ali Wardhana, dan Emil Salim. Mereka memainkan peran penting dalam menetapkan kebijakan ekonomi Indonesia dan meruntuhkan bangunan Ekonomi Terpimpin Sukarno, sampai-sampai mereka mendapat julukan “Mafia Berkeley”.

Soeharto menyadari bahwa dia memerlukan bantuan para ekonom tersebut, dan segera memerintahkan mereka bekerja. Sepanjang musim semi 1966, Widjojo, Salim, dan Wardhana berpindah dari satu rapat ke rapat lain dengan amanat yang sama: perekonomian Indonesia sangat buruk dan langkah-langkah tegas harus diambil untuk menyelamatkannya. Kedutaan AS di Jakarta membantu dengan mengirimkan sinyal kepada petinggi militer Indonesia bahwa “Indonesia tak akan mendapatkan bantuan sampai mereka melakukan yang disarankan oleh para ekonom itu.”

Para petinggi AS menggambarkan para ekonom itu dengan istilah-istilah yang membanggakan: “unggulan, mampu, berpikiran jernih, rasional, berorientasi pada tindakan, peka terhadap hal-hal yang mendesak.” Para ekonom sendiri menggambarkan diri mereka dan proses yang mereka pelopori dengan istilah serupa, menekankan bahwa “modernisasi dan rasionalitas terkait sangat erat.” Bagi Widjojo, kepala arsitek kebijakan ekonomi Orde Baru, usaha jajarannya adalah menciptakan ekonomi pasar bebas dan melucuti kontrol negara, sejauh keduanya secara politis bisa dilakukan.

Di belakang para ekonom itu adalah Adam Malik, “orang paling brilian dan dinamis dalam pemerintahan Indonesia. Seorang yang berkarakter, pemberani, dan kemampuan bertindaknya tidak seperti orang Indonesia,” kata Duta Besar AS Marshall Green; kontras dengan Soeharto yang “berbelit-belit, lamban, dan Jawa mistis.”

Pada akhir Agustus 1966, tentara mengambil langkah penting ke arah modernisasi ketika komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) Suwarto menyelenggarakan seminar di Bandung. Tujuan seminar, membangun konsensus di kalangan petinggi Angkatan Darat tentang kebijakan politik, ekonomi, dan hubungan luar negeri. Para ekonom, yang sebagian besar bekerja sambilan di Seskoad, membingkai seluruh diskusi dengan menekankan bahwa “kegagalan ekonomi berarti kegagalan seluruh rezim.” Mereka juga menghembuskan isu tuntutan reformasi pajak, pengetatan pemerintah, aksi sipil, dan langkah-langkah stabilisasi yang tegas. Rekomendasi para ekonom itu diterima tanpa diskusi berkepanjangan.

Tak lama setelah seminar itu, Green mengirim surat ke Gedung Putih untuk mendesak agar mengundang secara resmi Adam Malik dan membuat keputusan presidensial tentang pemberian bantuan, sembari mengemukakan kemajuan di Jakarta terkait konfrontasi, inflasi, pembayaran utang, dan stabilisasi. Dia merekomendasikan suatu program terbatas tentang gerakan rakyat sipil, pelatihan mahasiswa dan partisipan, bahan-bahan mentah, dan bantuan suku cadang.

Adam Malik dan Sultan Hamengkubuwono IX kemudian mengirimkan daftar kebutuhan pemerintah yang mendesak senilai $500 juta kepada Menteri Luar Negeri AS Dean Rusk. Rusk berkeberatan dan hanya menyetujui bantuan yang terbatas. Green mendesak. Dia berusaha meyakinkan bahwa sangatlah penting mendukung para penasihat ekonomi Soeharto, sembari memperingatkan bahwa mereka “akan mundur jika mereka merasa dukungan Amerika Serikat untuk pemerintah yang baru masih kurang.”

Pada akhir Agustus 1966, Presiden Johnson akhirnya menandatangani keputusan yang mengesahkan pemberian bantuan ke Indonesia. Pada hari yang sama, Departemen Luar Negeri mengirim berita ke Jakarta bahwa akan mempertimbangkan kesepakatan PL 480 –atau Food for Peace (bantuan pangan Amerika Serikat)– yang lain untuk 150 ribu bal kapas, yang kemudian diperluas menjadi pinjaman $10 juta untuk suku cadang dan bahan-bahan mentah. Dua minggu kemudian, ketika Parlemen mengadakan pemungutan suara atas rancangan undang-undang bantuan luar negeri senilai $3,09 miliar yang diajukan pemerintah, mereka menghapus larangan bantuan untuk Indonesia yang ditetapkan tahun sebelumnya, dan mengizinkan pemberian bantuan kembali secara penuh.

Washington terus mendukung pemerintahan otoriter di Indonesia sekaligus bergantung pada kekuatan militer Indonesia sebagai penjamin stabilitas ekonomi dan politik. Kebijakan ini menentukan hubungan Amerika Serikat dengan Jakarta selama 30 tahun kemudian dan mempengaruhi perjalanan sejarah Indonesia.

“Kajian mendetail ini menghadirkan pemahaman baru mengenai banyak peristiwa yang tidak diketahui umum. Buku ini merupakan sebuah sumbangan berharga bagi kajian sejarah Indonesia pascakolonial dan diplomasi Perang Dingin Amerika Serikat dan akan menjadi rujukan penting hingga bertahun-tahun mendatang,” kata John Roosa, penulis buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, dalam endorsement buku ini.

Simpson mengajar dan meneliti hubungan luar negeri dan sejarah internasional Amerika Serikat abad ke-20 di Universitas of Maryland, Baltimore County. Dia adalah research fellow di National Security Archive, tempat dia memimpin proyek untuk mendeklasifikasikan dokumen-dokumen Amerika Serikat terkait Indonesia dan Timor Leste selama pemerintahan Soeharto (1965-1998). Simpson menulis buku ini berdasarkan dokumen-dokumen pemerintah Amerika Serikat yang selama ini dirahasiakan.

Selain mengupas proses dan dampak model pembangunan ekonomi otoritarian, Simpson memaparkan kekeliruan teori modernisasi militer yang menghambat upaya pencarian demokrasi dan pembangunan pasca-Perang Dingin, bahkan memperparahnya: korupsi, lemahnya masyarakat madani, impunitas, dan budaya kekerasan militer.

No comments:

Post a Comment

Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.

Followers