Wednesday, January 12, 2011

Doing Well by Doing Good

Milton Friedman pernah mengkritisi bahwa tugas seorang manajer hanyalah memaksimumkan return bagi para pemegang sahamnya . Usaha-usaha yang dilakukan untuk tujuan altruistik dipandang sebagai sosialisme.

Di masa itu, isu-isu sensitif seperti good governance, health and safety, environmental impacts, labor rights, social and ethical issues, corruption, dan social development impacts, memang bukanlah “santapan” dunia bisnis. Kalaupun tanggung jawab sosial dijalankan, lebih didasari motif utilitarian — mengejar commercial benefit di balik simpati publik dan pemerintah.

Saat ini iklim bisnis telah banyak berubah. Entitas bisnis dituntut untuk lebih transparan dan akuntabel dalam interaksinya. Ia menjadi “pusat perhatian” media, konsumen, dan bahkan pemerintah. Dan karena entitas bisnis memiliki pengaruh kuat terhadap komunitas, dus, sudah selayaknya entitas bisnis tersebut memiliki tanggung jawab terhadap komunitasnya.

Perusahaan kini dituntut untuk “socially responsible” — mengintegrasikan business concern dan environmental concern dalam operasional bisnis dan dalam interaksi terhadap stakeholder secara sukarela (voluntary basis). Entitas bisnis diharapkan tak hanya mengembangkan diri (dan profit) pribadinya semata, tetapi dituntut pula untuk berpartisipasi dalam human development dan environmental issues.

Persoalannya, aktivitas sosial perusahaan sifatnya kualitatif dan sulit untuk dikuantifikasi — sementara dunia bisnis selalu menggunakan indikator finansial seperti harga saham, market value, return on assets (ROA), atau economic value added (EVA) sebagai acuan. Akibatnya, korelasi antara aktivitas sosial dan profit sulit dirumuskan dan “ketiadaan” causal link ini kemudian menyebabkan resistensi dalam merealisasikan tanggung jawab sosial perusahaan.

Akibatnya, tanggung jawab sosial diemban hanya untuk mereduksi efek negatif sosial dan pengaruh lingkungan yang dihasilkan dari aktivitas bisnisnya. Tak jarang, tanggung jawab sosial dilakukan hanya sebagai kamuflase untuk menjual reputasi kepada publik dan pemerintah yang pada akhirnya akan menaikkan profit (greenwashing).

Belum lagi eksekutif dan manajer tak jarang terjebak pada kebijakan internal untuk memaksimumkan profit -– yang terkadang menembus batas-batas moral dan etika sebagai makhluk beradab (human beings). Benturan antara hasrat mempertahankan pekerjaan dan mekanisme performance rewards yang kaku, akhirnya memicu terjadinya corporate scandals yang lazim dijumpai akhir-akhir ini. Oleh karenanya, banyak pengamat yang memandang ide tanggung jawab sosial sebagai sebuah oksimoron.

Kendati demikian, tanggung jawab sosial seharusnya tetap perlu mendapat tanggapan yang lebih serius. Entitas bisnis didirikan (dijalankan) harus didasari falsafah bahwa hubungan simbiosis antara entitas bisnis dan lingkungannya terbukti memegang peranan penting dalam pertumbuhan yang berkelanjutan, pendidikan, serta kohesi sosial. Apabila dieksekusi dengan baik, tanggung jawab sosial akan meningkatkan trust dan atmosfir yang kondusif, baik secara internal maupun eksternal dengan para stakeholder-nya.

Industri yang banyak mengambil sumberdaya tak terbarukan misalnya, seharusnya mulai memikirkan teknologi pemanfaatan sumberdaya yang lebih efektif dan efisien. Cost dari polusi, pencemaran, perusakan lingkungan, dan sebagainya seharusnya dibayarkan kembali melalui program-program sosial agar cost-benefit lebih seimbang. Selain itu, untuk memikat karyawan-karyawan unggulan, entitas bisnis tentu perlu menawarkan kompensasi dan lingkungan kerja yang memadai — yang pada akhirnya akan meningkatkan standar hidup dan penciptaan kekayaan di lingkungannya.

Apalagi di negara berkembang seperti Indonesia , implementasi tanggung jawab sosial jelas akan sangat memberi kontribusi kesejahteraan bagi para stakeholder-nya. Sebaliknya, kegagalan dalam mengeksekusi strategi sosial korporat, akan menutup peluang terciptanya kemajuan dan peningkatan kesejahteraan sosial.

Di era pasar bebas, kapitalisme yang berorientasi pasar telah menjadi pusat ekonomi. Tentu kita tidak bisa berasumsi bahwa pasar dipenuhi oleh orang-orang jujur dan bebas dari manipulasi, Terlalu naïf untuk beranggapan bahwa setiap entitas bisnis akan menjadi anggota pasar yang baik serta mengikuti peraturan yang ada sebagaimana mestinya tanpa menzalimi pelaku pasar yang lain. Oleh sebab itu, intervensi pemerintah juga diperlukan untuk membuat barrier to entry agar partisipan yang terlibat di pasar tidak hanya memikirkan profit, melainkan turut andil dalam membangun komunitas secara keseluruhan.

Pada tahap yang lebih tinggi, tanggung jawab sosial selayaknya dipandang sebagai motivasi aktual yang mendorong pada responsible behavior. Responsible behavior yang tulus inilah yang pada akhirnya akan berujung pada sustainable development dan going concern suatu entitas bisnis. Tentu saja semua itu harus tercermin dalam visi, misi, serta strategi korporat jangka panjang.

Apalagi, riset yang dilakukan Orlitzky, Schmidt, dan Rynes (2003) ternyata membuktikan bahwa corporate social performance memiliki korelasi positif terhadap kinerja keuangan perusahaan. Hubungan tersebut bahkan cenderung dua arah dan simultan. Jelas, aktivitas sosial korporat yang tulus dan sungguh-sungguh bukanlah sesuatu yang mubazir untuk dilakukan.

No comments:

Post a Comment

Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.

Followers