Wednesday, September 21, 2011

Arah ekonomi dan skenario arsitektur finansial global

Akhir-akhir ini, kita seakan mengalami deja vu kondisi pra-krisis 2008. Ekonomi global kembali dihinggapi virus ketidakpastian yang ditandai oleh volatilitas pasar keuangan yang kian menggila. Gejolak tersebut dikhawatirkan dapat memicu resesi ekonomi dunia yang mungkin bisa lebih parah dari apa yang terjadi pada tahun 2008-2009.

Di Eropa, harga saham perbankan berguguran (terutama bank-bank besar yang banyak memegang obligasi pemerintah Yunani). Lembaga pemeringkat Moody's pun menurunkan peringkat utang dua bank Perancis (SocGen dan Agricole). Menurut IMF, perbankan Eropa membutuhkan rekapitalisasi hingga €200 milyar. Angka yang masuk akal mengingat tingkat leverage sistem perbankan Eropa sekitar dua kali lipat perbankan AS (menurut laporan Global Financial Stability terbitan IMF April 2011, aset perbankan Eropa sudah 26 kali ekuitasnya).

Sementara itu, tanpa dukungan dana darurat dari Uni Eropa, Yunani secara de facto akan bangkrut per Oktober 2011. Pilihan lain, Yunani dikeluarkan dari zona Euro. Namun, ini belum tentu menyelesaikan masalah. Keluarnya Yunani bisa saja memicu bubarnya zona Euro karena tekanan pasar kemungkinan akan beralih ke Spanyol, Portugal dan Italia.

Kepercayaan pemegang obligasi tampaknya sulit untuk dipulihkan tanpa ada jaminan dari otoritas Uni Eropa. Tanpa garansi Uni Eropa, China dikabarkan enggan untuk membeli obligasi Yunani dan negara-negara Eropa bermasalah lainnya. Jaminan tersebut tampaknya sulit dipenuhi, karena zona Euro tak memiliki otoritas fiskal. Cepat atau lambat, Uni Eropa tampaknya perlu membentuk semacam kementrian keuangan sehingga dapat menerbitkan obligasi federal yang dijamin bersama.

Di seberang Atlantik, persoalan pelik juga menghadang ekonomi AS. Kendati belum menunjukkan indikasi yang solid, indikator-indikator ekonomi AS mulai memberi sinyal awal kemungkinan terjadinya resesi kembali (double-dip recession). Saat ini, FED mengalami dilema yang sulit. Pasalnya, kendati indikator aktifitas ekonomi menunjukkan perlambatan, laju inflasi hingga Agustus 2011 masih tinggi (3,8%, tertinggi sejak September 2008). FED tampaknya baru akan mengambil langkah kebijakan moneter lanjutan bila angka infasi kembali menunjukkan tren penurunan.

Ada empat kemungkinan senjata moneter yang bisa dikerahkan Bernanke dalam rangka mengantisipasi double-dip recession. Pertama, FED bisa saja menetapkan target inflasi jangka panjang yang lebih tinggi, misalnya 4-6%. Target inflasi yang lebih tinggi diharapkan akan mengubah ekspektasi pelaku pasar atas suku bunga dan prospek ekonomi jangka panjang.

Strategi kebijakan moneter lain yang mungkin diterapkan Bernanke adalah mengubah komposisi portofolio surat utang pemerintah AS (US Treasury). FED akan membeli lebih banyak obligasi yang berdurasi panjang (operation twist). Hal ini dilakukan agar suku bunga US Treasury berdurasi panjang turun, sehingga diharapkan suku bunga jangka panjang kredit korporasi dan perumahan pun ikut turun.

Ketiga, FED mungkin saja menurunkan suku bunga cadangan perbankan (reserve) yang disimpan di FED. Namun, jika hal ini dilakukan, suku bunga jangka pendek dan imbal hasil obligasi bisa kembali turun karena perbankan mengalihkan reserve-nya ke US Treasury. Bukan mustahil, suku bunga US Treasury 10-tahun bisa mengarah dari 2% saat ini ke 1%, sedangkan suku bunga US Treasury 2-tahun ke arah 0%.

Satu lagi kebijakan eksperimental yang bisa dilakukan Bernanke adalah open-ended quantitative easing (QE), dimana target waktu dan jumlah pembelian obligasi bersifat fleksibel sesuai perkembangan situasi ekonomi AS.

Peluang keberhasilan open-ended QE kemungkinan lebih besar dibandingkan QE konvensional. QE konvensional dianggap menjerumuskan Jepang sejak akhir 1990-an dalam perangkap likuiditas (liquidity trap), suatu istilah yang dipopulerkan oleh John Mayrnard Keynes pada tahun 1930-an. Likuiditas terus dikucurkan besar-besaran ke perekonomian dan suku bunga di tahan rendah, namun ekonomi Jepang tak kunjung pulih.

Belajar dari  QE1, QE2 dan pengalaman Jepang, QE konvensional akan selalu diikuti oleh periode "wait and see" oleh Bank Sentral. Alhasil, pelaku pasar pun ikut-ikutan melakukan "wait and see' dengan kembali menaruh dananya di US Treasury sehingga geliat sektor riil kembali terhambat. Fleksibilitas target waktu dan jumlah pembelian diharapkan akan mengubah ekspektasi pelaku pasar akan suku bunga jangka panjang.

Hambatan pemulihan ekonomi global

Saya berpandangan bahwa segala upaya yang dilakukan AS dan Eropa tidak serta-merta menjamin perekonomiannya akan segera pulih berkesinambungan. Tren menuju pemulihan ekonomi tampaknya masih akan terjal karena tiga hal.

Pertama, AS dan Eropa jelas tidak lagi memiliki keleluasan fiskal. Kesepakatan pagu utang AS akan berdampak pada pemotongan belanja pemerintah dalam 10 tahun ke depan. Eropa juga mengalami pengetatan fiskal –ruang fiskal berkurang sekitar 16% PDB dalam tiga tahun mendatang. Akibat minimnya stimulus fiskal, ekonomi kawasan AS dan Eropa akan cenderung kontraksi.

Kedua, kondisi keuangan rumah tangga, pelaku usaha maupun pemerintah secara umum masih berantakan dengan ekuitas negatif karena terbelit utang. Sementara itu, kondisi permodalan perbankan relatif lemah akibat belitan kredit macet di sektor perumahan (AS) dan utang sovereign negara-negara PIIGS (Eropa). Bercermin pada situasi itu, kebijakan suku bunga rendah jelas kurang efektif untuk mendorong perekonomian AS maupun Eropa karena risiko penyaluran kredit masih tinggi.

Hambatan ketiga berasal dari sisi regulasi perbankan. Ketentuan basel 3 yang mensyaratkan penguatan permodalan perbankan akan memberikan pukulan yang lebih dalam bagi perekonomian AS dan Eropa. Menurut ketentuan Basel 3, bank minimal harus memiliki rasio modal tier satu terhadap aset minimal sebesar 7% atau 9,5% untuk bank-bank besar yang berdampak sistemik.

Kendati baru akan diterapkan sepenuhnya pada tahun 2019, bank-bank tampaknya sudah mulai memperkuat permodalannya dari sekarang. Peningkatan modal secara drastis tersebut tentunya dapat mengurangi selera perbankan AS dan Eropa dalam menyalurkan kredit. Catatan saja, kebijakan Basel 2 yang diintrodusir bertepatan dengan pecahnya gelembung properti di Jepang tahun 1998 sedikit-banyak berperan dalam mendorong berlarutnya resesi ekonomi Jepang.

Transisi gradual menuju arsitektur finansial baru

Awal Agustus lalu, FED sudah menyatakan bahwa kebijakan suku bunga rendah akan dipertahankan paling tidak hingga pertengahan 2013. Dalam beberapa bulan ke depan, ada kemungkinan Bernanke juga akan melakukan QE lanjutan bila tingkat inflasi kembali menurun. Kombinasi kebijakan tersebut cenderung akan membuat US$ melemah (weak dollar policy).

Ini tentunya akan berdampak buruk pada pemegang surat utang AS (nilai riil utang AS akan turun). AS dipandang sedang melakukan monetisasi utang (stealth default) dan ini dapat mengancam kredibilitas US$ sebagai mata uang jangkar dunia (international reserve currency).

Weak dollar policy dapat pula diartikan sebagai deklarasi perang AS di pasar ekspor terhadap negara-negara lain di dunia. Jika AS tidak lagi agresif menyerap ekspor negara-negara di dunia, negara-negara seperti Jepang, Korea dan terutama China sebenarnya tidak lagi mempunyai insentif menggunakan dollar dalam perdagangan.

Antisipasi tampaknya mulai dilakukan terutama oleh China.  Di tengah kondisi global yang tidak menentu, China sebagai kreditor terbesar AS punya inisiatif yang kuat untuk melakukan perubahan arsitektur finansial dunia - http://www.thejakartapost.com/news/2004/03/31/world-needs-change-its-financial-architecture.html. Salah satu langkah yang dilakukan adalah mempercepat upaya internasionalisasi Yuan. Selain itu, seperti termaktub dalam rencana lima tahunannya, China juga mulai melakukan reorientasi kebijakan ekonomi ke arah penguatan pasar domestik dan daya beli konsumen. Untuk itu, kebijakan kurs pun menjadi sedikit lebih longgar, sementara upah pekerja juga diupayakan naik setidaknya sebesar 13% per tahun.

Dari sudut pandang politik internasional, dorongan untuk melakukan reformasi
sistem keuangan dunia juga tampak jelas dari pernyataan PM China, Wen Jiabao
baru-baru ini. Ia menyatakan bahwa "US$ bukan sistem finansial yang stabil.
Sebab itu, untuk menghindari bencana finansial, dunia harus beralih ke
sistem keuangan dunia yang lebih stabil dan aman."

Terkait sistem keuangan dunia tersebut, saya mencatat sebenarnya ada empat kemungkinan skenario yang sebenarnya bisa dijadikan acuan. Pertama, dunia bisa kembali ke sistem emas. Sebelum dianulir oleh Presiden Nixon tahun 1971 (Nixon shock), emas menjadi mata uang reserve dunia. Sistem standar emas atau sistem Bretton Woods dipakai sejak tahun 1944, dimana  negara-negara di dunia dapat menukar kepemilikan dollarnya menjadi emas dengan kurs tetap senilai US$ 35/ounce.

Sistem emas dinilai tidak stabil dan kurang fleksibel terhadap perkembangan perdagangan dan investasi dunia yang tumbuh eksponensial. Sistem ini relatif rigid, karena pasokan emas dunia yang terbatas cenderung tak dapat mengimbangi pesatnya perkembangan ekonomi dan teknologi.

Kemungkinan kedua adalah mengganti dollar sebagai mata uang jangkar ke mata uang dunia lainnya, misalnya Euro atau Yuan. Namun, pengalaman 40 tahun terakhir menunjukkan bahwa apa yang diteorikan oleh Robert Triffin pada tahun 1960-an (Triffin dilemma) ada benarnya. Suatu negara yang mata uangnya dijadikan mata uang reserve global harus bersedia memasok mata uangnya untuk memenuhi permintaan dunia akan forex reserve. Akibatnya, negara tersebut pun lambat laun cenderung akan mengalami defisit dan ketidakseimbangan global pun akan kembali terjadi.

Keynes pernah mengusulkan untuk membuat suatu standar finansial baru yang didasarkan pada sekeranjang komoditas utama (ia mengusulkan 30 komoditas, termasuk di dalamnya emas, perak, minyak, gas, batubara dll). Mata uang yang disebutnya sebagai "Bancor" ini tidak dapat ditukar dengan komoditas jangkarnya. Sistem ini diharapkan dapat menimbulkan kepercayaan dibandingkan sistem emas yang sifatnya sangat deflasioner.

Namun sistem ini tetap saja rentan. Suatu sistem finansial yang didasarkan pada komoditas yang jumlah cadangannya terbatas (non-renewable resources) tetap saja tidak akan menjamin stabilitas sistem tersebut dalam jangka panjang.

Pilihan terakhir yang mungkin diambil adalah menggantikan dollar dengan sekeranjang mata uang dunia. Kandidat utama untuk sistem ini sebenarnya sudah tersedia sejak IMF membentuk Special Drawing Rights (SDR) pada tahun 1969. Saat ini, SDR digunakan sebagai salah satu bentuk cadangan devisa yang dipegang negara-negara anggota dan didasarkan pada empat mata uang jangkar dengan bobot tertentu: US$ (41,9%), Euro (37,4%), Poundsterling (11,3%) dan Yen (9,4%) -bobot per Jan 2011.

Dengan diterapkannya sistem SDR, tiap negara akan tetap memiliki mata uangnya masing-masing dengan kurs tertentu terhadap SDR. Transaksi perdagangan, finansial dan investasi dapat pula dilakukan dengan SDR sebagai unit reserve utama menggantikan dollar. Sistem SDR tampaknya akan lebih fleksibel dan stabil karena pembobotannya dinamis dan disesuaikan dengan kontribusi masing-masing negara dalam sistem ekonomi dan perdagangan dunia.

Mengingat peran ekonomi China yang membesar, China mendesak agar Yuan dimasukkan dalam pembobotan SDR paling lambat tahun 2015. Setelah Yuan dimasukkan ke dalam SDR, China kemungkinan akan mulai mengurangi kepemilikannya pada US Treasury dan beralih ke SDR.

Untuk menghindari pelemahan US$ secara drastis dan gejolak di pasar finansial dunia, substitusi dari US Treasury ke dalam SDR tampaknya akan dilakukan perlahan oleh China. Kemungkinan anjloknya dollar akibat kebijakan China tersebut kemungkinan tidak akan terjadi. Pasalnya, dollar juga menjadi bagian dari SDR dengan bobot 41,9%.

Dalam jangka panjang, SDR diperkirakan akan menjadi alternatif yang dapat menjamin stabilitas perdagangan dan investasi di dunia. Melalui sistem tersebut diharapkan terjadi pula perubahan tatanan arsitektur ekonomi dan politik dunia dari yang sifatnya unilateral tergantung pada satu negara ke suatu sistem yang sifatnya multilateral dan partisipatif melibatkan semua negara di dunia.


 
Jorganizer Hamdani
024-7060.9694 (flexy)
hope 4 the best n prepare 4 the worst
knowing is nothing without applying

No comments:

Post a Comment

Tak ada gading yang tak retak, saran dan kritik akan kami terima dengan senang hati. Anda sopan kami segan.

Followers