Thursday, November 29, 2012

Terjebak dalam Perangkap Kelas Menengah

Ekonomi Indonesia Terancam "Middle Income Trap"?

PEMERINTAH maupun Bank Indonesia yang memprediksi pertumbuhan nasional 2013 bisa mencapai setinggi 6,8% dan 6,7% masing-masing, barangkali telah mengabaikan potensi ancaman "middle income trap" yang dikemukakan Menko Perekonomian Hatta Rajasa dalam sarasehannya di ITB akhir pekan baru lalu.
Mutu pertumbuhan dan situasi perkembangan perekonomian nasional dalam beberapa aspek memenuhi simptom penyakit "middle income trap" yang menghinggapi kebanyakan negara berkembang dunia. Antara lain, seperti range penghasilan per kapita $3.500 yang tak merata, kondisi pasar buruh yang buruk dengan maraknya demo, investasi infrastruktur yang amat rendah (4,51%)karena keterbatasan anggaran, lambannya pertumbuhan sektor manufaktur, keterbatasan diversifikasi industri, kekalahan daya saing dengan negara industri maju karena ketertinggalan teknologi dan inovasi, maupun dengan negara berkembang sederajat dalam harga jual, apalagi setelah kenaikan UMP dan BBM.

Urbanisasi pesat bagi pembangunan real-estate dengan mengorbankan lahan pertanian, impor pangan, termasuk karet, yang dapat dihasilkan lokal, masalah pengangguran akibat PHK, menjamurnya korupsi, akan memperlebar gap pendapatan kaum tani dan rakyat kebanyakan dan pada akhirnya bisa menimbulkan gejolak sosial.

Strategi MP3EI di atas kertas sangat baik untuk menghindarkan ancaman "middle income trap", tapi dana pelaksanaannya sebagian besar masih bergantung pada investasi swasta nasional dan asing. Sementara realisasi masterplan percepatan, perluasan dan pengurangan kemiskinan Indonesia (MP3KI) tetap jadi tanda tanya besar, mengingat keterbatasan bantuan atau subsidi pemerintah di tengah berurat-berakarnya birokrasi.

Untuk mempertahankan momentum ekspor, upaya pemerintah sekarang nampaknya diarahkan ke sektor promosi pariwisata dan mendorong industri inovatif dan kreatif dalam negeri dalam skala kecil. Kampanye menggelorakan nasionalisme adalah suatu cara pendekatan untuk mempromosikan produk dalam negeri demi peningkatan pertumbuhan nasional melalui permintaan domestik. Tapi pembatasan impor produk dari negara anggota FTA, bisa dituduh sebagai tindakan proteksionistis dan memicu friksi dagang. Padahal FTA dan pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah berdasarkan semangat resiprokal.

Bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke atas di Indonesia masih cenderung berbelanja di LN untuk memiliki produk bermerek dan mahal-mahal, seperti ponsel cerdas, mobil mewah, tas, busana, kosmetik dan lain-lain yang mewah dari LN.

Mencari pasar baru di tengah pelambanan pertumbuhan global dan meningkatnya proteksionisme di negara-negara maju akan menjadi tantangan berat bagi pemerintah, bila kita tidak memiliki keunggulan kompetitif.

Regulasi dan intervensi atau "visible hand" dari pemerintah di sektor tertentu, memang perlu, seperti operasi pasar dan distribusi bahan-bahan vital seperti jatah BBM, pupuk,tender procurement proyek pemerintah dan pemberian perizinan pertambangan kepada investor asing,tapi dengan transparansi. Instansi-instansi yang tak berwenang dan tak terkait sebagai "invisible hand" harus "hands off", apalagi anggota legislatif, dari proyek lukratif, termasuk BUMN, demi menghindarkan birokrasi dan ekonomi biaya tinggi. Jangan sampai "Too many cooks spoil the broth". Namun "laissez-faire" perlu diterapkan kepada wirausaha,UKM dan industri rumah dalam proses pembinaan dan pengembangan industri inovatif dan kreatif.

Tren pertumbuhan nasional selama ini masih bersandarkan pada kekayaan sumber alam yang menipis dan upah murah. Adalah tantangan bagi pemerintah bagaimana mengalihkan moda konvensional ini kepada pertumbuhan berorientasi pada permintaan domestik, "economics of scale" dengan produktivitas tinggi dan pemanfaatan inovasi dan teknologi demi peningkatan daya saing di pasar internasional.

Indonesia kelihatan masih jauh daripada peralihan moda pertumbuhan itu dengan melihat perkembangan investasi di infrastruktur dan alokasi anggaran bagi peningkatan mutu pendidikan. Arus keluar intelektual dan yang berbakat terus berlangsung. Prospek pertumbuhan ekonomi nasional mungkin saja menjadi jenuh dan mandek di bawah bayangan "middle income trap". Pemerintah terlalu optimistis dan cepat puas diri akan status quo ekonomi tanpa mencari terobosan baru dan meningkatkan mutu pendidikan dalam persiapan pengalihan pertumbuhan kepada ekonomi pengetahuan yang berdasarkan "human capital"sendiri yang sustainable. Dana spekulatif asing di bursa saham atau surat utang negara dengan imbal hasil tinggi hanya dibutuhkan sesaat, bukan tulang punggung tetap bagi pembangunan ekonomi nasional.

No comments:

Post a Comment

Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.

Followers