Thursday, November 25, 2010

Mengenal Teror Mental dalam Kehidupan

Setiap pendapat memang pasti keluar dari sudut pandang si pembicara jadi kemungkinan bukan salah tapi sudut pandangnya saja yang berbeda.


Apapun itu saya senang dengan forum seperti ini karena akan mengasah kita untuk terus berkembang untuk menjadi pribadi yang matang.

Saya sengaja sharing juga dengan milis the Profec dimana saya dan Pak Rusman adalah moderatornya.

Salam Epos,
Lies Sudianti

2010/7/4 Riza Syafrizalc


Yth. Pak Rusman,

Saya senang sekali dengan poin yang Bapak pilih untuk bahasan ini. Kenapa ? Karena sangat inspiratif untuk membangun diri. Membangun diri berarti juga kita meningkatkan daya tahan hati kita juga. Tujuannya tentu saja untuk mengurangi ‘derita’ kita akibat 'serangan' orang lain yang mempunyai emosional intelligensi yang rendah, iri hati, dengki karena merasa tidak suka namun tidak mampu bersaing dengan kita. Dan itu bisa berakibat pada ‘hancurnya’ diri seseorang.

Saya setuju dengan poin pertama yang Bapak paparkan sebagai masa pembentukan kepribadian seseorang seperti yang saya kutip berikut ini.

Kutipan

"Menurut Sigmund Freud, pengalaman masa kecil seseorang akan menentukan seberapa tinggi pencapaian yang akan dapat diraih oleh yang bersangkutan ketika dewasa. Bila seorang anak terlalu sering menerima “teror” dari orang tua, para guru, teman dan lingkungan yang berupa cacian, hinaan, pelecehan dan sebagainya, maka hampir bisa dipastikan bahwa anak itu akan mengalami hambatan dalam meraih masa depan yang baik. Ia menjadi rendah diri dan akan menjelma sebagai “prototipe” seorang pecundang kelak di kemudian hari. Apalagi kalau teror-teror kehidupan itu berlangsung tidak hanya sebatas masa kecil, tapi juga dialami di masa remaja, terus ke masa dewasa saat usia produktif".

Kutipan selesai

Namun , saya tidak sependapat dengan kutipan selanjutnya.

Kutipan

Cercaan, sindiran, penghinaan serta pelecehan yang dialami di usia dewasa tentu akan lebih berbahaya daripada yang diterima di masa kecil. Sebab, pada masa dewasa produktif, rasa kebanggaan diri (self-esteem) sudah tumbuh di dada setiap individu. Konsekuensinya adalah, pelecehan yang “mengena” dan “menikam” ke dalam hati seseorang, dapat dengan serta merta menghancurkan harga diri yang bersangkutan. Hancurnya harga diri akan diikuti dengan hancurnya juga kepercayaan diri, motivasi serta naluri kepemimpinan. Kalau sudah demikian, maka kita tinggal menunggu waktu saja bahwa akan segera muncul seorang pecundang lagi.

Kutipan selesai

Sebenarnya kalau mau diurut secara waktu maka ada tiga hal yang pembentuk pribadi seseorang : pertama, DNA – bawaan sejak lahir, jadi kalau kita orang Irlandia maka cenderung kita juga pemarah ( Steven Covey ). Bila orang tua2 kita ada yang ‘bule’ maka cenderung nanti pada turunan langsung atau turunan lanjutannya juga ada yg berambut pirang. Walaupun kadangkala kedua orang tuanya sama2 orang Indonesia namun tiba2 ada salah seorang anaknya yang bule.

Kedua, pembentukan pribadi ( mentalitas ) masa remaja – Bila anak dididik dengan keras atau ‘tangan besi’, maka kita juga akan juga terbentuk jadi seperti itu. Ingat kasus Ari Hangara, yang meninggal di tangan ayah kandungnya sendiri. Ketika ditanya polisi, ayah kandungnya menyatakan bahwa wujud pendidikan berdasarkan kekerasan ini dia terima juga dari ayahnya ( kakek si Ari Hangara ). Jadi dia terbentuk seperti itu dan terpola mengikuti seperti itu.

Ketiga, Pembentukan karena lingkungan – Setelah kita dewasa kita akan sering keluar rumah dan bergaul dengan lingkungan disekeliling kita, terpengaruh oleh lingkungan dan pada akhirnya lingkungan membentuk kita. Ada dua kasus yang saya baca untuk sebagai contoh. Yaitu tentang seseorang yang membunuh orang lain bahkan satunya lagi hingga membunuh satu keluarga. Ketika ditanya pembunuh yang pertama mengatakan, dia sedang bingung karena istrinya sebentar lagi melahirkan dan dia tidak punya uang sama sekali, kerja tidak dapat. Yang kedua menyatakan bahwa dia ingin menikahi kekasihnya namun sampai waktunya sudah dekat dia tidak punya uang sama sekali. Sedang mereka sudah mencari pekerjaan setengah mati namun tidak dapat juga (karena ekonomi di lingkungan mana mereka tinggal sedang krisis). Akhirnya mereka mencuri, namun karena tidak perhitungan mereka mencuri pada saat tengah hari saat rumah sepi, kepergok salah satu anggota rumah, karena kenal dia takut dikenali lalu dibunuhnya, karena mencurinya siang hari maka saat itu anggota keluarga rata2 pulang ke rumah terpaksalah satu2 di bunuh karena takut ketahuan sudah membunuh satu anggota keluarga tersebut.

Apa yang kita lihat disini bahwa keduanya ‘memperlihatkan’ bentuk tanggung jawab. Yang pertama pada istri yang sedang hamil, dan yang satu lagi tanggung jawab pada kekasihnya. Artinya mereka sebenaranya orang ‘baik’ namun terjebak dengan lingkungan dimana resesi ekonomi memaksa mereka melakukan sesuatu yang salah ( bisa juga pengaruh teman-teman ). Padahal tujuan mereka mencuri adalah untuk memenuhi tanggung jawab mereka. Namun akhirnya mereka ‘terjebak’ berbuat Jahat.

Nah tiga dasar pembentuk inilah yang membentuk seseorang apakah akan menjadi pribadi yang tegar atau pribadi yang hancur. Kalau pribadi yang tegar ‘serangan2’ dimasa dewasa tidaklah terlalu berpengaruh pada dirinya. Salah satu ketegaran adalah dengan mengajarkan ajaran agama yang benar sejak anak-anak, sehingga mereka punya pegangan kelak dikemudian hari. Tetapi kalau pengalaman atas ketiganya ini lemah maka jadilah dia orang yang lemah juga, mudah terpengaruh, gampang putus asa karena menyalahkan diri sendirinya.

Jadi menurut pengetahuan dan pengalaman dan pengamatan saya selama ini maka apa yang Bapak tulis di kutipan kedua tersebut bahwa sebenarnya Cercaan, sindiran, penghinaan serta pelecehan yang dialami di usia dewasa tentu akan lebih berbahaya adalah tidak sepenuhnya benar lebih berbahaya seperti itu. Kalau pribadi seorang anak telah terbentuk dengan baik maka ia akan menjadi orang dewasa yang utuh ( matang), maka ‘ancaman’ itu akan mampu dihadapinya.

Sekedar urun rembug. Terima kasih.


--- Pada Kam, 1/7/10, Rusman JH menulis:


Dari: Rusman JH
Judul: KENALI TEROR MENTAL DALAM KEHIDUPAN
Kepada: trainersclub@ yahoogroups. com
Tanggal: Kamis, 1 Juli, 2010, 6:44 AM

KENALI TEROR MENTAL DALAM KEHIDUPAN

Salah satu fenomena yang dapat kita lihat di dunia ini adalah, selalu lebih sedikit jumlah pemimpin daripada jumlah pengikut (tentu saja, kan..?). Juga selalu lebih sedikit jumlah orang sukses daripada orang gagal. Lebih sedikit jumlah pemenang daripada pecundang.

Apa sih penyebabnya? Apa yang terjadi dengan para pecundang?

Sebenarnya, beberapa dari mereka tidaklah benar-benar pecundang. Mereka hanya menjadi korban teror. Tepatnya, teror mental dalam kehidupan. Apa yang dimaksud dengan teror mental itu?

Menurut Sigmund Freud, pengalaman masa kecil seseorang akan menentukan seberapa tinggi pencapaian yang akan dapat diraih oleh yang bersangkutan ketika dewasa. Bila seorang anak terlalu sering menerima “teror” dari orang tua, para guru, teman dan lingkungan yang berupa cacian, hinaan, pelecehan dan sebagainya, maka hampir bisa dipastikan bahwa anak itu akan mengalami hambatan dalam meraih masa depan yang baik. Ia menjadi rendah diri dan akan menjelma sebagai “prototipe” seorang pecundang kelak di kemudian hari. Apalagi kalau teror-teror kehidupan itu berlangsung tidak hanya sebatas masa kecil, tapi juga dialami di masa remaja, terus ke masa dewasa saat usia produktif.

Cercaan, sindiran, penghinaan serta pelecehan yang dialami di usia dewasa tentu akan lebih berbahaya daripada yang diterima di masa kecil. Sebab, pada masa dewasa produktif, rasa kebanggaan diri (self-esteem) sudah tumbuh di dada setiap individu. Konsekuensinya adalah, pelecehan yang “mengena” dan “menikam” ke dalam hati seseorang, dapat dengan serta merta menghancurkan harga diri yang bersangkutan. Hancurnya harga diri akan diikuti dengan hancurnya juga kepercayaan diri, motivasi serta naluri kepemimpinan. Kalau sudah demikian, maka kita tinggal menunggu waktu saja bahwa akan segera muncul seorang pecundang lagi.

Yang ironis, teror-teror kehidupan yang terjadi di usia dewasa itu kebanyakan dilontarkan bukan oleh orang tua atau guru, tapi justru oleh kolega. Bisa teman sekantor, bisa teman bisnis, atau bisa juga rekan sekomunitas yang tentunya memiliki motivasi negatif, seperti iri hati, dengki atau merasa tersaingi.

Lantas, bagaimana cara mengatasi masalah ini?

Seorang sahabat saya di dunia spiritual pernah memberikan solusi yang dia sebut sebagai “The Thinking Paradox” (TTP). Solusi ini cukup sederhana untuk dimengerti, tapi butuh waktu untuk kita mampu melakukannya dengan mulus. Sesuai dengan namanya, The ThinkingParadox mengajak kita untuk membalikkan cara berpikir. Misalnya, kalau kita dilecehkan oleh satu, beberapa atau bahkan sekelompok orang dalam komunitas yang sama, jangan buru-buru berkecil hati.

Lihat dulu apa kira-kira motivasi para peleceh tersebut. Pada banyak kasus, orang-orang yang mencerca umumnya adalah orang-orang yang tidak tulus mengoreksi pihak lain. Aksi mereka lebih banyak didorong oleh nafsu menjatuhkan, karena rasa dengki atau merasa tersaingi. Nah, dalam hal seperti ini, TTP justru menganjurkan kita untuk berempati serta melimpahkan rasa kasihan pada mereka. Para nabi di jaman dulu juga melakukan hal yang sama: berempati bahkan mendoakan para peneror saat mereka dilecehkan habis-habisan oleh komunitasnya sendiri.

Mengapa pula kita harus berempati pada orang yang mencerca kita?

Karena, apa yang dicercakan itu sesungguhnya lebih mencerminkan kualitas diri para pencerca sendiri. “Buruk muka, cermin dibelah”, begitu kata peribahasa.

Namun demikian, juga harus ingat bahwa jika para pencerca berkesempatan untuk melecehkan, kemungkinan memang ada suatu kekeliruan yang kita lakukan. Dan ini yang dilihat oleh mereka sebagai peluang untuk menjatuhkan.

Yang perlu kita yakini adalah, aspirasi positif tidak akan pernah salah (karena aspirasi negatif bukanlah aspirasi, melainkan kejahatan). Yang bisa salah adalah tindakan, karena sifatnya teknis. Kesalahan teknis relatif mudah diperbaiki, dan itu lumrah-lumrah saja. Oleh karenanya, tidak ada alasan untuk kita menyalahkan diri sendiri, apalagi sampai menganggap diri inferior, bodoh atau semacamnya. Jangan sekali-kali terpancing oleh provokasi para pendengki.

TTP menganjurkan kita untuk berterima kasih kepada para pencerca dan peleceh itu. Karena mereka telah mengingatkan kita bahwa ada kekeliruan yang telah kita buat. Merekalah yang telah memberi kesempatan pada kita untuk memperbaiki kesalahan teknis tersebut

Pertanyaannya kemudian, mengapa pula mereka harus mencerca dan melecehkan? Bukankah ada cara yang lebih elegan?

Melecehkan dan mencerca adalah ciri khas paling menonjol yang hanya bisa keluar dari mulut para pecundang sendiri. Secara tidak disadari, mereka mengira bahwa semua orang sama pecundangnya seperti mereka. Sehingga, bukannya berusaha meningkatkan kualitas diri, mereka justru mencari-cari kelemahan orang lain untuk dijatuhkan.

Lalu, bagaimana agar kita tetap bisa mempertahankan diri agar selalu memiliki “Kualitas Sang Juara” serta tidak terpancing untuk ikut-ikutan bermental pecundang?

Sebagaimana yang dianjurkan oleh Steve Jobs, pendiri Apple Corporation, ingat saja kata-kata: “Tetaplah bodoh, tetaplah lapar!” Seorang juara tidak segan menganggap dirinya bodoh, karena dengan merasa bodoh, ia akan selalu bersemangat untuk belajar dan memperbaiki diri. Di samping itu, dengan merasakan dirinya lapar, ia juga akan selalu terdorong untuk melayani dan berbagi. Kepada siapa saja, termasuk pada para pecundang!


No comments:

Post a Comment

Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.

Followers