Sunday, November 22, 2009

Imajinasi Sejarah: Penyatuan Serpihan Materi Peristiwa melalui tulisan (historiografi).

Menulis sejarah merupakan suatu kegiatan intelektual dan ini suatu cara yang utama untuk memahami sejarah (Paul Veyne, 1971:71; Tosh, 1985:94).

Apakah itu imajinasi? Apakah sejarah memerlukan imajinasi dalam penulisannya? Tidak takutkah bila imajinasi tersebut dapat berkembang menjadi sebuah fiksi? Bagaimana cara membatasi sebuah imajiasi dalam penulisan sejarah? Mungkinkah imajinasi tersebut nantinya menjadi sebuah imajinasi yang cukup obyektif?
Pertanyaan-pertanyaan seperti tertulis di atas kadangkala “menggelitik” para sejarawan dalam menerapkan metode penelitian sejarahnya. Memang, imajinasi yang berlebihan dapat menjadikan obyek yang di-imajinasikan bisa jauh dari keadaan yang sebenarnya. Maka dari itu, dibutuhkan suatu pembatasan yang jelas tentang peng-interpretasi-an imajinasi tersebut.

Menurut Kuntowijoyo, seorang sejarawan, dalam pekerjaannya harus dapat membayangkan apa yang sebenarnya, apa yang sedang terjadi, dan apa yang terjadi sesudahnya (Kuntowijoyo, 2001:70). Dalam kasus seperti ini, batasan yang dipakai sangat jelas. Pembatasan yang seharusnya dilakukan adalah, membatasi imajinasi yang berkembang khusus pada keadaan yang sebenarnya terjadi. Jadi jika imajinasi yang berkembang menjadi meng-interpretasi-kan keadaan yang bukan sebenarnya terjadi, maka telah terjadi manipulasi peristiwa yang sebenarnya.

Imajinasi dalam Sejarah dan Imajiasi dalam interpretasi Fiksi

Imajinasi dalam sejarah dan imajinasi dalam interpretasi fiksi sangat beda. Oleh karena itu, di sini penting memilah antara imajinasi sejarah dan imajinasi fiksi. Imajinasi sejarah merupakan imajinasi yang dilakukan seorang sejarawan atau seorang sumber sejarah dalam mengungkap sebuah peristiwa sesuai dengan keadaan yang sebenarnya terjadi. Imajinasi fiksi (seperti sastra atau ruang lingkup fiksi lainnya) secara singkat dapat dikatakan sebagai pengungkapan imajinasi yang terus berkembang tanpa batas yang jelas.

Walau dalam novel sejarah, ada beberapa kasus sejarah yang berusaha ditampilkan atau minimal sebagai bahan “pembangkit” awal masalah atau mungkin “hanya” sebagai pendahuluan yang dikonstruksi sebagai jalan masuk ke dalam cerita (latar belakang peristiwa atau tempat atau bahkan sebagai pendahuluan), tetapi sebagian besar cerita dalam novel tersebut telah “tercemar” dengan faktor imajinasi sang penulis. Untuk itu perlu ditegaskan di sini bahwa imajinasi sejarah dan imajinasi fiksi merupakan dua hal yang beda.

Sebagai contoh, dalam imajinasi sejarah, seorang sejarawan harus mampu untuk ber-imajinasi tentang sejarah yang akan digalinya. Misalnya, dalam Perang Aceh, ia (sejarawan) harus mampu berimajinasi mengenai pantai, hutan, desa, meunasah, istana, mesjid, dan bukit-bukit. Mungkin ia akan bisa memahami Teuku Umar melalui pemahaman imajinernya tentang pantai, erlawanan Tjoet Nyak Dhien melalui hutannya, dan penyebaran cita-cita perang Sabil lewat imajinasinya tentang desa, meunasah, dan mesjid (Kuntowijoyo, 2001:70).

Tuntutan dalam Interpretasi Sejarah

Petualangan yang menguntungkan dalam penelitian sejarah hanya dapat kita memulainya bila mengidentifikasikan suatu masalah yang membingungkan dan kemudian merumuskannya dengan benar (Consuelo G. Sevilla et.al.:63). Dalam kasus ini, seorang sejarawan dituntut untuk dapat meng-interpretasi-kan sebuah masalah dengan cukup obyektif, sesuai dengan materi yang sebenarnya. Di sinilah imajinasi dalam sejarah diperlukan. Sebuah imajinasi dengan batasan keadaan yang sebenarnya. Penggunaan imajinasi dalam interpretasi dan eksplanasi menjadi mutlak disaat kasus yang sulit menjadi penghalang dalam meng-interpretasikan masalah yang dihadapi.

Selain batasan tersebut diatas, faktor continuitas dan akronisme menjadi faktor yang harus diperhatikan. Kesinambungan dan urutan waktu dalam interpretasi maupun ekplanasi menjadi hal yang wajib ditaati agar tidak terjadi fallacies (kesalahan-kesalahan dalam penulisan). Sangat lucu jika fakta yang kita rangkai tidak sinambung dan urutan waktunya berloncatan. Maka tuntutan seorang sejarawan dalam meramu fakta secara continuitas dan akronisme, sangat mutlak dilakukan. Hal ini untuk menghindari kerancuan dalam sejarah dan sebagai landasan yang kuat dalam menerima serbuan kritik.

Referensi

Consuelo G. Sevilla et.al. Pengantar Metodologi Penelitian. UIP.

Helius Sjamsudin. 1994. Metodologi Sejarah, Departeman P & K, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Jakarta: Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.
Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.

Artikel telah disadur kembali oleh:
Joko Hamdani as Sejarawan Hamdina
024-7060.9694
D'professional historian with excellent entrepreneur skill.

No comments:

Post a Comment

Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.

Followers