Monday, October 3, 2011

Fenomena Sosial Aceh 2010-2012

Masyarakat Aceh saat ini sedang mengalami proses sakit sosial yang amat parah. Sakit sosial ini tentu saja bukan diobati dengan obat yang bisa sembuh dalam satu atau dua minggu. Sakit sosial ini disebabkan karena dua hal yaitu adanya proses demoralisasi dan destabilisasi. Demoralisasi ini adalah proses mencabut aspek dan nilai-nilai dalam masyarakat, yang dilakukan secara tanpa sadar selama beberapa tahun terakhir. Tentu saja proses ini telah berhasil mengikis fondasi kehidupan rakyat Aceh.

Pertama yang dikikis adalah nilai-nilai adat istiadat, dari yang bersifat hakikat ke simbolik semata. Makna dan substansi nilai-nilai digantikan secara sistematis melalui proses internalisasi nilai-nilai budaya yang sesungguhnya dibenci rakyat Aceh itu sendiri. Sekarang kita membela sesuatu yang kita tidak sukai, tetapi kita jadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Proses internalisasi budaya dari luar melalui non-adat istiadat adalah bentuk ketidakramahan dalam berpikir sebagai orang Aceh.

Mengamalkan apa yang tidak sukai merupakan suatu kewajiban dalam membina peradaban Aceh saat ini. Apa yang disukai baik oleh pikiran dan perasaan menjadi sesuatu yang amat mahal sekali diamalkan. Hal tersebut boleh jadi tidak ada lagi standar moral ketika proses demoralisasi terjadi dalam masyarakat. Tingkat pengetahuan masyarakat, bukan lagi diturunkan dari keluarga dan para urafa, melainkan dipaksakan untuk menilai sendiri apa yang baik dan buruk.

Akibat tidak standar moral, orang baik dan jahat tidak jauh berbeda air muka dan perangai kehidupannya. Terkadang orang senyum untuk menutup kejahatan, sementara tidak sedikit yang berbuat jahat dengan senyuman. Pola ini pada ujungnya mengakibatkan masyarakat hilang kontrol. Inilah kekosongan yang diisi oleh standar moral atau perilaku yang tidak baik. Masyarakat mengukur sesuatu bukan karena pengetahuan, tetapi apa yang menjadi penerimaan dari standar moral dari luar nilai-nilai kehidupannya.

Ketika proses demoralisasi dan tidak ada standar ideologi, maka ideologi lain akan masuk ke dalam pikiran masyarakat. Karena mereka tidak cukup pengetahuan untuk memahami fenomena sosial, propaganda atau gagasan untuk menukar ideologi terjadi secara sistematik. Ketika perubahan ini terjadi, maka masyarakat menjadi gamang. Ini sama dengan perilaku habis azan magrib di TV swasta nasional, lalu muncul iklan dan acara yang tidak mengajak orang untuk shalat. Artinya, orang membaca doa, tetapi mata harus menikmati apa yang dibenci oleh doa itu sendiri.

Adapun kedua yang terjadi adalah proses destabilisasi yaitu mencari sekuat tenaga untuk menciptakan proses ketidakamanan di Aceh. Proses ini sesungguhnya sedang dilakukan melalui adu domba. Dulu musuh bersama rakyat Aceh, ketika dipropagandakan oleh GAM adalah Jawa. Saat itu, ketika sudah tidak ada musuh bersama, maka proses destabilitasi dilakukan dengan saling adu kekuatan di antara sesama orang Aceh sendiri.

Saat tidak ada musuh bersama, maka siapa pun yang paling dekat ketika berjuang boleh jadi saat ini menjadi musuh yang paling berbahaya. Proses ini sebenarnya sangat wajar, di mana beberapa negara pernah mengalaminya. Ini dikarenakan, pemerintah tidak mementingkan teori dan pandangan ilmuwan dalam merekayasa mesin sosial atau fenomena sosial. Sehingga ayunan pemerintah selalu bergoyang dan seolah harus bermusuhan antara satu sama lain. Kalau tidak berdebat dan saling menjegal adalah sesuatu tidak begitu indah dipandang mata. Dengan kata lain, pemerintah gagal dalam menciptakan sebuah rekayasa sosial masyarakat Aceh yang bertamaddun.

Sekarang, kedua proses ini sebenarnya sudah muncul dalam ilmu propaganda, ketika ingin mengubah satu struktur masyarakat untuk menuju kehancuran secara sistemik. Dulu, rakyat Aceh menelan mentah-mentah propaganda anti-Jawa, anti-Indonesia, dan anti-Jakarta, sehingga rakyat kecil dan besar rela korban perasaan dan angkat senjata untuk mengusir Jawa dari Aceh. Setelah damai, propaganda tersebut hilang, muncul propaganda lain yang ternyata lebih parah dari anti-Jawa. Yaitu meluluhlantakkan struktur dan fondasi kehidupan rakyat secara sistematis. Agama diformalkan, tetapi budaya beragama dihilangkan. Lembaga adat ditumbuhkan, tetapi pengetahuan tentang manfaat beradat diabaikan.

Alhasil, ujung dari proses ini adalah menciptakan ketidakstablisan atau ketidakamanan di Aceh. Proses normalisasi melalui MoU dipandang tidak begitu indah, karenanya perlu usaha untuk menciptakan krisis. Uniknya, krisis yang muncul berasal dari orang Aceh sendiri. Sehingga fenomena bahasa kekerasan menjadi potret kehidupan baru rakyat Aceh. Marah tidak dikasih proyek, marah ketika disentil dalam ceramah agama, legislatif dan eksekutif saling jegal, dan marah ketika tidak bisa memarahi orang lain merupakan budaya baru dalam bahasa kekerasan di Aceh. Kalau tidak marah seolah-olah hilang jatidiri ke-Aceh-annya.

Akibatnya, pola tasamuh (toleransi) dan meusyedara sudah tidak begitu penting dalam masyarakat. Karena tidak ada konsep untuk merekayasa sebuah masyarakat yang bertamaddun dan bermartabat, rakyat kemudian menciptakan sendiri budaya-budaya untuk hanya menguntungkan diri sendiri. Paradigma negatif tersebut sebenarnya sudah terjadi dalam sepuluh tahun terakhir, karena pemerintah Aceh tidak memiliki konsep secara subtantif. Konsep yang dimaksud adalah mengembangkan daya pikir untuk kemajuan, tidak hanya pada pembangunan saja, tetapi juga tingkat kecerdasan dan kemampuan rakyat dalam mempertahankan proses demoralisasi di atas.

Sekadar perbandingan, proses pembangunan kecerdasan rakyat dilakukan melalui budaya-budaya yang diproduksi oleh para endatu. Karena budaya tersebut tidak diarahkan untuk menghancurkan sendi kehidupan rakyat, maka ketika unsur-unsur budaya ini dibawa sebagai alat perjuangan, yang terjadi adalah keinginan untuk mengamankan diri sendiri, bukan demi kaum atau masyarakat Aceh secara keseluruhan. Di Aceh, ilmuwan dan ulama sangat banyak sekali, namun mereka belum dianggap penting untuk memroduksi pemikiran demi ke-Aceh-an.

Dalam sejarah gerakan sosial, tokoh-tokoh ilmuwan yang menggerakkan mesin atau rekayasa sosial adalah mereka yang merasakan kaum atau etniknya tertindas. Pertanyaannya, apakah saat ini Aceh sedang tertindas? Kalau iya, siapa yang paling betanggungjawab dalam wujud ketertindasan tersebut? Jawabannya adalah rakyat Aceh sudah lama tertindas, namun abai dalam menciptakan mimpi untuk masa depan. Sehingga mimpi yang ada hanya untuk mengamankan diri dan keluarga, tanpa memikirkan etnik Aceh secara keseluruhan.

Artikel ini hanya berupaya mencari penyebab kecil dari sakit sosial yang dialami rakyat Aceh. Tentu saja sakit sosial obatnya bukanlah minum pil, melainkan memikirkan penyebab dan jalan keluar dari kemelut ini. Jalan keluar bukanlah selalu menadah tangan pada asing atau Jakarta--jika sudah tidak sanggup berdamai secara internal-- tetapi mencari energi dan spirit positif untuk mengatakan, bahwa kita sebagai sebuah etnik dan bangsa, harus mampu menyelesaikan masalah sendiri, dengan mengedepankan kepentingan warisan endatu, ketimbang ambisi pribadi untuk jangka pendek.


Kamaruzzaman Bustamam-AhmadOleh Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad
* Penulis adalah kontributor buku Kearifan Lokal di Laut Aceh.
http://aceh.tribunnews.com/2011/09/15/masyarakat-sakit


Jorganizer Hamdani (Ed)
024-7060.9694 (flexy)
hope 4 the best n prepare 4 the worst
knowing is nothing without applying

No comments:

Post a Comment

Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.

Followers